Stop Percaya Mitos! 5 Hoax Kesehatan Mental Ini Bisa Membahayakanmu


Selasa, 19 Agustus 2025 - 10.25 WIB
Stop Percaya Mitos! 5 Hoax Kesehatan Mental Ini Bisa Membahayakanmu
Mitos Kesehatan Mental Berbahaya (Foto oleh Enzo Tommasi di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Di tengah lautan informasi digital, obrolan seputar kesehatan mental semakin sering kita temui. Ini adalah kemajuan besar, tapi sayangnya, di saat yang sama, banyak banget misinformasi yang ikut menyebar.

Dari nasihat yang keliru sampai pandangan yang menghakimi, informasi simpang siur ini bisa lebih berbahaya daripada yang kita kira. Alih-alih membantu, mitos kesehatan mental justru bisa membangun tembok stigma yang lebih tinggi, membuat orang yang butuh bantuan jadi ragu untuk melangkah.

Padahal, memahami fakta kesehatan mental adalah kunci utama untuk membuka pintu pemulihan, baik untuk diri sendiri maupun orang di sekitar kita. Membedakan mana fakta dan mana fiksi soal gangguan mental memang tidak selalu mudah.

Karena itu, mari kita bongkar bersama beberapa hoax paling umum yang sering beredar di masyarakat, dan luruskan dengan penjelasan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan data dari para ahli. Ini bukan soal menggurui, tapi soal kepedulian bersama untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesehatan mental setiap individu.

Mitos 1: Masalah kesehatan mental itu tanda ‘lemah mental’ atau kurang iman.

Ini mungkin salah satu mitos kesehatan mental yang paling tua dan paling merusak. Pandangan ini menyiratkan bahwa depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya adalah sebuah pilihan atau kegagalan karakter. Faktanya, sama sekali bukan. Sebuah gangguan mental adalah kondisi medis yang sah, sama seperti diabetes atau penyakit jantung.

Menurut World Health Organization (WHO), gangguan mental ditandai oleh kombinasi dari pikiran, persepsi, emosi, perilaku, dan hubungan dengan orang lain yang tidak normal. Kondisi ini punya dasar biologis, psikologis, dan sosial yang kompleks. Faktor biologis bisa mencakup genetika atau ketidakseimbangan kimia di otak, seperti neurotransmitter serotonin dan dopamin.

Faktor psikologis bisa berupa trauma masa kecil atau pola pikir negatif yang sudah terbentuk lama. Sementara itu, faktor sosial seperti kemiskinan, diskriminasi, atau isolasi juga bisa menjadi pemicu. Mengatakan bahwa ini semua hanya masalah 'mental yang lemah' sama saja dengan menyalahkan penderita asma karena kesulitan bernapas. Ini sangat tidak adil dan hanya akan memperkuat stigma kesehatan mental yang sudah ada.

Iman dan spiritualitas memang bisa menjadi sumber kekuatan yang luar biasa bagi banyak orang dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk masalah kesehatan mental. Namun, itu adalah sistem pendukung, bukan pengganti perawatan medis profesional. Menjaga kesehatan mental kita adalah bagian dari ikhtiar merawat tubuh dan jiwa secara keseluruhan.

Mitos 2: Depresi itu cuma rasa sedih yang berlebihan, nanti juga hilang sendiri.

Menyamakan depresi dengan kesedihan adalah sebuah kekeliruan besar. Semua orang pasti pernah merasa sedih; itu adalah emosi manusia yang normal sebagai respons terhadap peristiwa yang mengecewakan atau menyakitkan. Tapi, depresi klinis adalah hal yang jauh berbeda.

Ini adalah sebuah gangguan mental serius yang memengaruhi perasaan, cara berpikir, dan cara Anda beraktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau bekerja. Menurut kriteria diagnostik dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang menjadi panduan para profesional, seseorang didiagnosis menderita depresi jika mengalami beberapa gejala secara terus-menerus selama minimal dua minggu.

Gejalanya bukan cuma perasaan sedih atau hampa, tapi juga kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai, perubahan nafsu makan atau berat badan yang signifikan, sulit tidur atau malah tidur berlebihan, merasa lelah terus-menerus, perasaan tidak berharga atau bersalah yang berlebihan, sulit berkonsentrasi, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri. Menganggap depresi bisa "hilang sendiri" sangat berbahaya karena menunda penanganan yang tepat.

Data dari WHO menunjukkan bahwa depresi adalah salah satu penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Mengabaikannya bukan pilihan; mencari bantuan adalah langkah paling bijak untuk memulihkan kesehatan mental.

Mitos 3: Anak-anak dan remaja tidak mungkin kena gangguan mental, mereka cuma cari perhatian.

Pandangan bahwa masa kanak-kanak dan remaja adalah masa yang riang tanpa beban adalah sebuah mitos.

Faktanya, periode ini adalah waktu yang sangat rentan terhadap perkembangan masalah kesehatan mental. Data global dari UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari 13% remaja usia 10-19 tahun hidup dengan gangguan mental yang terdiagnosis. Sayangnya, banyak orang dewasa menganggap perubahan perilaku pada remaja sebagai bagian dari pubertas atau sekadar cara "mencari perhatian".

Gejala gangguan mental pada anak dan remaja memang bisa berbeda dengan orang dewasa. Misalnya, depresi pada remaja mungkin lebih sering muncul dalam bentuk kemarahan atau sifat mudah tersinggung (iritabilitas) daripada kesedihan yang gamblang. Tekanan akademis, perundungan (bullying), masalah keluarga, hingga dampak media sosial adalah beberapa faktor yang bisa memicu atau memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.

Melabeli perjuangan mereka sebagai ajang cari perhatian hanya akan membuat mereka merasa tidak didengar dan semakin terisolasi. Mengakui bahwa gangguan mental bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, adalah langkah pertama untuk memberikan dukungan yang mereka butuhkan. Mengenali tanda-tandanya sejak dini dan memberikan akses ke bantuan profesional adalah investasi terbaik untuk masa depan mereka.

Mitos 4: Sekali minum obat dari psikiater, pasti ketergantungan seumur hidup.

Ketakutan terhadap obat-obatan psikiatri adalah salah satu penghalang terbesar bagi banyak orang untuk mencari pengobatan. Mitos kesehatan mental ini sering kali muncul dari kesalahpahaman tentang cara kerja obat dan perbedaannya dengan zat adiktif. Memang benar beberapa obat, seperti benzodiazepin untuk kecemasan, memiliki potensi ketergantungan jika disalahgunakan.

Namun, sebagian besar obat untuk gangguan mental, seperti antidepresan jenis SSRI, tidak bersifat adiktif. Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), antidepresan bekerja dengan menyeimbangkan kembali zat kimia di otak. Obat-obatan ini tidak memberikan efek euforia atau 'high' yang membuat orang kecanduan. Istilah yang lebih tepat bukanlah 'ketergantungan', melainkan 'ketergantungan fisik' (physical dependence), di mana tubuh beradaptasi dengan kehadiran obat.

Itulah mengapa penghentian obat harus dilakukan secara bertahap di bawah pengawasan dokter untuk menghindari gejala putus obat (withdrawal symptoms), seperti pusing atau mual. Perlu diingat, pengobatan tidak selalu untuk seumur hidup. Banyak orang hanya memerlukan obat untuk periode tertentu sampai kondisi mereka stabil. Selain itu, pengobatan paling efektif sering kali merupakan kombinasi antara obat dan psikoterapi.

Obat membantu menstabilkan gejala, sementara terapi membantu mengatasi akar masalahnya. Memahami fakta kesehatan mental seputar pengobatan ini sangat penting untuk membuat keputusan yang tepat.

Mitos 5: Orang dengan gangguan mental itu berbahaya dan tidak bisa produktif.

Ini adalah bentuk stigma kesehatan mental yang paling kejam dan tidak berdasar.

Media sering kali menggambarkan orang dengan gangguan mental, terutama skizofrenia atau gangguan bipolar, sebagai sosok yang tidak terduga dan cenderung melakukan kekerasan. Faktanya, studi secara konsisten menunjukkan bahwa orang dengan gangguan mental berat jauh lebih mungkin menjadi korban kekerasan daripada menjadi pelaku.

Persepsi ini tidak hanya salah, tetapi juga sangat merugikan, karena menciptakan diskriminasi di tempat kerja, lingkungan sosial, dan bahkan di dalam keluarga. Dengan perawatan dan dukungan yang tepat, orang yang hidup dengan gangguan mental bisa dan memang menjalani kehidupan yang sangat produktif dan memuaskan. Mereka adalah guru, seniman, ilmuwan, orang tua, dan rekan kerja kita.

Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh brilian seperti Abraham Lincoln (depresi) dan Virginia Woolf (gangguan bipolar) yang memberikan kontribusi besar bagi dunia sambil berjuang dengan kondisi kesehatan mental mereka. Sebuah diagnosis tidak mendefinisikan seluruh identitas atau potensi seseorang.

Menghapus stigma kesehatan mental ini berarti kita harus mulai melihat individu di balik diagnosisnya dan mengakui bahwa kemampuan untuk berkontribusi pada masyarakat tidak ditentukan oleh kondisi kesehatan mental mereka. Membongkar mitos-mitos ini adalah tanggung jawab kita bersama. Semakin banyak kita menyebarkan fakta kesehatan mental yang akurat, semakin kita membantu meruntuhkan tembok stigma yang menghalangi banyak orang untuk mencari pertolongan.

Edukasi adalah senjata terkuat kita dalam memerangi misinformasi seputar gangguan mental dan menciptakan dunia yang lebih berempati. Informasi yang dibagikan di sini bertujuan untuk menambah wawasan dan pemahaman umum. Namun, setiap individu memiliki pengalaman dan kondisi yang unik.

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang berjuang dengan pikiran atau perasaan yang sulit, mengambil langkah untuk berbicara dengan seorang profesional seperti psikolog atau psikiater adalah sebuah tindakan keberanian. Mereka dapat memberikan evaluasi yang akurat dan membantu merancang rencana perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan pribadi Anda.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0