Terjebak Ekspektasi Orang Lain Berhenti Pura-Pura Jadi Sempurna

Oleh Ramones

Rabu, 03 September 2025 - 17.25 WIB
Terjebak Ekspektasi Orang Lain Berhenti Pura-Pura Jadi Sempurna
Terjebak ekspektasi sosial (Foto oleh Pille R. Priske di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna, memenuhi standar yang ditetapkan oleh orang lain, atau bahkan oleh masyarakat luas, adalah pengalaman yang sangat umum di era digital ini.

Tekanan ini seringkali datang dari ekspektasi sosial yang tak terucapkan, yang kemudian kita internalisasi sebagai keharusan. Kondisi ini dikenal sebagai perfeksionisme sosial, sebuah fenomena di mana individu merasa harus menyesuaikan diri dengan standar kelompok yang lebih besar, namun seringkali gagal untuk benar-benar mempertimbangkan manfaat menjadi diri mereka yang sebenarnya.

Banyak dari kita mungkin tanpa sadar terjebak dalam siklus ini, berusaha keras mempertahankan citra yang ideal di mata orang lain, padahal di baliknya, kita menyembunyikan "diri palsu" yang lelah dan tidak autentik.

Ini bukan sekadar tentang ingin melakukan yang terbaik, melainkan keyakinan bahwa orang-orang di sekitar kita, baik keluarga, teman, kolega, atau bahkan pengikut media sosial, mengharapkan kita untuk menjadi sempurna. Bayangkan beban mental yang harus ditanggung ketika setiap tindakan, setiap keputusan, dan setiap pencapaian terasa seperti sedang dinilai dan dibandingkan dengan standar yang tidak realistis.

Ini adalah realitas pahit bagi banyak individu yang bergulat dengan tekanan perfeksionisme dari luar. Penelitian terbaru terus menggarisbawahi dampak signifikan dari perfeksionisme sosial terhadap kesehatan mental. Ketika seseorang terus-menerus merasa terdesak untuk memenuhi standar eksternal, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan dan keinginan internal mereka sendiri.

Ini menciptakan jurang antara siapa mereka sebenarnya dan siapa yang mereka rasa harus mereka tampilkan kepada dunia. Konsekuensinya bisa sangat merugikan, tidak hanya bagi individu itu sendiri tetapi juga bagi kualitas hidup dan hubungan mereka. Memahami akar masalah ini adalah langkah pertama untuk bisa melepaskan diri dari belenggu ekspektasi yang menyesakkan dan menemukan kembali kebebasan menjadi diri yang autentik.

Kita akan menyelami lebih jauh apa itu perfeksionisme sosial, bagaimana ia memanifestasikan diri sebagai diri palsu, dan strategi apa yang bisa kita terapkan untuk membangun kesehatan mental yang lebih tangguh di tengah tuntutan dunia yang serba cepat.

Memahami Perfeksionisme Sosial dan Diri Palsu

Perfeksionisme sosial adalah salah satu dari tiga jenis perfeksionisme yang diidentifikasi oleh para ahli, selain perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri (self-oriented) dan perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain (other-oriented).

Jika perfeksionisme berorientasi pada diri sendiri adalah dorongan internal untuk menjadi sempurna, dan perfeksionisme berorientasi pada orang lain adalah ekspektasi bahwa orang lain harus sempurna, maka perfeksionisme sosial adalah keyakinan bahwa orang lain mengharapkan kita untuk menjadi sempurna. Ini adalah beban ekspektasi yang dirasakan dari lingkungan sekitar, baik itu keluarga, teman, atasan, atau bahkan masyarakat umum.

Data riset menunjukkan bahwa individu dengan perfeksionisme sosial merasakan tekanan yang intens untuk menyesuaikan diri dengan standar kelompok yang lebih besar, namun gagal untuk serius mempertimbangkan manfaat menjadi diri mereka yang sebenarnya. Mereka terjebak dalam siklus di mana mereka percaya bahwa orang-orang di sekitar mereka mengharapkan kesempurnaan. Akibatnya, mereka seringkali menampilkan apa yang disebut sebagai “diri palsu”.

Diri palsu ini adalah topeng atau fasad yang sempurna, yang mereka kenakan untuk memenuhi ekspektasi yang dirasakan tersebut. Mereka mungkin merasa harus selalu tampil cerdas, sukses, tidak pernah membuat kesalahan, atau selalu terlihat bahagia, meskipun di dalam hati mereka merasa sebaliknya.

Mengapa Diri Palsu Itu Berbahaya?

Menampilkan diri palsu secara terus-menerus memiliki konsekuensi yang mendalam bagi kesehatan mental.

Ini bukan hanya tentang berpura-pura, tetapi tentang kehilangan kontak dengan siapa kita sebenarnya. Individu yang terjebak dalam diri palsu seringkali mengalami:

  • Kelelahan Emosional: Mempertahankan fasad kesempurnaan sangat melelahkan. Energi mental dan emosional terkuras habis untuk menyembunyikan ketidaksempurnaan dan kerentanan.
  • Kecemasan dan Depresi: Penelitian menunjukkan hubungan kuat antara perfeksionisme sosial dan peningkatan risiko kecemasan serta depresi.

    Kekhawatiran akan gagal memenuhi ekspektasi dan takut akan penolakan jika "diri sejati" terungkap bisa sangat membebani.

  • Penurunan Harga Diri: Meskipun berusaha keras untuk tampil sempurna, individu mungkin merasa tidak autentik dan tidak berharga di baliknya.

    Mereka mungkin merasa bahwa orang lain mencintai versi palsu dari mereka, bukan diri mereka yang sebenarnya.

  • Hubungan yang Dangkal: Ketika seseorang tidak bisa menjadi diri mereka yang sebenarnya dalam hubungan, koneksi yang terjalin cenderung dangkal dan kurang bermakna.

    Sulit untuk membangun keintiman sejati tanpa kerentanan.

  • Stres Kronis: Ketakutan terus-menerus akan "terbongkar" atau gagal memenuhi standar menciptakan kondisi stres kronis yang berdampak negatif pada fisik dan mental.
Penelitian yang mengamati perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri, berorientasi pada orang lain, dan perfeksionisme sosial, seringkali menggunakan desain eksperimental yang membandingkan instruksi "fake good" (berpura-pura baik), standar, dan "fake bad" (berpura-pura buruk).

Ini menunjukkan betapa umum dan relevannya konsep menampilkan diri palsu dalam konteks perfeksionisme, terutama perfeksionisme sosial. Mempertahankan fasad palsu ini pada akhirnya akan menjadi bumerang, seringkali dengan konsekuensi yang menekan. Seseorang bisa terjebak dalam lingkaran evaluasi diri yang negatif, merasa diri tidak cukup baik, dan mengalami perasaan merendahkan diri sendiri.

Dampak pada Kesehatan Mental: Lebih dari Sekadar Stres

Kaitan antara perfeksionisme sosial dan kesehatan mental sangat kuat dan kompleks. Individu yang terperangkap dalam tekanan perfeksionisme jenis ini cenderung mengalami berbagai masalah kejiwaan yang serius. Ini melampaui sekadar perasaan stres atau cemas sesekali; ini adalah kondisi yang mengikis kesejahteraan mental secara fundamental.

World Health Organization (WHO) secara konsisten menekankan pentingnya lingkungan yang mendukung dan penerimaan diri untuk kesehatan mental yang optimal. Namun, perfeksionisme sosial justru menciptakan lingkungan internal dan eksternal yang berlawanan dengan prinsip ini, di mana penerimaan diri terasa mustahil tanpa kesempurnaan. Salah satu dampak paling nyata adalah peningkatan risiko depresi.

Ketika seseorang terus-menerus merasa bahwa mereka harus menampilkan citra sempurna, namun secara internal merasa tidak mampu atau tidak cukup, ini dapat menyebabkan perasaan putus asa dan tidak berharga. Kegagalan yang dirasakan untuk memenuhi standar eksternal, bahkan jika standar itu tidak realistis, dapat memicu siklus pemikiran negatif yang sulit dihentikan. Selain depresi, tingkat kecemasan juga meningkat tajam.

Ketakutan akan penilaian, penolakan, dan kegagalan menjadi konstan, menyebabkan kecemasan sosial, gangguan kecemasan umum, dan bahkan serangan panik. Tekanan perfeksionisme yang tak henti-hentinya ini membuat individu merasa selalu di bawah pengawasan, tidak pernah benar-benar santai atau aman. Selain itu, perfeksionisme sosial juga dapat berkontribusi pada perkembangan masalah makan dan gangguan citra tubuh.

Dalam upaya untuk mencapai "kesempurnaan" yang dirasakan, individu mungkin mengembangkan kebiasaan makan yang tidak sehat atau obsesi terhadap penampilan fisik mereka. Ini adalah manifestasi lain dari diri palsu yang berusaha memenuhi standar eksternal, meskipun itu merugikan kesehatan fisik dan mental mereka sendiri. Pada akhirnya, ini adalah siklus berbahaya yang menguras energi dan menjauhkan individu dari kebahagiaan sejati.

Mengurai Diri Palsu Melalui Teori Psikologi

Untuk memahami lebih dalam bagaimana perfeksionisme sosial memengaruhi kita dan bagaimana kita bisa melepaskan diri dari diri palsu, kita bisa merujuk pada beberapa teori psikologi yang relevan.

Self-Determination Theory (SDT)

Teori Self-Determination (SDT) menyoroti pentingnya tiga kebutuhan psikologis dasar untuk kesejahteraan manusia: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan.

SDT menjelaskan bahwa ketika kebutuhan ini terpenuhi, individu cenderung lebih termotivasi, sehat, dan bahagia. Namun, perfeksionisme sosial secara langsung menghambat pemenuhan kebutuhan ini:

  • Otonomi: Perfeksionisme sosial merampas otonomi karena individu merasa terpaksa bertindak sesuai dengan ekspektasi orang lain, bukan berdasarkan keinginan atau nilai-nilai internal mereka sendiri.

    Mereka tidak merasa menjadi agen atas pilihan hidup mereka.

  • Kompetensi: Meskipun perfeksionis sosial berusaha keras untuk tampil kompeten, perasaan tidak autentik dan ketakutan akan kegagalan dapat merusak rasa kompetensi sejati. Mereka mungkin merasa kompeten hanya ketika memenuhi standar orang lain, bukan karena penguasaan internal.
  • Keterhubungan: Diri palsu yang dipertahankan untuk memenuhi ekspektasi dapat menghalangi keterhubungan yang tulus.

    Sulit untuk merasa terhubung secara mendalam dengan orang lain ketika ada bagian dari diri yang terus-menerus disembunyikan.

Dalam konteks SDT, melepaskan diri dari perfeksionisme sosial berarti bergeser dari motivasi ekstrinsik (dorongan dari luar) menuju motivasi intrinsik (dorongan dari dalam), di mana tindakan didasari oleh minat, nilai, dan tujuan pribadi yang autentik.

Self-Efficacy (SE)

Self-Efficacy (SE) adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan mereka untuk berhasil dalam situasi tertentu atau untuk mencapai suatu hasil. Individu dengan perfeksionisme sosial mungkin memiliki self-efficacy yang rapuh. Meskipun mereka mungkin berprestasi tinggi, keyakinan mereka seringkali bergantung pada validasi eksternal. Jika mereka tidak memenuhi standar yang dirasakan, self-efficacy mereka akan runtuh.

Mereka mungkin merasa bahwa keberhasilan mereka hanyalah hasil dari upaya keras untuk memenuhi ekspektasi, bukan karena kemampuan inheren mereka. Ini adalah salah satu efek merugikan dari tekanan perfeksionisme yang terus-menerus.

False Hope Syndrome (FHS)

False Hope Syndrome (FHS) adalah fenomena di mana individu berulang kali menetapkan tujuan yang tidak realistis, seringkali berdasarkan keinginan untuk mengubah diri secara drastis, namun kemudian gagal mencapainya. Dalam konteks perfeksionisme sosial, seseorang mungkin menetapkan tujuan kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai, didorong oleh ekspektasi eksternal.

Setiap kegagalan kemudian dipersepsikan sebagai bukti ketidakcukupan mereka, yang memperkuat diri palsu dan mengurangi motivasi untuk mencoba lagi, atau malah mendorong mereka untuk menetapkan tujuan yang lebih tidak realistis lagi dalam upaya kompulsif untuk membuktikan diri.

Jalan Menuju Autentisitas dan Kesehatan Mental yang Lebih Baik

Melepaskan diri dari belenggu perfeksionisme sosial dan diri palsu bukanlah proses yang instan, tetapi merupakan perjalanan yang membutuhkan kesadaran, keberanian, dan kesabaran. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan mental dan kesejahteraan kita.

Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil:

1. Mengenali Tekanan Ekspektasi Sosial

Langkah pertama adalah menyadari bahwa Anda sedang berada di bawah tekanan perfeksionisme sosial. Identifikasi sumber-sumber ekspektasi ini: apakah dari keluarga, teman, lingkungan kerja, atau media sosial?

Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar yang saya inginkan, atau apakah ini yang saya pikir orang lain inginkan dari saya?" Kesadaran adalah kunci untuk mulai membongkar diri palsu yang telah dibangun.

2. Mempertanyakan Standar Kesempurnaan

Banyak standar kesempurnaan yang kita internalisasi adalah tidak realistis dan seringkali tidak sehat. Tantang pemikiran ini. Apakah ada orang yang benar-benar sempurna?

Apa definisi "cukup baik" bagi Anda? Belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, adalah langkah penting untuk mengurangi tekanan perfeksionisme. Ingatlah bahwa otentisitas seringkali jauh lebih menarik dan memuaskan daripada kesempurnaan yang dipaksakan.

3. Menghubungkan Kembali dengan Diri Sejati

Luangkan waktu untuk merenungkan nilai-nilai, minat, dan tujuan pribadi Anda yang sebenarnya, terlepas dari apa yang orang lain pikirkan. Apa yang membuat Anda merasa hidup? Apa yang Anda nikmati? Apa yang penting bagi Anda? Praktikkan mindfulness dan self-compassion untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan diri internal Anda.

Jurnal bisa menjadi alat yang sangat membantu untuk mengeksplorasi pikiran dan perasaan tanpa penilaian. Ini akan membantu Anda mengurangi tekanan perfeksionisme yang datang dari luar.

4. Menetapkan Batasan yang Sehat

Belajar mengatakan "tidak" pada permintaan atau ekspektasi yang tidak sesuai dengan nilai atau kapasitas Anda.

Ini bisa sulit pada awalnya, terutama jika Anda terbiasa menyenangkan orang lain, tetapi ini adalah bagian penting dari menjaga otonomi dan kesejahteraan Anda. Menetapkan batasan adalah tindakan self-care yang krusial dalam menghadapi tekanan perfeksionisme.

5. Mencari Lingkungan yang Mendukung

Kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang menerima dan menghargai Anda apa adanya, bukan versi sempurna dari diri Anda.

Jauhi hubungan atau lingkungan yang terus-menerus menuntut kesempurnaan atau memicu diri palsu Anda. Dukungan sosial yang autentik adalah benteng kuat melawan efek negatif dari perfeksionisme sosial.

6. Membangun Self-Efficacy Internal

Alihkan fokus dari validasi eksternal ke internal. Rayakan pencapaian Anda, tidak peduli seberapa kecil, dan akui usaha Anda.

Bangun keyakinan pada kemampuan Anda sendiri berdasarkan pengalaman nyata dan penguasaan pribadi, bukan hanya karena Anda memenuhi harapan orang lain. Ini akan memperkuat rasa self-efficacy Anda secara fundamental.

7. Mengembangkan Toleransi terhadap Kegagalan

Kegagalan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan dan pembelajaran. Daripada melihatnya sebagai bukti ketidaksempurnaan, lihatlah sebagai kesempatan untuk tumbuh.

Ubah narasi internal Anda tentang kegagalan dari "Saya tidak cukup baik" menjadi "Apa yang bisa saya pelajari dari ini?" Ini membantu Anda melepaskan diri dari jerat False Hope Syndrome dan tekanan perfeksionisme yang tidak sehat.

8. Berani Menjadi Rentan

Berbagi kerentanan Anda dengan orang-orang terpercaya dapat menjadi langkah yang sangat membebaskan.

Ini menunjukkan bahwa Anda adalah manusia, dan itu membangun koneksi yang lebih dalam. Mengakui bahwa Anda tidak sempurna adalah tindakan kekuatan, bukan kelemahan. Hal ini secara bertahap akan mengikis diri palsu yang Anda bangun.

Membangun Kehidupan yang Autentik

Perjalanan untuk melepaskan diri dari perfeksionisme sosial dan diri palsu adalah proses yang berkelanjutan.

Ini melibatkan latihan kesadaran diri, keberanian untuk menantang norma-norma yang tidak sehat, dan komitmen untuk memprioritaskan kesejahteraan internal Anda. Mengadopsi perspektif yang lebih seimbang tentang diri sendiri dan orang lain dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan mental Anda. Ingatlah bahwa nilai Anda tidak ditentukan oleh seberapa sempurna Anda tampil di mata orang lain, tetapi oleh siapa Anda sebenarnya.

Dengan berani menjadi diri sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Anda tidak hanya membebaskan diri Anda sendiri tetapi juga menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat secara mental, di mana otentisitas dihargai lebih dari sekadar penampilan yang sempurna.

Jika Anda merasa terjebak dalam siklus perfeksionisme sosial yang menguras energi, mencari dukungan dari profesional kesehatan mental dapat memberikan panduan dan strategi yang sangat membantu untuk menemukan kembali diri sejati Anda dan membangun ketahanan emosional yang lebih baik. Mereka dapat membantu Anda menavigasi kompleksitas tekanan perfeksionisme dan dampaknya pada diri palsu.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0