Kehidupan Masyarakat Majapahit, Fondasi Bhinneka Tunggal Ika yang Lebih Kompleks dari Dugaan

VOXBLICK.COM - Di bawah langit Nusantara abad ke-14, denyut kehidupan di ibu kota Majapahit, Trowulan, berdetak kencang. Jalan-jalan tanah yang padat dipenuhi pedagang dari berbagai negeri, para pandai besi yang menempa logam dengan ritme teratur, serta para bangsawan yang diusung di atas tandu. Ini bukan sekadar gambaran romantis, melainkan sebuah realitas historis dari sebuah kemaharajaan yang pengaruhnya membentang luas. Memahami kompleksitas kehidupan masyarakat Majapahit adalah menyelami sebuah peradaban yang meletakkan dasar bagi banyak aspek Indonesia modern, jauh melampaui sekadar cerita raja dan perang. Di sinilah konsep struktur sosial, ledakan kreativitas, dan harmoni keyakinan ditempa menjadi sebuah warisan abadi. Lebih dari sekadar kerajaan, Majapahit adalah cerminan peradaban yang kompleks dan dinamis. Pengaruhnya terasa dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari seni dan budaya hingga sistem pemerintahan dan nilai-nilai sosial. Mempelajari Majapahit berarti memahami akar dari identitas Indonesia.
Struktur Sosial yang Unik: Lebih dari Sekadar Sistem Kasta Majapahit
Ketika membicarakan tatanan sosial kuno di Jawa, istilah "kasta" sering kali muncul dengan bayangan rigiditas seperti yang ada di India. Namun, penerapan sistem kasta Majapahit memiliki ciri khasnya sendiri yang lebih cair dan adaptif.
Konsep yang diadopsi adalah Caturwangsa, atau empat golongan profesi, yang terdiri dari Brahmana (pendeta dan kaum terpelajar), Ksatria (raja, bangsawan, dan prajurit), Waisya (pedagang, petani pemilik tanah, dan pengusaha), serta Sudra (pekerja kasar dan pelayan). Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak peninggalan dan analisis para sejarawan, batas-batas ini tidak sekaku tembok. Mobilitas sosial, meskipun tidak mudah, bukanlah hal yang mustahil. Sistem kasta Majapahit lebih menekankan pada dharma atau tugas dan fungsi seseorang dalam masyarakat ketimbang garis keturunan murni. Prasasti-prasasti dan naskah kuno menunjukkan keberadaan berbagai profesi yang tidak selalu cocok dalam empat kategori utama tersebut. Ada kelompok-kelompok pengrajin khusus (undagi), seniman, hingga pejabat desa yang memiliki peran penting dalam roda perekonomian dan administrasi. Menurut sejarawan Denys Lombard dalam karyanya "Nusa Jawa: Silang Budaya", masyarakat Jawa pra-Islam memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap dan mengadaptasi pengaruh luar tanpa kehilangan identitasnya. Hal ini tercermin dalam bagaimana sistem kasta Majapahit diinterpretasikan. Golongan Brahmana, misalnya, tidak hanya mengurusi ritual keagamaan Hindu-Buddha, tetapi juga berperan sebagai sastrawan, penasihat raja, dan penjaga ilmu pengetahuan. Kehidupan masyarakat Majapahit diwarnai oleh fungsionalitas ini. Sistem Caturwangsa ini memberikan kerangka dasar bagi organisasi sosial, tetapi fleksibilitasnya memungkinkan individu untuk berkembang di luar batasan yang ketat. Seorang Waisya yang sukses, misalnya, dapat mengakumulasikan kekayaan dan pengaruh yang signifikan, bahkan mungkin menikahi anggota keluarga Ksatria. Fleksibilitas ini membantu menjaga stabilitas sosial dan mencegah konflik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan yang ekstrem. Di luar stratifikasi tersebut, kehidupan sehari-hari masyarakat biasa dapat direkonstruksi dari temuan arkeologis di situs Trowulan. Artefak terakota seperti celengan berbentuk babi, miniatur rumah, dan peralatan makan memberikan gambaran tentang ekonomi yang hidup. Ini menunjukkan bahwa masyarakat umum pun memiliki akses terhadap barang-barang produksi massal dan bahkan mampu menabung. Hal ini mengindikasikan standar kehidupan yang relatif makmur dan struktur ekonomi yang berfungsi baik, yang menopang kemegahan kehidupan masyarakat Majapahit secara keseluruhan. Celengan berbentuk babi, misalnya, menunjukkan adanya budaya menabung di kalangan masyarakat biasa. Miniatur rumah memberikan wawasan tentang arsitektur dan tata ruang rumah tangga pada masa itu. Peralatan makan menunjukkan kebiasaan makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Temuan-temuan ini, meskipun tampak sederhana, memberikan gambaran yang kaya dan detail tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit. Lebih lanjut, analisis DNA dari kerangka yang ditemukan di situs Trowulan dapat memberikan informasi tentang asal-usul etnis dan pola migrasi penduduk Majapahit. Analisis isotop stabil dari gigi dapat mengungkapkan pola makan dan status sosial individu. Penelitian arkeologi terus memberikan wawasan baru tentang kehidupan masyarakat Majapahit, melengkapi informasi yang diperoleh dari prasasti dan naskah kuno. Ini menunjukkan bahwa masyarakat umum pun memiliki akses terhadap barang-barang produksi massal dan bahkan mampu menabung. Hal ini mengindikasikan standar kehidupan yang relatif makmur dan struktur ekonomi yang berfungsi baik, yang menopang kemegahan kehidupan masyarakat Majapahit secara keseluruhan. Struktur ekonomi yang kuat ini memungkinkan Majapahit untuk membangun infrastruktur yang megah, mendukung seni dan budaya, dan memperluas pengaruhnya ke seluruh Nusantara.
Ledakan Kreativitas: Denyut Nadi Kesenian Majapahit yang Abadi
Keagungan sebuah peradaban sering kali diukur dari warisan budayanya, dan dalam hal ini, kesenian Majapahit mencapai puncaknya.
Kemakmuran dan stabilitas politik di bawah pemerintahan Hayam Wuruk menjadi lahan subur bagi para seniman dan sastrawawan untuk berkarya, menghasilkan mahakarya yang tak lekang oleh waktu. Kesenian Majapahit tidak hanya mencerminkan keindahan estetika, tetapi juga nilai-nilai budaya dan filosofi yang mendalam. Setiap karya seni memiliki makna simbolis dan spiritual yang kaya, yang mencerminkan pandangan dunia masyarakat Majapahit. Kesenian juga berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan pendidikan kepada masyarakat luas.
Sastra dan Kakawin: Cerminan Jiwa Zaman
Era ini melahirkan dua naskah paling monumental dalam sejarah Nusantara: Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca dan Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular.
Nagarakretagama, yang ditemukan kembali pada tahun 1894 di Lombok, adalah sumber primer tak ternilai yang menguraikan secara detail geografi, administrasi, ritual keagamaan, dan kehidupan masyarakat Majapahit. Di dalamnya, Mpu Prapanca melukiskan perjalanan Raja Hayam Wuruk ke berbagai daerah, memberikan kita jendela langka untuk melihat kemegahan kerajaan. Perjalanan ini bukan hanya sekadar kunjungan seremonial, tetapi juga kesempatan bagi raja untuk berinteraksi dengan rakyatnya, melihat langsung kondisi daerah-daerah yang berbeda, dan memperkuat ikatan antara pusat dan daerah. Deskripsi Mpu Prapanca tentang kota-kota, desa-desa, dan lanskap yang dilalui oleh raja memberikan gambaran yang jelas dan hidup tentang kehidupan di Jawa pada abad ke-14. Sementara itu, Kakawin Sutasoma menghadiahkan dunia sebuah frasa yang kini menjadi semboyan negara Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa." Kalimat ini, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua," pada awalnya merujuk pada sinkretisme antara Siwa dan Buddha, namun esensinya melambangkan semangat toleransi beragama Majapahit yang luar biasa. Semboyan ini tidak hanya menjadi simbol persatuan nasional, tetapi juga menjadi prinsip dasar dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Kakawin Sutasoma sendiri adalah sebuah karya sastra yang kompleks dan mendalam, yang mengeksplorasi tema-tema seperti dharma, karma, dan moksha. Kisah Sutasoma, seorang pangeran yang menjelma sebagai Buddha, mengajarkan tentang pentingnya welas asih, toleransi, dan pengorbanan diri. Kakawin ini tidak hanya menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat Majapahit, tetapi juga bagi generasi-generasi berikutnya.
Arsitektur dan Seni Pahat: Keagungan yang Terpahat di Batu
Warisan kesenian Majapahit juga terpahat abadi pada candi-candi megah yang tersebar di Jawa Timur. Berbeda dengan gaya Jawa Tengah yang monumental seperti Borobudur, arsitektur Majapahit cenderung lebih ramping dan menjulang, dengan hiasan relief yang naratif dan hidup. Perbedaan ini mencerminkan perubahan dalam gaya artistik dan preferensi estetika. Arsitektur Majapahit lebih menekankan pada keanggunan dan proporsi yang harmonis, sementara arsitektur Jawa Tengah lebih menekankan pada monumentalitas dan kekuatan. Candi Penataran di Blitar, kompleks candi terluas di Jawa Timur, menjadi saksi bisu kebesaran ini. Reliefnya yang menggambarkan kisah Ramayana dan Krishnayana tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai media pendidikan moral dan spiritual bagi masyarakat. Kisah-kisah epik ini mengajarkan tentang nilai-nilai seperti keberanian, kesetiaan, dan keadilan. Relief-relief ini juga memberikan wawasan tentang kehidupan sosial, budaya, dan agama masyarakat Majapahit. Seni pahat terakota juga berkembang pesat, menghasilkan ribuan artefak yang menggambarkan wajah manusia, flora, fauna, dan adegan sehari-hari dengan realisme yang menakjubkan. Terakota Majapahit tidak hanya indah secara visual, tetapi juga memberikan informasi yang berharga tentang kehidupan sehari-hari masyarakat. Figur-figur manusia, misalnya, menunjukkan pakaian, gaya rambut, dan perhiasan yang populer pada masa itu. Figur-figur hewan dan tumbuhan mencerminkan lingkungan alam sekitar. Adegan-adegan sehari-hari memberikan gambaran tentang aktivitas ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kesenian Majapahit ini adalah bukti keterampilan teknis dan kepekaan estetika yang tinggi. Para seniman Majapahit memiliki pemahaman yang mendalam tentang bahan, teknik, dan prinsip-prinsip desain. Mereka mampu menciptakan karya seni yang tidak hanya indah, tetapi juga bermakna dan fungsional.
Bhinneka Tunggal Ika: Harmoni dalam Praktik Toleransi Beragama Majapahit
Faktor paling menonjol dan relevan dari kehidupan masyarakat Majapahit adalah praktik toleransi beragamanya. Di saat belahan dunia lain sering dilanda konflik sektarian, Majapahit berhasil menciptakan sebuah model kerukunan yang unik antara dua agama besar saat itu: Hindu (Siwa) dan Buddha (Mahayana). Ini bukan sekadar hidup berdampingan secara pasif, melainkan sebuah sinkretisme aktif yang didukung penuh oleh negara. Sinkretisme ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Majapahit, mulai dari seni dan budaya hingga sistem kepercayaan dan praktik keagamaan. Kuil-kuil sering kali didedikasikan untuk dewa-dewi Hindu dan Buddha, dan ritual-ritual keagamaan sering kali menggabungkan unsur-unsur dari kedua agama. Seperti yang dijelaskan dalam Encyclopedia Britannica, raja dianggap sebagai titisan dari kedua dewa utama, Siwa dan Buddha, yang melambangkan penyatuan kosmis. Konsep ini mencerminkan pandangan dunia masyarakat Majapahit yang holistik dan inklusif. Raja dianggap sebagai pemimpin spiritual dan politik yang bertanggung jawab untuk menjaga harmoni dan keseimbangan di antara berbagai kelompok dan kepercayaan. Secara struktural, pemerintah memiliki dua pejabat tinggi keagamaan yang setara: Dharmadyaksa ring Kasaiwan (untuk urusan agama Siwa) dan Dharmadyaksa ring Kasogatan (untuk urusan agama Buddha). Keberadaan dua otoritas ini menunjukkan pengakuan resmi dan perlakuan yang sama terhadap kedua komunitas. Hal ini menunjukkan komitmen negara untuk melindungi hak-hak dan kepentingan semua warga negara, tanpa memandang agama atau kepercayaan mereka. Nagarakretagama mencatat bagaimana Raja Hayam Wuruk secara pribadi mengunjungi dan memberikan penghormatan di kuil-kuil Hindu maupun biara-biara Buddha dalam perjalanannya. Tindakan ini menunjukkan komitmen pribadi raja terhadap toleransi beragama dan menjadi contoh bagi rakyatnya. Kunjungan-kunjungan ini juga berfungsi sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan antara negara dan komunitas agama, serta untuk mempromosikan pemahaman dan kerja sama di antara berbagai kelompok. Praktik toleransi beragama Majapahit ini menjadi landasan filosofis bagi lahirnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Mpu Tantular tidak menulisnya dalam ruang hampa ia menulisnya karena melihat realitas harmoni di sekelilingnya. Konsep ini menunjukkan kedewasaan intelektual dan spiritual yang mengakui bahwa jalan menuju kebenaran tertinggi bisa beragam, namun tujuannya tetap satu. Konsep ini juga mencerminkan pandangan dunia masyarakat Majapahit yang inklusif dan toleran. Di samping Hindu dan Buddha, kepercayaan lokal asli atau Kapitayan juga tetap hidup dan berakulturasi dengan agama-agama pendatang, menciptakan lanskap spiritual yang kaya dan berlapis. Kepercayaan lokal ini sering kali berfokus pada pemujaan roh-roh leluhur dan kekuatan alam. Akulturasi antara kepercayaan lokal dan agama-agama pendatang menghasilkan sistem kepercayaan yang unik dan kompleks, yang mencerminkan identitas budaya masyarakat Majapahit. Perlu diingat bahwa sebagian besar catatan yang bertahan cenderung menggambarkan pandangan kaum bangsawan dan istana. Potret kehidupan masyarakat Majapahit di tingkat pedesaan harus direkonstruksi secara hati-hati dari artefak arkeologis, yang menunjukkan adanya perpaduan kepercayaan yang lebih kompleks di tingkat akar rumput. Arkeologi memberikan wawasan yang berharga tentang kehidupan sehari-hari masyarakat biasa dan membantu kita untuk memahami keragaman budaya dan agama di Majapahit. Kehidupan masyarakat Majapahit, dengan segala kerumitannya, menawarkan lebih dari sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah laboratorium peradaban yang menunjukkan bagaimana sebuah bangsa besar dibangun di atas fondasi struktur sosial yang fungsional, ekspresi seni yang agung, dan yang terpenting, kemampuan untuk merangkul perbedaan dalam sebuah harmoni. Sistem kasta Majapahit yang adaptif, kesenian Majapahit yang mendunia, dan praktik toleransi beragama Majapahit yang visioner bukanlah sekadar catatan masa lalu. Mereka adalah cermin yang memantulkan cita-cita, sebuah pengingat abadi bahwa kebesaran tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kebijaksanaan untuk melihat kesatuan dalam keragaman. Mempelajari jejak mereka adalah cara kita menghargai perjalanan waktu dan mengambil inspirasi untuk membangun masa depan yang berlandaskan pada warisan luhur Nusantara. Warisan Majapahit adalah warisan kita semua, dan kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya dan membagikannya kepada generasi-generasi mendatang. Dengan memahami masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik.
Apa Reaksi Anda?






