7 Tanda Kamu Terlalu Mengontrol Anak: Kenali Gejala Overparenting yang Menghambat Kemandirian Si Kecil


Rabu, 20 Agustus 2025 - 22.00 WIB
7 Tanda Kamu Terlalu Mengontrol Anak: Kenali Gejala Overparenting yang Menghambat Kemandirian Si Kecil
Tanda-tanda overparenting pada anak. (Foto oleh Vitaly Gariev di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Rasanya wajar jika kamu ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Melindunginya dari bahaya, memastikan ia berhasil, dan membantunya melewati setiap rintangan adalah naluri alami seorang orang tua.

Namun, terkadang niat baik ini bisa kebablasan menjadi sesuatu yang lain, sebuah pola asuh yang dikenal sebagai overparenting atau pola asuh helikopter. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tetapi kebiasaan terlalu mengontrol anak justru bisa menghambat perkembangannya alih-alih membantunya. Overparenting adalah gaya pengasuhan di mana orang tua terlibat secara berlebihan dalam kehidupan anak-anak mereka.

Istilah populernya adalah pola asuh helikopter, menggambarkan orang tua yang seolah-olah terus 'melayang' di atas anak mereka, mengawasi setiap gerakan dan siap turun tangan kapan saja. Pola asuh ini sering kali didorong oleh kecemasan, tekanan sosial untuk menjadi 'orang tua sempurna', dan ketakutan bahwa anak akan gagal atau terluka.

Namun, para ahli perkembangan anak memperingatkan bahwa dampak overparenting bisa merugikan dalam jangka panjang, menciptakan generasi muda yang kurang mandiri dan rapuh.

7 Tanda Kamu Tanpa Sadar Menerapkan Overparenting

Mengetahui batas antara peduli dan mengontrol adalah kuncinya. Jika kamu ragu apakah dukunganmu sudah berlebihan, coba perhatikan beberapa tanda overparenting berikut yang mungkin kamu lakukan tanpa sadar.

1. Selalu Mengerjakan Tugas atau Proyek Sekolah Anak

Kamu mungkin berpikir, "Ini hanya untuk membantunya mendapatkan nilai bagus." Kamu melihat anak kesulitan dengan tugas matematikanya atau proyek seninya, dan tanganmu gatal untuk mengambil alih. Kamu merevisi esainya sampai sempurna atau bahkan membuatkan miniatur tata surya untuknya. Ini adalah salah satu tanda overparenting yang paling umum.

Saat kamu mengerjakan tugasnya, anak kehilangan kesempatan belajar yang krusial. Ia tidak belajar tentang manajemen waktu, cara mengatasi kesulitan, atau rasa bangga karena menyelesaikan sesuatu dengan usahanya sendiri.

Julie Lythcott-Haims, penulis buku "How to Raise an Adult" dan mantan dekan mahasiswa baru di Universitas Stanford, mengamati secara langsung bagaimana mahasiswa yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh helikopter sering kali tidak memiliki keterampilan dasar untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Membantu itu berbeda dengan mengambil alih.

Sebaiknya, posisikan dirimu sebagai konsultan: berikan arahan, ajukan pertanyaan yang memancing pemikiran, tetapi biarkan anak yang memegang kendali dan melakukan pekerjaannya.

2. Menjadi Wasit di Setiap Konflik Pertemanan Anak

Anakmu pulang sambil menangis karena berebut mainan dengan temannya di taman bermain. Reaksi pertamamu mungkin langsung menghubungi orang tua si teman untuk 'menyelesaikan' masalah.

Meskipun niatmu baik untuk melindungi perasaan anak, menjadi wasit di setiap perselisihan kecil justru merampas kesempatan anak untuk mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional. Kemampuan bernegosiasi, berkompromi, meminta maaf, dan memahami sudut pandang orang lain adalah keterampilan hidup yang dipelajari melalui konflik.

Ketika kamu selalu turun tangan, pesan yang diterima anak adalah, "Aku tidak mampu menyelesaikan masalahku sendiri." Sebaliknya, cobalah untuk menjadi pelatihnya. Dengarkan ceritanya, validasi perasaannya ("Pasti sedih ya mainanmu direbut"), lalu ajukan pertanyaan seperti, "Menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan besok agar ini tidak terjadi lagi?" Ini adalah cara mengatasi overparenting yang efektif dengan mengajarkan kemampuan pemecahan masalah.

3. Memilihkan Semua Aktivitas Ekstrakurikuler dan Teman Anak

Kamu sudah merencanakan semuanya: les piano hari Senin, sepak bola hari Rabu, dan les bahasa Mandarin hari Jumat. Kamu juga memastikan ia hanya bergaul dengan anak-anak dari keluarga yang kamu 'setujui'. Mengarahkan anak memang penting, tetapi mendikte seluruh hidup sosial dan minatnya adalah bentuk overparenting yang dapat mematikan jati dirinya.

Anak perlu ruang untuk bereksplorasi dan menemukan apa yang benar-benar ia sukai, bukan apa yang kamu pikir terbaik untuknya. Memaksa anak mengikuti jadwal yang padat dengan aktivitas pilihanmu bisa menyebabkan kelelahan dan kebencian. Dampak overparenting semacam ini adalah anak tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak tahu apa yang ia inginkan dalam hidup karena ia tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih.

Berikan beberapa pilihan yang sudah kamu saring, lalu biarkan ia yang memutuskan. Biarkan juga ia memilih temannya sendiri, selama itu bukan pertemanan yang berisiko negatif.

4. Terlalu Sering Menghubungi Guru atau Pelatihnya

Ada perbedaan besar antara komunikasi yang sehat antara orang tua dan guru dengan intervensi yang berlebihan.

Jika kamu mengirim email kepada guru setiap kali anakmu mendapat nilai B atau menelepon pelatihnya untuk mempertanyakan mengapa anakmu tidak menjadi pemain inti, ini adalah tanda pola asuh helikopter. Tindakan ini tidak hanya mengganggu profesionalisme guru dan pelatih, tetapi juga mengirimkan pesan kepada anak bahwa kamu tidak percaya ia bisa menangani hubungannya dengan figur otoritas.

Seiring bertambahnya usia, anak perlu belajar bagaimana berkomunikasi, meminta bantuan, dan mengadvokasi kebutuhannya sendiri. Terlalu mengontrol anak dengan cara ini akan membuatnya bergantung padamu untuk menyelesaikan setiap masalah akademis atau sosialnya, sebuah kebiasaan yang akan sangat merugikannya di dunia kerja nanti.

5. Melindungi Anak dari Setiap Kekecewaan dan Kegagalan

Anakmu tidak terpilih masuk tim paduan suara sekolah.

Kamu merasa dunianya runtuh dan langsung berpikir untuk memprotes keputusan tersebut. Melindungi anak dari rasa sakit adalah insting, tetapi melindungi mereka dari semua bentuk kekecewaan adalah resep untuk menciptakan pribadi yang tidak tangguh. Kegagalan adalah guru terbaik. Rasa kecewa mengajarkan anak tentang ketekunan, kerendahan hati, dan cara mengelola emosi.

Menurut riset dari American Psychological Association (APA), menghadapi tantangan yang dapat diatasi adalah cara utama anak-anak membangun ketahanan atau resiliensi. Daripada mencoba 'memperbaiki' situasi, lebih baik bantu anak memproses perasaannya. Katakan, "Ibu tahu kamu kecewa sekali. Rasanya memang tidak enak.

Yuk, kita pikirkan apa yang bisa dipelajari dari sini untuk audisi tahun depan?" Ini menunjukkan empati tanpa menghilangkan pelajaran berharga dari sebuah kegagalan.

6. Membuat Semua Keputusan Kecil untuk Anak

"Pakai baju yang ini." "Makan sereal yang ini saja." "Jangan main itu, main yang ini lebih bagus." Jika kamu sering mendikte keputusan-keputusan sepele dalam kehidupan sehari-hari anak (tentunya yang sesuai dengan usianya), kamu sedang menerapkan overparenting. Anak-anak perlu latihan membuat keputusan untuk membangun rasa percaya diri dan otonomi. Mulailah dari hal-hal kecil.

Biarkan balita memilih antara dua pilihan baju. Biarkan anak usia sekolah dasar memilih bekal makan siangnya sendiri dari beberapa pilihan sehat yang kamu sediakan. Kemampuan membuat keputusan ibarat otot yang perlu dilatih. Jika tidak pernah dilatih, otot itu akan lemah.

Dampak overparenting ini bisa terasa hingga dewasa, di mana ia akan selalu ragu-ragu dan mencari persetujuan orang lain untuk setiap pilihan hidupnya.

7. Merasa Sangat Cemas Saat Anak Menghadapi Tantangan Baru

Anakmu akan mengikuti perkemahan sekolah pertamanya, dan kamulah yang tidak bisa tidur semalaman, membayangkan semua hal buruk yang bisa terjadi. Kecemasanmu nyata dan bisa 'menular'.

Anak-anak sangat peka terhadap emosi orang tuanya. Jika mereka melihatmu cemas setiap kali mereka mencoba sesuatu yang baru atau mandiri, mereka akan menyerap pesan bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya dan mereka tidak kompeten untuk menghadapinya.

Sebuah studi dalam Journal of Child and Family Studies menemukan korelasi antara pola asuh helikopter dengan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi pada anak-anak. Mereka menjadi ragu-ragu untuk mengambil risiko yang sehat karena mereka telah terkondisikan untuk merasa cemas. Cobalah kelola kecemasanmu sendiri dan tunjukkan kepercayaan pada kemampuan anak untuk menangani situasi.

Mengubah Arah: Dari Mengontrol Menjadi Mendukung

Menyadari bahwa kamu mungkin telah melakukan beberapa tanda overparenting di atas bukanlah alasan untuk merasa bersalah. Ini adalah kesempatan untuk menyesuaikan pendekatanmu. Tujuannya bukan untuk menjadi orang tua yang abai, tetapi untuk beralih dari manajer mikro menjadi pemandu yang bijaksana. Mulailah dengan langkah kecil. Biarkan anak membuat kesalahan yang tidak fatal.

Fokuslah untuk memuji usahanya, bukan hanya hasilnya. Ajari mereka keterampilan hidup cara memasak mi instan, cara mencuci baju, cara bertanya kepada orang asing alih-alih melakukannya untuk mereka. Dengan mundur selangkah, kamu sebenarnya memberi anakmu ruang untuk maju dan tumbuh menjadi individu yang mandiri, tangguh, dan percaya diri.

Pada akhirnya, tugas terberat sekaligus terindah sebagai orang tua adalah mempersiapkan anak untuk bisa hidup tanpamu. Dengan mengurangi kebiasaan mengontrol anak dan menggantinya dengan kepercayaan, kamu memberinya hadiah terbaik: akar yang kuat untuk tumbuh dan sayap yang kokoh untuk terbang. Tentu saja, setiap keluarga dan anak memiliki kebutuhan yang unik.

Jika kamu merasa sangat cemas atau kesulitan mengubah pola asuh, berkonsultasi dengan psikolog anak atau konselor keluarga bisa menjadi langkah yang sangat membantu.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0