Ada Kekuatan Tak Kasat Mata di Balik Orasi Bung Tomo yang Getarkan Surabaya!

Oleh VOXBLICK

Jumat, 22 Agustus 2025 - 09.10 WIB
Ada Kekuatan Tak Kasat Mata di Balik Orasi Bung Tomo yang Getarkan Surabaya!
Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui orasi radio yang menggugah, mengubah ketakutan menjadi keberanian dalam pertempuran Surabaya. Foto oleh pngtree.com via Google.

VOXBLICK.COM - Udara Surabaya pada awal November 1945 terasa berat, pekat dengan ketegangan dan bau mesiu.

Ultimatum dari pasukan Sekutu, yang dipimpin Inggris, bagai vonis mati yang digantungkan di atas kepala setiap penduduk: serahkan senjata atau kota akan digempur dari darat, laut, dan udara. Di tengah keputusasaan yang merayap, ketika logika perang menyiratkan kekalahan telak, sebuah suara pecah menggelegar dari corong-corong radio.

Suara itu bukan milik jenderal dengan strategi di atas peta, melainkan milik seorang pemuda bernama Sutomo, yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo. Suaranya serak, penuh gairah, dan menyala-nyala, mengubah ketakutan menjadi keberanian dan keraguan menjadi keyakinan buta.

Inilah awal dari pertempuran Surabaya, sebuah episode heroik dalam sejarah Indonesia yang apinya disulut oleh kekuatan kata-kata dari orasi Bung Tomo.

Siapa Sebenarnya Sutomo, Sang Penyulut Api Perlawanan?

Untuk memahami dahsyatnya orasi Bung Tomo, kita perlu mengenal siapa sosok di baliknya. Sutomo bukanlah seorang tentara karier yang terlatih di akademi militer.

Ia adalah seorang jurnalis, seorang pria yang senjatanya adalah pena dan kata-kata. Lahir di Surabaya pada tahun 1920, ia tumbuh dalam lingkungan yang dinamis dan terasah kemampuan komunikasinya melalui berbagai organisasi kepemudaan dan aktivitas jurnalistik. Pengalamannya inilah yang memberinya kepekaan luar biasa terhadap psikologi massa dan kekuatan bahasa untuk membangkitkan emosi.

Ia mengerti bagaimana merangkai kalimat yang bisa menyentuh sanubari, membakar amarah, sekaligus memupuk kebanggaan. Ketika revolusi memanggil, Bung Tomo mentransformasikan keahlian jurnalistiknya menjadi senjata propaganda yang sangat efektif. Ia mendirikan Radio Pemberontakan, yang menjadi medium utamanya untuk menyebarkan semangat perlawanan ke seluruh penjuru kota.

Melalui radio inilah, ia menjelma dari seorang wartawan menjadi orator ulung, seorang pahlawan nasional yang suaranya menjadi detak jantung perjuangan arek-arek Suroboyo.

Lebih dari Sekadar Kata-kata: 5 Kekuatan Orasi Bung Tomo yang Mengubah Sejarah Pertempuran Surabaya

Orasi Bung Tomo pada malam menjelang 10 November 1945 bukanlah sekadar pidato.

Itu adalah sebuah mantera, sebuah ritual yang mengubah ribuan manusia biasa menjadi pejuang yang tak kenal takut. Kekuatannya tidak terletak pada strategi militer, melainkan pada konstruksi psikologis yang dibangunnya lapis demi lapis.

Berikut adalah lima elemen kunci yang membuat orasinya begitu legendaris dalam sejarah Indonesia.

1. Penggunaan Diksi Religius dan Panggilan Ilahi

Salah satu kekuatan terbesar dalam orasi Bung Tomo adalah kemampuannya menyuntikkan dimensi spiritual ke dalam perjuangan fisik. Puncak dari orasinya selalu ditutup dengan pekik takbir, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!".

Dalam konteks masyarakat Surabaya yang religius, pekikan ini memiliki dampak luar biasa. Perjuangan melawan penjajah bukan lagi sekadar urusan mempertahankan tanah air, tetapi telah diangkat menjadi sebuah jihad, sebuah perang suci. Panggilan ini berhasil menyatukan berbagai laskar pejuang, termasuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang memiliki basis massa santri yang kuat.

Dengan membingkai pertempuran Surabaya sebagai panggilan Ilahi, Bung Tomo memberikan justifikasi tertinggi bagi pengorbanan. Kematian di medan perang bukan lagi sebuah tragedi, melainkan sebuah jalan menuju kesyahidan. Energi spiritual inilah yang memberikan kekuatan moral tak terbatas kepada para pejuang, membuat mereka berani menghadapi tank dan meriam dengan persenjataan seadanya.

Orasi Bung Tomo berhasil mengubah pertempuran menjadi ibadah perlawanan.

2. Membangun Identitas Kolektif 'Arek-Arek Suroboyo'

Bung Tomo tidak berpidato kepada 'tentara' atau 'rakyat' secara umum. Ia berbicara langsung kepada 'arek-arek Suroboyo'. Pilihan sapaan ini adalah sebuah kejeniusan. 'Arek-arek' adalah istilah yang sangat personal, egaliter, dan penuh keakraban khas Surabaya.

Sapaan ini meruntuhkan semua sekat sosial, baik itu priyayi, pedagang, kuli, maupun santri. Semua dilebur menjadi satu identitas kolektif yang solid: kami adalah arek-arek Suroboyo. Dengan demikian, ancaman dari Sekutu bukan lagi ancaman terhadap negara yang abstrak, melainkan serangan personal terhadap rumah mereka, keluarga mereka, dan harga diri mereka sebagai orang Surabaya. Kebanggaan komunal ini menjadi bahan bakar perlawanan.

Setiap individu merasa terpanggil secara pribadi untuk mempertahankan martabat kotanya. Solidaritas yang terbangun begitu kuat sehingga seluruh kota bergerak sebagai satu organisme tunggal, menjadikan pertempuran Surabaya sebagai sebuah perlawanan rakyat semesta yang epik dalam sejarah Indonesia.

3. Teknik Repetisi dan Intonasi yang Menggugah Emosi

Sebagai seorang orator ulung, Bung Tomo memahami betul kekuatan retorika.

Ia menggunakan teknik repetisi untuk menanamkan pesan kunci ke dalam benak pendengarnya. Kalimat legendarisnya, "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!" diulang dengan intonasi yang terus menanjak.

Suaranya yang serak dan bergetar karena emosi menular kepada setiap orang yang mendengarkan. Ia tidak membaca teks dengan datar; ia berteriak, meratap, dan membakar semangat dengan setiap tarikan napas. Orasi Bung Tomo adalah sebuah pertunjukan emosi yang terkalibrasi dengan sempurna. Menurut catatan sejarah, getaran suaranya mampu membuat bulu kuduk berdiri dan darah mendidih.

Ia adalah seorang konduktor emosi massa, mengubah ketakutan menjadi amarah, dan amarah menjadi keberanian yang meluap-luap. Pada 10 November 1945, Surabaya menjadi panggung orkestra keberanian dengan Bung Tomo sebagai dirigen utamanya.

4. Mengubah Rasa Takut Menjadi Keberanian Martir

Inti dari ultimatum Sekutu adalah menebar ketakutan akan kehancuran total.

Bung Tomo membalikkan senjata psikologis ini dengan sebuah penawaran yang lebih agung: kemuliaan dalam kematian. Semboyan "Merdeka atau Mati!" yang ia gaungkan bukanlah pilihan antara hidup dan mati, melainkan pilihan antara hidup terhormat sebagai manusia merdeka atau mati mulia sebagai seorang pejuang. Ia berhasil menghilangkan variabel 'kalah' dari benak para pendengarnya.

Dalam kerangka berpikir yang ia bangun, tidak ada pilihan untuk hidup dalam penjajahan. Dengan demikian, rasa takut akan kematian sirna, digantikan oleh ketakutan akan hidup dalam kehinaan. Logika inilah yang mendorong para pemuda Surabaya untuk melakukan aksi-aksi heroik yang di luar nalar militer.

Mereka berani menyerbu tank dengan bambu runcing dan mengikatkan bom di tubuh mereka, karena kematian telah diredefinisi menjadi sebuah kemenangan. Inilah kontribusi terbesar orasi Bung Tomo dalam membentuk mentalitas para pejuang dalam pertempuran Surabaya.

5. Pemanfaatan Media Radio sebagai Senjata Psikologis

Di era ketika informasi adalah kekuatan, Bung Tomo adalah salah satu pahlawan nasional yang paling efektif dalam memanfaatkan teknologi.

Pilihannya menggunakan radio sebagai medium utama adalah langkah yang strategis. Gelombang radio melintasi barikade, masuk ke rumah-rumah, warung-warung kopi, dan pos-pos perjuangan. Suaranya hadir di mana-mana, menyatukan seluruh kota dalam satu ruang dengar imajiner. Berbeda dengan pamflet yang bisa disita atau pidato di lapangan yang jangkauannya terbatas, radio memberikan jangkauan massal dan intimasi personal secara bersamaan.

Setiap arek Suroboyo merasa Bung Tomo berbicara langsung kepadanya. Radio Pemberontakan menjadi pusat komando moral, menyiarkan tidak hanya orasi Bung Tomo, tetapi juga berita perjuangan, lagu-lagu penyemangat, dan instruksi-instruksi.

Ini adalah perang informasi, perang psikologis, yang dimenangkan Indonesia bahkan sebelum peluru pertama ditembakkan pada 10 November 1945.

Dampak Nyata di Medan Perang: Suara yang Lebih Keras dari Meriam

Kekuatan orasi Bung Tomo bukanlah isapan jempol. Dampaknya terasa langsung di garis depan. Ada sebuah anekdot terkenal di mana para pejuang yang mengoperasikan meriam mengkritik Bung Tomo.

Mereka merasa orasinya terlalu membakar semangat, membuat para pemuda menjadi terlalu nekat dan maju menyerang tanpa perhitungan taktis, mengakibatkan banyak korban jiwa. Kisah ini, terlepas dari kebenarannya, menggambarkan betapa dahsyatnya pengaruh kata-katanya. Pertempuran Surabaya yang diperkirakan oleh Sekutu akan selesai dalam tiga hari, ternyata berlangsung selama tiga minggu.

Perlawanan gigih dari arek-arek Suroboyo membuat pasukan Inggris, yang merupakan pemenang Perang Dunia II, kewalahan. Mereka kehilangan seorang jenderal, Brigadir Jenderal Mallaby, sebuah peristiwa memalukan yang memicu amarah besar Sekutu. Semua ini adalah buah dari semangat pantang menyerah yang ditanamkan oleh orasi Bung Tomo.

Meski berbagai catatan sejarah bisa memberikan sudut pandang yang sedikit berbeda mengenai detail taktis pertempuran, pengaruh dahsyat dari orasi Bung Tomo adalah fakta yang diakui secara universal.

Warisan Abadi Sang Orator Ulung

Meski pada akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, pertempuran ini adalah sebuah kemenangan moral dan strategis bagi Indonesia.

Perlawanan heroik di Surabaya menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak akan menyerahkan kemerdekaannya dengan mudah. Peristiwa 10 November 1945 kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan, sebuah pengingat abadi akan pengorbanan arek-arek Suroboyo. Dan di pusat memori kolektif itu, berdirilah sosok Bung Tomo, seorang pahlawan nasional yang senjatanya adalah lidah dan suaranya.

Warisannya bukanlah tentang kemenangan militer, melainkan tentang kekuatan keyakinan, persatuan, dan keberanian yang bisa dibangkitkan oleh kata-kata yang tepat pada saat yang genting. Orasi Bung Tomo menjadi cetak biru bagi komunikasi perjuangan di seluruh sejarah Indonesia. Kisah Bung Tomo dan pertempuran Surabaya mengajarkan kita sebuah pelajaran fundamental. Bahwa dalam setiap perjuangan, senjata paling tajam bukanlah baja, melainkan semangat.

Dan semangat itu lahir dari narasi, dari cerita, dari kata-kata yang mampu meyakinkan manusia bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada kehidupan itu sendiri. Suara Bung Tomo dari sebuah radio butut di tahun 1945 telah membuktikannya. Ia tidak hanya menyiarkan berita, ia menyiarkan api.

Api yang hingga hari ini terus menyala dalam sanubari bangsa, mengingatkan kita bahwa dengan semangat yang membara, tidak ada tantangan yang tidak bisa dihadapi.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0