Apakah DPR Bisa Dibubarkan? Ini Jawaban Tegas Konstitusi Indonesia


Minggu, 24 Agustus 2025 - 11.50 WIB
Apakah DPR Bisa Dibubarkan? Ini Jawaban Tegas Konstitusi Indonesia
Gedung DPR RI sebagai simbol kekuasaan legislatif Indonesia

VOXBLICK.COM - Pertanyaan apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa dibubarkan seringkali mengemuka, terutama saat publik merasa kecewa dengan kinerja para wakilnya. Jawabannya singkat dan tegas: tidak bisa. Konstitusi Indonesia tidak menyediakan satu pasal pun yang memberikan wewenang kepada lembaga mana pun, termasuk presiden, untuk membubarkan DPR di tengah masa jabatannya. Ini bukan sebuah kebetulan, melainkan desain fundamental dari sistem pemerintahan yang kita anut. Untuk memahami mengapa demikian, kita harus melihat fondasi negara kita: sistem presidensial. Dalam sistem ini, posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga legislatif (DPR). Keduanya sama-sama mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Karena legitimasinya setara, satu lembaga tidak bisa menjatuhkan atau membubarkan lembaga lainnya. Ini adalah prinsip dasar dari pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang menjadi tulang punggung demokrasi Indonesia.

Jawaban Tegas dari Konstitusi Indonesia

Dasar hukum yang paling utama adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 1 Ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pelaksanaan kedaulatan ini diwujudkan melalui pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) untuk masa jabatan yang tetap, yaitu lima tahun. Pasal 7A hingga 7C UUD 1945 memang mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden (impeachment), tetapi tidak ada pasal serupa yang mengatur tentang pembubaran DPR. Masa jabatan anggota DPR diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) yang menyatakan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, dan keanggotaannya diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ini mengunci posisi DPR dengan masa jabatan yang pasti, sama seperti presiden. Logika di balik desain ini adalah untuk menciptakan stabilitas politik. Jika presiden bisa seenaknya membubarkan DPR karena tidak sejalan, atau sebaliknya, maka pemerintahan akan terus-menerus berada dalam krisis. Mekanisme politik yang ada dirancang untuk mendorong kerja sama dan kompromi, bukan saling menjatuhkan. Ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, sering menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial murni, eksekutif dan legislatif adalah dua cabang kekuasaan yang terpisah dan independen. Seperti yang dijelaskan dalam berbagai analisisnya, berbeda dengan sistem parlementer di mana perdana menteri (eksekutif) dipilih dari dan bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif), sehingga parlemen bisa mengeluarkan mosi tidak percaya yang berujung pada pembubaran kabinet atau bahkan parlemen itu sendiri. Di Indonesia, mekanisme politik semacam itu tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia.

Mengapa Sistem Presidensial Jadi Kunci?

Memahami perbedaan antara sistem presidensial dan parlementer adalah kunci untuk menjawab pertanyaan tentang bisakah DPR dibubarkan.

Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, ada beberapa karakteristik utama yang mencegah adanya pembubaran DPR.

Legitimasi Ganda dari Rakyat

Baik presiden maupun anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu yang terpisah. Ini memberi mereka apa yang disebut sebagai legitimasi ganda. Keduanya bisa mengklaim mewakili suara rakyat.

Karena sumber kekuasaan mereka sama (rakyat), maka secara teoretis kedudukan mereka setara. Presiden tidak lebih tinggi dari DPR, dan sebaliknya. Inilah yang membuat mekanisme saling membubarkan menjadi tidak logis dalam kerangka demokrasi Indonesia.

Masa Jabatan Tetap (Fixed Term)

Konsekuensi dari legitimasi ganda adalah masa jabatan yang tetap. Presiden dan DPR sama-sama memiliki masa jabatan lima tahun. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian dan stabilitas.

Pemerintah dan parlemen diharapkan dapat menjalankan program-programnya dalam kurun waktu tersebut tanpa dihantui ancaman pembubaran di tengah jalan. Hal ini memaksa kedua lembaga untuk mencari titik temu dan bekerja sama demi kepentingan negara. Meskipun dalam praktiknya sering terjadi ketegangan politik, kerangka konstitusi Indonesia mendorong dialog, bukan disolusi.

Tidak Ada Mosi Tidak Percaya

Di negara-negara dengan sistem parlementer seperti Inggris atau Australia, parlemen dapat menjatuhkan perdana menteri melalui mosi tidak percaya.

Jika mosi ini berhasil, perdana menteri harus mengundurkan diri, dan seringkali diikuti dengan pemilihan umum baru atau pembubaran parlemen. Mekanisme ini tidak ada dalam sistem presidensial. DPR tidak bisa memecat presiden hanya karena tidak setuju dengan kebijakannya. Satu-satunya jalan adalah melalui prosedur impeachment yang sangat rumit dan panjang, yang hanya bisa dilakukan jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat.

Mekanisme Politik yang Ada: Impeachment Bukan Pembubaran

Satu-satunya proses politik besar yang melibatkan DPR dan berpotensi mengubah pucuk pimpinan nasional adalah impeachment (pemakzulan) presiden.

Namun, penting untuk digarisbawahi, proses ini adalah untuk memberhentikan presiden, bukan untuk pembubaran DPR. Prosesnya pun sangat ketat dan berlapis, dirancang agar tidak mudah digunakan untuk tujuan politik sesaat. Menurut UUD 1945, prosesnya adalah sebagai berikut:

1. Usulan dari DPR: Usulan pemberhentian presiden harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Usulan tersebut kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari. Presiden diberi kesempatan untuk membela diri.

3. Sidang MPR: Jika MK memutuskan bahwa presiden terbukti melakukan pelanggaran, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan sidang untuk mengambil keputusan akhir.

Keputusan ini harus diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Melihat kompleksitasnya, jelas bahwa impeachment adalah jalan terakhir yang sangat sulit ditempuh. Mekanisme politik ini menunjukkan betapa konstitusi Indonesia sangat melindungi stabilitas institusi, baik eksekutif maupun legislatif.

Jadi, alih-alih saling membubarkan, sistem yang ada justru memaksa mereka untuk tetap berada di posisinya selama lima tahun.

Realitas Demokrasi dan Jalan Selain Pembubaran

Lalu, jika publik merasa sangat tidak puas dan pertanyaan bisakah DPR dibubarkan terus muncul, apa jalan keluar yang tersedia dalam koridor demokrasi Indonesia? Meskipun pembubaran DPR bukan opsi, ada beberapa mekanisme yang sah secara

konstitusional untuk menyalurkan aspirasi dan mengoreksi kebijakan.

Kekuatan Pemilihan Umum

Jalan utama dan paling fundamental dalam demokrasi adalah pemilihan umum. Setiap lima tahun, rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk mengevaluasi dan menghukum atau memberi penghargaan kepada para wakilnya dan partai politik yang mereka usung.

Jika kinerja DPR dianggap buruk, cara paling efektif untuk mengubahnya adalah dengan tidak memilih kembali para petahana atau partai politik yang dianggap gagal memperjuangkan aspirasi rakyat. Pemilu adalah momen pembubaran secara alami dan demokratis.

Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

Jika DPR menghasilkan undang-undang yang dianggap merugikan atau bertentangan dengan UUD 1945, masyarakat sipil, lembaga, atau bahkan perorangan dapat mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Jika MK mengabulkan permohonan tersebut, undang-undang itu bisa dibatalkan sebagian atau seluruhnya. Ini adalah cara yang elegan untuk mengoreksi produk legislasi tanpa harus melalui pembubaran DPR. Banyak undang-undang kontroversial telah dibatalkan atau direvisi melalui mekanisme ini, menunjukkan bahwa ada jalur hukum untuk melawan keputusan politik yang buruk.

Tekanan Publik dan Gerakan Masyarakat Sipil

Demonstrasi, petisi, kampanye di media sosial, dan advokasi oleh kelompok masyarakat sipil adalah alat demokrasi yang sangat kuat.

Tekanan publik yang masif seringkali berhasil memaksa DPR dan pemerintah untuk meninjau ulang atau bahkan membatalkan kebijakan yang tidak populer. Ini adalah wujud dari kedaulatan rakyat yang berjalan setiap hari, tidak hanya saat pemilu. Walaupun tidak berujung pada pembubaran DPR, tekanan ini bisa mengubah arah kebijakan secara signifikan. Pada akhirnya, gagasan tentang pembubaran DPR, meskipun terdengar menarik sebagai solusi instan atas kekecewaan publik, secara fundamental bertentangan dengan desain konstitusi Indonesia. Stabilitas yang ditawarkan oleh sistem presidensial dengan masa jabatan tetap dianggap lebih penting daripada fleksibilitas untuk mengganti lembaga perwakilan di tengah jalan. Jalan untuk perbaikan terletak pada partisipasi aktif warga negara dalam setiap mekanisme demokrasi yang tersedia, mulai dari bilik suara hingga ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Informasi yang disajikan di sini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai kerangka hukum dan tata negara di Indonesia, dan tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0