Api di Kalimantan Bukan Sekadar Asap: Ini Harga Mahal yang Kita Bayar dari Kerusakan Ekosistem Gambut

Oleh Andre NBS

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 19.30 WIB
Api di Kalimantan Bukan Sekadar Asap: Ini Harga Mahal yang Kita Bayar dari Kerusakan Ekosistem Gambut
Krisis Kebakaran Hutan Kalimantan (Foto oleh Aperture Vintage di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Setiap musim kemarau tiba, langit di sebagian besar Kalimantan berubah warna menjadi kuning kelabu pekat. Ini bukan fenomena alam biasa, melainkan pertanda berulangnya tragedi: kebakaran hutan Kalimantan. Namun, menyebutnya sekadar 'bencana musiman' adalah penyederhanaan yang berbahaya.

Api yang melahap ribuan hektare lahan ini adalah gejala dari penyakit kronis yang menggerogoti salah satu paru-paru dunia terpenting, sebuah krisis yang berakar pada praktik eksploitasi dan kelalaian selama puluhan tahun. Kabut asap yang menyesakkan dada dan melumpuhkan aktivitas warga hanyalah puncak gunung es dari kerusakan lingkungan yang terjadi.

Di bawah kepulan asap itu, ada cerita tentang ekosistem yang hancur, satwa liar yang kehilangan rumah, dan kontribusi masif terhadap perubahan iklim global. Ini adalah masalah kita bersama, dan memahaminya secara mendalam adalah langkah pertama untuk mencari solusi nyata.

Bukan Sekadar Api Musiman: Akar Masalah Kebakaran Hutan Kalimantan

Penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia, khususnya di Kalimantan, sangat kompleks. Meskipun faktor cuaca seperti El Niño dapat memperparah kekeringan, data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa lebih dari 90% kebakaran disebabkan oleh ulah manusia, baik disengaja maupun tidak. Ini bukan sekadar ketidaksengajaan, melainkan bagian dari sistem yang lebih besar.

Praktik Tebang-Bakar yang Mendarah Daging

Metode pembukaan lahan dengan cara membakar (slash-and-burn) menjadi pilihan utama karena dianggap paling murah dan cepat. Praktik ini tidak hanya dilakukan oleh petani skala kecil, tetapi juga diduga kuat dimanfaatkan oleh korporasi untuk menyiapkan lahan konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besar titik api terdeteksi di dalam area konsesi perusahaan. Deforestasi untuk membuka jalan bagi komoditas ini menjadi pemicu utama yang membuat hutan Indonesia semakin rentan terbakar. Upaya pemadaman api menjadi sangat sulit ketika api sudah menjalar di lahan yang sengaja disiapkan untuk dibersihkan dengan cara ini.

Lahan Gambut Kering, Bom Waktu Ekologis

Inilah inti dari bencana kebakaran hutan Kalimantan. Ekosistem gambut adalah lahan basah dengan tumpukan material organik tebal yang terbentuk ribuan tahun. Dalam kondisi alaminya yang basah, gambut hampir tidak mungkin terbakar. Namun, pembangunan kanal-kanal drainase masif untuk mengeringkan gambut demi kepentingan pertanian dan perkebunan telah mengubahnya menjadi 'bom waktu'.

Lahan gambut kering menjadi sangat mudah terbakar. Api di lahan gambut tidak hanya membakar vegetasi di permukaan, tetapi juga menjalar ke bawah tanah, membakar material organik hingga kedalaman beberapa meter. Inilah yang disebut 'api bawah tanah' atau ground fire, yang bisa bertahan selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, sangat sulit dipadamkan, dan melepaskan jumlah karbon yang luar biasa besar.

Proses ini menjadi penyebab utama kabut asap pekat dan tebal yang bisa menyebar hingga ke negara tetangga, menciptakan bencana nasional bahkan regional.

Lemahnya Penegakan Hukum dan Kebijakan Lingkungan

Meski regulasi telah ada, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran, terutama korporasi, masih menjadi tantangan besar.

Proses peradilan yang rumit dan denda yang terkadang tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan membuat efek jera kurang maksimal. Kebijakan lingkungan yang ada seringkali tumpang tindih dan implementasinya di lapangan tidak konsisten.

Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), seperti Herry Purnomo, telah lama menyoroti bagaimana ekonomi-politik di balik karhutla seringkali melindungi kepentingan besar, membuat upaya pencegahan dan penindakan menjadi tumpul. Tanpa adanya sanksi tegas dan pengawasan ketat, siklus kebakaran lahan terbakar akan terus berulang.

Harga yang Harus Dibayar: Dampak Jangka Panjang yang Mengintai

Dampak kebakaran hutan Kalimantan jauh melampaui kerugian materiil. Kerusakan yang ditimbulkan bersifat jangka panjang, mempengaruhi kesehatan manusia, kelestarian alam, dan stabilitas iklim global.

Krisis Kesehatan Akibat Kabut Asap

Partikel halus dari kabut asap (PM2.5) dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan memicu berbagai masalah kesehatan.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) melonjak drastis setiap kali musim kebakaran tiba. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan ratusan ribu orang menderita ISPA selama periode karhutla hebat. Dampak kesehatan ini bukan hanya masalah sesaat; paparan asap dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit kronis seperti asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bahkan masalah kardiovaskular.

Ini adalah krisis kesehatan masyarakat yang diam-diam merenggut kualitas hidup jutaan orang.

Ekosistem di Titik Nadir: Rumah Satwa Liar yang Hilang

Hutan Kalimantan adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk spesies endemik dan terancam punah. Kebakaran hutan adalah vonis mati bagi banyak satwa liar. Orangutan, bekantan, beruang madu, dan ribuan spesies lain kehilangan habitat dan sumber makanan mereka.

Banyak hewan yang mati terpanggang karena tidak bisa melarikan diri dari api yang menyebar cepat. Organisasi konservasi seperti Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) seringkali kewalahan menyelamatkan individu orangutan yang terluka, dehidrasi, atau mengalami malnutrisi akibat habitatnya yang menjadi lahan terbakar.

Kerusakan ekosistem ini tidak dapat diperbaiki dalam waktu singkat, butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk memulihkan hutan Indonesia seperti sedia kala.

Kontributor Utama Pemanasan Global

Kebakaran lahan gambut Indonesia menempatkan negara ini sebagai salah satu emitor gas rumah kaca terbesar di dunia pada tahun-tahun puncak kebakaran. Saat gambut yang kaya karbon terbakar, ia melepaskan CO2 dalam jumlah masif ke atmosfer.

World Resources Institute (WRI) mencatat bahwa pada puncak kebakaran tahun 2015, emisi harian dari kebakaran Indonesia sempat melampaui emisi harian seluruh ekonomi Amerika Serikat. Ini adalah kontribusi signifikan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Dunia tidak akan bisa memenangkan perang melawan krisis iklim jika kebakaran lahan gambut di Indonesia tidak ditangani secara serius.

Upaya perlindungan alam dan konservasi hutan menjadi kunci mitigasi bencana iklim ini.

Upaya Pemadaman Api: Antara Heroisme dan Keterbatasan

Di tengah keputusasaan, ada kisah-kisah perjuangan tanpa henti dari mereka yang berada di garis depan. Upaya pemadaman api adalah pertempuran yang melelahkan melawan alam yang telah dirusak.

Peran Relawan Lingkungan dan Masyarakat Lokal

Tim Manggala Agni, BNPB, TNI, Polri, serta ribuan relawan lingkungan dan masyarakat adat adalah pahlawan sesungguhnya. Mereka bekerja siang dan malam dengan peralatan terbatas untuk memadamkan api di lokasi-lokasi terpencil. Masyarakat Adat, dengan pengetahuan lokal mereka, seringkali menjadi garda terdepan dalam melindungi wilayah hutan mereka.

Namun, skala kebakaran yang masif, terutama di lahan gambut, seringkali membuat upaya mereka tampak seperti menimba air laut dengan ember. Tanpa dukungan sistematis dan pencegahan yang kuat di hulu, perjuangan mereka di hilir akan selalu menjadi pertarungan yang berat.

Teknologi dan Kebijakan Pemerintah

Pemerintah telah mengerahkan berbagai teknologi, mulai dari helikopter water bombing hingga operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk menciptakan hujan buatan. Sistem pemantauan titik panas (hotspot) berbasis satelit juga terus dikembangkan untuk deteksi dini.

Dari sisi kebijakan, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) telah meluncurkan program restorasi gambut skala besar, termasuk pembasahan kembali gambut (rewetting) melalui pembangunan sekat kanal. Moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut juga diperpanjang. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala, termasuk resistensi dari beberapa pihak dan keterbatasan anggaran.

Kebijakan lingkungan yang baik harus diikuti dengan pengawasan dan eksekusi yang tanpa kompromi. Api yang membakar Kalimantan adalah cerminan dari pilihan-pilihan yang kita buat sebagai masyarakat, sebagai bangsa, dan sebagai konsumen global. Menghentikan siklus bencana nasional ini memerlukan lebih dari sekadar upaya pemadaman api.

Ini menuntut transformasi fundamental dalam cara kita mengelola sumber daya alam, menegakkan hukum, dan merancang pembangunan yang berkelanjutan. Restorasi ekosistem, terutama lahan gambut, adalah investasi jangka panjang yang mutlak diperlukan, bukan hanya untuk melindungi keanekaragaman hayati dan mencegah kabut asap, tetapi juga untuk masa depan iklim planet ini.

Perjuangan melawan kebakaran hutan Kalimantan adalah perjuangan untuk udara bersih, untuk kelestarian lingkungan hidup, dan untuk masa depan generasi yang akan datang. Kompleksitas masalah ini terus berkembang, menuntut perhatian dan tindakan berkelanjutan dari semua pihak berdasarkan informasi dan riset yang paling mutakhir.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0