Bagaimana Media Sosial Membentuk Opini Politik Gen Z Tanpa Disadari


Selasa, 26 Agustus 2025 - 02.21 WIB
Bagaimana Media Sosial Membentuk Opini Politik Gen Z Tanpa Disadari
Algoritma media sosial membentuk opini politik Gen Z: pahami cara kerjanya dan dampaknya. Foto oleh cottonbro studio via Pexels

VOXBLICK.COM - Pernahkah Anda sadar setelah satu jam penuh menelusuri For You Page di TikTok atau Reels di Instagram? Satu video lucu mengarah ke video masak, lalu tiba-tiba Anda sudah berada di tengah lautan konten politik. Halaman itu terasa begitu personal, seolah-olah platform tersebut benar-benar mengenal Anda. Kenyataannya, Anda baru saja merasakan langsung kekuatan masif dari algoritma media sosial, sebuah mesin personalisasi yang kini tidak hanya membentuk selera humor atau preferensi fashion, tetapi juga secara fundamental membentuk opini politik Gen Z. Generasi Z, yang tumbuh dengan smartphone di tangan, menjadikan platform visual seperti TikTok dan Instagram sebagai sumber informasi utama mereka. Sebuah laporan dari Pew Research Center pada tahun 2023 menunjukkan bahwa remaja menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di platform ini. Apa yang mereka lihat bukanlah jendela ke dunia yang objektif, melainkan cermin yang telah dipoles oleh kode-kode kompleks, yang dirancang untuk satu tujuan utama: membuat Anda terus menggulir. Implikasinya terhadap cara pandang mereka terhadap isu-isu sosial dan politik sangatlah besar, dan sering kali tidak disadari.

Mesin Personalisasi: Cara Kerja Algoritma Media Sosial dalam Politik

Untuk memahami pengaruh media sosial, kita harus membongkar cara kerja mesin di baliknya. Algoritma media sosial pada dasarnya adalah sistem rekomendasi. Di TikTok dan Instagram, sistem ini melacak setiap interaksi Anda dengan sangat detail.

Mulai dari video yang Anda tonton sampai habis, yang Anda lewati dalam sepersekian detik, yang Anda sukai, komentari, atau bagikan. Bahkan data seberapa lama Anda berhenti pada satu video tanpa berinteraksi pun ikut dihitung. Data-data ini kemudian diolah untuk membangun profil minat Anda yang sangat spesifik. Jika Anda menunjukkan ketertarikan pada konten tentang keadilan iklim, algoritma akan menyajikan lebih banyak lagi konten serupa. Proses ini menciptakan sebuah feedback loop atau putaran umpan balik. Semakin banyak Anda mengonsumsi satu jenis konten, semakin banyak konten sejenis yang akan Anda dapatkan. Dalam konteks hiburan, ini mungkin tidak berbahaya. Namun, ketika menyangkut opini politik Gen Z, mekanisme ini menjadi sangat problematik. Desain algoritma media sosial ini tidak bertujuan untuk menyajikan pandangan yang seimbang atau mendidik penggunanya secara holistik. Tujuannya adalah memaksimalkan engagement atau keterlibatan. Konten yang memicu emosi kuatbaik itu kemarahan, tawa, atau rasa memilikicenderung mendapatkan lebih banyak interaksi. Sayangnya, dalam politik, konten yang paling memecah belah dan sensasional sering kali menjadi yang paling viral. Nuansa dan diskusi mendalam kalah pamor dengan klip 15 detik yang penuh amarah atau slogan yang menarik. Inilah medan di mana opini politik Gen Z ditempa setiap hari.

Gelembung Filter dan Ruang Gema: Realitas Semu Opini Politik Gen Z

Efek paling signifikan dari cara kerja algoritma media sosial ini adalah terciptanya gelembung filter (filter bubble) dan ruang gema (echo chamber).

Gelembung filter adalah kondisi di mana algoritma hanya menyajikan informasi yang sesuai dengan keyakinan Anda yang sudah ada, seolah-olah menyaring semua pandangan yang berlawanan. Sementara itu, ruang gema terjadi ketika Anda berada di dalam komunitas online di mana semua orang memiliki pandangan yang sama, dan keyakinan tersebut terus diperkuat dan dipantulkan kembali tanpa adanya sanggahan. Bayangkan seorang remaja yang mulai tertarik pada isu hak-hak pekerja. Setelah menonton beberapa video di TikTok tentang upah minimum, algoritmanya akan mulai membanjiri feed-nya dengan konten seragam yang mendukung serikat pekerja dan mengkritik korporasi. Dalam waktu singkat, ia mungkin tidak akan pernah lagi melihat konten yang menyajikan argumen dari sisi pengusaha atau perspektif ekonomi yang berbeda. Baginya, seluruh dunia seolah-olah setuju dengan pandangannya. Inilah cara halus algoritma membentuk opini politik Gen Z, bukan dengan paksaan, melainkan dengan isolasi. Kondisi ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan polarisasi politik yang ekstrem. Ketika seseorang tidak pernah dihadapkan pada argumen yang valid dari pihak lain, mereka cenderung menganggap pihak lawan tidak hanya salah, tetapi juga bodoh atau jahat. Diskusi sipil menjadi mustahil. Studi dari berbagai institusi telah menyoroti bagaimana pengaruh media sosial ini berkontribusi pada peningkatan perpecahan di masyarakat. Opini politik Gen Z, yang seharusnya berkembang melalui dialog dan pemikiran kritis, justru bisa mengeras menjadi dogma yang kaku di dalam gelembung digital mereka.

TikTok Bukan Sekadar Joget: Arena Baru Kampanye Politik

Para politisi dan tim kampanyenya tidak buta terhadap fenomena ini. Mereka sadar betul bahwa untuk memenangkan suara generasi muda, mereka harus menguasai medan pertempuran baru: TikTok dan Instagram. Platform ini telah berubah dari sekadar tempat hiburan menjadi arena kampanye yang sangat efektif. Kekuatan pengaruh TikTok terletak pada kemampuannya menyebarkan pesan politik dalam format yang mudah dicerna dan dibagikan. Konten politik di TikTok sering kali dikemas dalam bentuk tren, meme, atau potongan video pendek yang emosional. Seorang kandidat mungkin tidak perlu menjelaskan rencana kebijakannya secara detail cukup dengan membuat video yang menunjukkan sisi manusiawi mereka atau menyerang lawan dengan sindiran tajam. Pengaruh media sosial ini bekerja melalui penyederhanaan isu-isu kompleks menjadi hitam-putih. Hal ini sangat efektif untuk menarik perhatian, tetapi sering kali mengorbankan akurasi dan kedalaman. Lebih lanjut, seperti yang diungkapkan oleh para analis di Brookings Institution, platform seperti TikTok memiliki kemampuan unik untuk membentuk narasi karena kecepatan penyebaran kontennya yang luar biasa. Sebuah narasi, benar atau salah, dapat menjadi viral dan menjangkau jutaan orang dalam hitungan jam sebelum ada kesempatan untuk memverifikasinya. Para influencer politik juga memainkan peran besar dalam membentuk opini politik Gen Z, di mana batasan antara opini pribadi, konten bersponsor, dan propaganda sering kali kabur.

Dampak Psikologis: Dari Aktivisme Digital hingga Apatisme Politik

Pengaruh konstan dari algoritma media sosial ini memiliki dampak psikologis yang kompleks pada Gen Z, menciptakan sebuah dualitas yang menarik.

Memicu Aktivisme Digital

Di satu sisi, TikTok dan Instagram telah menjadi alat yang sangat kuat untuk mobilisasi sosial dan politik.

Gerakan seperti #BlackLivesMatter atau protes perubahan iklim mendapatkan momentum global berkat kemampuan platform ini untuk menyebarkan informasi dan mengoordinasikan aksi. Bagi banyak anak muda, media sosial menurunkan hambatan untuk berpartisipasi dalam politik. Sebuah like atau share terasa seperti sebuah tindakan politik. Ini menunjukkan bagaimana pengaruh TikTok bisa menjadi kekuatan positif dalam meningkatkan kesadaran politik.

Mendorong Polarisasi dan Agresivitas

Di sisi lain, seperti yang telah dibahas, algoritma yang mengutamakan keterlibatan sering kali mendorong konten yang paling ekstrem.

Ruang komentar di Instagram atau TikTok bisa menjadi tempat yang sangat toksik, di mana perdebatan sehat digantikan oleh caci maki. Paparan terus-menerus terhadap konflik dan kemarahan dapat membuat opini politik Gen Z menjadi lebih keras dan kurang toleran terhadap perbedaan.

Menyebabkan Kelelahan Informasi dan Apatisme

Paradoksnya, banjir informasi politik yang tak ada habisnya juga bisa menyebabkan efek sebaliknya: kelelahan.

Ketika feed mereka dipenuhi dengan berita buruk, ketidakadilan, dan perdebatan sengit, sebagian anak muda mungkin merasa kewalahan dan cemas. Respons mereka adalah dengan mematikan semuanya dan menarik diri dari diskursus politik sama sekali. Apatisme ini sama berbahayanya dengan ekstremisme, karena membuat sekelompok besar populasi menjadi acuh tak acuh terhadap masa depan demokrasi mereka. Perlu diingat, pengalaman setiap individu dengan algoritma media sosial bisa sangat bervariasi, dan platform ini juga bisa menjadi alat yang kuat untuk pendidikan jika digunakan dengan benar.

Senjata Utama Melawan Manipulasi: Pentingnya Literasi Digital

Lalu, bagaimana kita menavigasi lanskap yang rumit ini? Jawabannya terletak pada penguatan literasi digital.

Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara kritis melalui platform digital. Ini adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial di era informasi saat ini, terutama untuk melindungi kemerdekaan opini politik Gen Z.

Verifikasi Sebelum Membagikan

Langkah pertama dan paling mendasar dari literasi digital adalah menumbuhkan kebiasaan untuk memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya.

Apakah sumbernya kredibel? Apakah ada media lain yang melaporkan hal yang sama? Apakah judulnya terdengar terlalu provokatif untuk menjadi kenyataan? Mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini dapat secara signifikan mengurangi penyebaran disinformasi.

Diversifikasi Sumber Informasi

Untuk melawan gelembung filter yang diciptakan algoritma media sosial, pengguna harus secara proaktif mencari sumber informasi yang beragam. Ini berarti sengaja mengikuti akun atau media berita yang memiliki perspektif politik berbeda.

Tujuannya bukan untuk mengubah pandangan, tetapi untuk memahami argumen dari sisi lain dan membangun pandangan yang lebih berimbang dan bernuansa.

Kenali Tanda-tanda Propaganda dan Disinformasi

Penting bagi pengguna untuk belajar mengenali taktik manipulasi umum, seperti penggunaan bahasa yang emosional secara berlebihan, klaim tanpa bukti, atau serangan pribadi terhadap karakter seseorang alih-alih argumennya.

Memahami cara kerja propaganda adalah langkah pertama untuk menjadi kebal terhadapnya. Penguatan literasi digital adalah tanggung jawab bersama, baik individu, lembaga pendidikan, maupun pemerintah. Hubungan antara Generasi Z, politik, dan algoritma media sosial di platform seperti TikTok dan Instagram adalah sebuah realitas yang kompleks dan terus berkembang. Algoritma ini bukan entitas netral ia secara aktif membentuk apa yang kita lihat, apa yang kita percayai, dan pada akhirnya, siapa yang kita pilih. Ia dapat memberdayakan suara-suara yang terpinggirkan dan memicu gerakan sosial yang positif, namun di saat yang sama juga dapat menjebak kita dalam ruang gema yang memecah belah dan menumpulkan kemampuan berpikir kritis kita. Masa depan diskursus publik dan kesehatan demokrasi mungkin bergantung pada seberapa baik generasi digital ini belajar menavigasi dunia yang tidak hanya mereka konsumsi, tetapi juga ikut mereka ciptakan, satu guliran pada satu waktu.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0