Menggali Akar Maraknya Self-Diagnose Gangguan Mental pada Gen-Z Indonesia


Selasa, 26 Agustus 2025 - 01.21 WIB
Menggali Akar Maraknya Self-Diagnose Gangguan Mental pada Gen-Z Indonesia
Gen-Z Indonesia: Antara self-diagnose gangguan mental dan pentingnya validasi medis profesional. Foto oleh Marcel StrauĂź via Unsplash

VOXBLICK.COM - Kamis sore di Jakarta, seorang mahasiswa baru bernama Nia, 19 tahun, menutup laptopnya setelah menonton video TikTok tentang ciri-ciri borderline personality disorder. Ia langsung merasa, “Sepertinya aku juga punya itu.” Fenomena seperti Nia bukan kasus langka.

Di era digital, terutama sejak pandemi Covid-19 menyeruak tahun 2020, semakin banyak anak muda di Indonesia yang mencari tahu tentang kesehatan mental lewat media sosial, lalu menempelkan label gangguan tertentu pada diri sendiri. Tapi sebetulnya, mengapa tren self-diagnose gangguan mental begitu marak di kalangan Gen-Z, dan apa bahaya di baliknya?

Lebih jauh lagi, bagaimana kita bisa memahami akar permasalahan ini dan memberikan solusi yang konstruktif bagi generasi muda yang rentan terhadap informasi yang salah atau tidak lengkap? Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah isu kompleks yang memerlukan pemahaman mendalam dan penanganan yang tepat.

Self-diagnose, meskipun tampak seperti langkah proaktif, seringkali justru menjauhkan seseorang dari bantuan yang sebenarnya mereka butuhkan.

Apakah Media Sosial Sumber Pencerahan atau Justru Ranjau bagi Kesehatan Mental?

Media sosial memang jadi ruang diskusi alternatif, bahkan kadang lebih nyaman daripada ruang kelas atau rumah. Orang dengan bebas membagikan pengalaman serta informasi terkait kesehatan mental di Twitter, Instagram, hingga TikTok.

Data dari Statista tahun 2023 menunjukkan, hampir 75% pengguna media sosial di Indonesia adalah anak muda usia 18-24 tahun. Platform ini jadi sumber utama edukasi kesehatan mental. Namun, tidak semua informasi yang beredar punya dasar ilmiah. Bahkan, seringkali informasi tersebut disajikan secara sensasional atau dramatis, menarik perhatian namun minim validitas.

Bayangkan seorang remaja yang sedang merasa sedih setelah putus cinta, lalu menemukan video di TikTok yang menggambarkan depresi berat dengan gejala yang mirip dengan apa yang ia rasakan. Tanpa pemahaman yang memadai, ia bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa dirinya mengalami depresi, padahal kesedihan yang ia rasakan mungkin hanya reaksi normal terhadap kehilangan.

Penting untuk membedakan antara perasaan sementara dan kondisi kesehatan mental yang membutuhkan penanganan profesional.

Sebuah studi oleh National Institutes of Health menyebutkan, konten kesehatan mental di media sosial seringkali tidak akurat, cenderung bias, bahkan bisa berbahaya.

Sifat algoritma yang mengutamakan engagement membuat video viral tentang “gejala depresi” atau “tes kepribadian” lebih sering muncul di timeline ketimbang konten edukasi medis yang benar. Akibatnya, banyak anak muda merasa relate dan langsung self-diagnose tanpa pengetahuan yang cukup. Algoritma media sosial bekerja dengan menampilkan konten yang dianggap relevan bagi pengguna, berdasarkan interaksi mereka sebelumnya.

Jika seorang pengguna sering mencari informasi tentang gangguan kecemasan, misalnya, algoritma akan terus menampilkan konten serupa, menciptakan "echo chamber" di mana informasi yang bias atau tidak akurat terus-menerus diperkuat. Hal ini bisa memperburuk kecemasan dan mendorong self-diagnose yang tidak tepat.

Untuk informasi lebih lanjut tentang algoritma media sosial, Anda bisa mengunjungi Wikipedia.

Self-Diagnose: Kenapa Bisa Begitu Memikat bagi Kesehatan Mental?

Self-diagnose seolah memberi jawaban instan atas kegelisahan yang selama ini tidak terdefinisikan. Rasa cemas, lelah, atau tidak fokus yang dialami sehari-hari mendadak punya nama dan komunitasnya sendiri.

Label gangguan mental memberi validasi, ada alasan di balik “keanehan” yang dirasakan. Ini adalah cara untuk memahami dan mengendalikan apa yang sedang terjadi. Bayangkan seseorang yang selalu merasa kesulitan untuk fokus saat belajar atau bekerja. Ia mungkin merasa frustrasi dan bingung mengapa ia tidak bisa seperti orang lain.

Lalu, ia menemukan informasi tentang ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) di internet dan merasa bahwa gejala-gejala yang dijelaskan sangat mirip dengan apa yang ia alami. Dengan "mendiagnosis" dirinya sendiri dengan ADHD, ia merasa bahwa ia akhirnya memiliki jawaban atas kesulitan yang selama ini ia hadapi.

Namun, tanpa diagnosis profesional, ia mungkin salah mengartikan gejala-gejala tersebut dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Tapi menariknya, menurut survei dari American Psychological Association tahun 2022, lebih dari 60% Gen-Z dunia mengaku pernah mencari tahu soal gangguan mental lewat internet sebelum konsultasi ke ahli.

Fenomena ini juga didorong oleh stigma sosial: bicara ke psikolog atau psikiater masih dianggap lemah atau “gila”. Maka, self-diagnose jadi jalan tengah yang dirasa aman. Stigma seputar kesehatan mental masih menjadi masalah besar di Indonesia. Banyak orang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan profesional karena takut dicap negatif oleh masyarakat.

Akibatnya, mereka lebih memilih untuk mencari informasi sendiri di internet dan melakukan self-diagnose, meskipun mereka tahu bahwa hal itu tidak ideal. Penting untuk terus mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental dan menghilangkan stigma yang ada, sehingga orang-orang merasa lebih nyaman untuk mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya.

Organisasi seperti World Health Organization (WHO) menyediakan banyak informasi tentang kesehatan mental dan cara mengatasi stigma.

Risiko Nyata: Dari Salah Paham Sampai Salah Penanganan Masalah Mental

Memahami diri itu penting, tapi self-diagnose justru sering menyesatkan. Gangguan mental punya spektrum gejala dan penyebab yang sangat luas.

Banyak gejala yang tumpang tindih, atau justru bukan indikasi gangguan mental sama sekali. Misalnya, insomnia tidak selalu berarti depresi; bisa jadi hanya efek pola hidup yang berantakan. Kurang tidur, stres, atau konsumsi kafein berlebihan juga bisa menyebabkan insomnia.

Jika seseorang langsung menyimpulkan bahwa dirinya mengalami depresi hanya karena ia mengalami insomnia, ia mungkin salah mengartikan penyebab sebenarnya dari masalahnya dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain sebelum membuat kesimpulan tentang kesehatan mental.

Risiko paling nyata dari self-diagnose adalah treatment yang salah.

Studi dari Harvard Medical School pada 2021 mengungkap, 42% orang yang self-diagnose cenderung melakukan self-medication, seperti konsumsi obat tidur, alkohol, atau bahkan obat psikotropika tanpa resep. Efeknya? Bukannya membaik, justru memperburuk kondisi fisik dan mental. Self-medication bisa sangat berbahaya karena obat-obatan, terutama obat psikotropika, memiliki efek samping yang serius dan harus dikonsumsi di bawah pengawasan dokter.

Mengonsumsi obat-obatan tanpa resep bisa menyebabkan ketergantungan, overdosis, atau interaksi obat yang berbahaya. Selain itu, self-medication juga bisa menutupi gejala-gejala yang sebenarnya dan menunda diagnosis yang tepat.

Salah diagnosis juga bisa berujung pada isolasi sosial. Seseorang yang merasa dirinya bipolar mungkin jadi enggan bergaul, takut dicap aneh, atau justru mencari kelompok dengan label serupa sehingga memperkuat delusi diagnosisnya.

Di sisi lain, mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan profesional justru semakin jauh dari akses pertolongan yang tepat. Isolasi sosial bisa memperburuk kondisi kesehatan mental. Dukungan sosial sangat penting untuk pemulihan dan kesejahteraan mental. Jika seseorang merasa terisolasi karena salah diagnosis, ia mungkin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dukungan yang ia butuhkan dan merasa semakin buruk.

Mencari komunitas online yang mendukung bisa bermanfaat, tetapi penting untuk memastikan bahwa komunitas tersebut dipandu oleh profesional kesehatan mental dan memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab.

Mengapa Diagnosis Profesional Tidak Bisa Digantikan dalam Masalah Kesehatan Mental?

Diagnosis gangguan mental itu seperti memecahkan teka-teki rumit.

Psikolog dan psikiater butuh proses wawancara mendalam, observasi perilaku, hingga tes psikologis valid demi memastikan seseorang benar-benar mengalami gangguan tertentu. Proses diagnosis profesional melibatkan berbagai langkah dan pertimbangan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Psikolog dan psikiater memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mendalam tentang berbagai gangguan mental dan cara mendiagnosisnya dengan tepat.

Mereka juga menggunakan alat-alat tes psikologis yang valid dan reliabel untuk membantu mereka dalam proses diagnosis. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti riwayat keluarga, kondisi medis, dan lingkungan sosial sebelum membuat diagnosis.

Bahkan, menurut World Health Organization, diagnosis yang akurat baru bisa ditegakkan setelah beberapa sesi konsultasi, bukan sekadar ceklis gejala di internet.

Hal ini karena gejala-gejala gangguan mental bisa bervariasi dari orang ke orang dan bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa sesi konsultasi memungkinkan psikolog atau psikiater untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang kondisi seseorang sebelum membuat diagnosis.

Selain itu, diagnosis klinis mempertimbangkan faktor biologis, lingkungan, dan riwayat keluarga.

Hal ini mustahil dilakukan sendiri hanya dengan menonton video atau membaca thread Twitter. Faktor-faktor ini bisa memainkan peran penting dalam perkembangan gangguan mental. Misalnya, seseorang dengan riwayat keluarga depresi mungkin lebih rentan untuk mengalami depresi sendiri. Lingkungan yang penuh stres atau trauma juga bisa meningkatkan risiko gangguan mental. Diagnosis yang tepat adalah pintu awal mendapatkan penanganan dan support yang sesuai.

Penanganan yang tepat bisa berupa terapi, obat-obatan, atau kombinasi keduanya. Dukungan sosial juga sangat penting untuk pemulihan dan kesejahteraan mental.

Meromantisasi Gangguan Mental: Tren Berbahaya atau Bentuk Ekspresi Masalah Mental?

Ada kecenderungan di media sosial untuk meromantisasi depresi, anxiety, atau ADHD sebagai ciri unik dan keren.

Meme, quotes, bahkan filter khusus di Instagram kadang justru memperkuat stigma bahwa gangguan mental adalah “gaya hidup” Gen-Z. Padahal, bagi mereka yang benar-benar mengalaminya, ini adalah beban berat. Meromantisasi gangguan mental bisa meremehkan penderitaan orang-orang yang benar-benar mengalaminya. Ini juga bisa membuat orang enggan untuk mencari bantuan karena mereka merasa bahwa gangguan mental adalah sesuatu yang keren atau unik.

Penting untuk diingat bahwa gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang serius dan membutuhkan penanganan yang tepat.

Studi Universitas Airlangga (2022) menyebut, 1 dari 5 remaja Indonesia mulai melihat gangguan mental sebagai identitas sosial, bukan lagi masalah kesehatan. Akibatnya, terjadi normalisasi perilaku self-diagnose dan pengabaian terhadap pentingnya terapi atau intervensi medis.

Jika gangguan mental dianggap sebagai identitas sosial, orang mungkin merasa enggan untuk mencari bantuan karena mereka takut kehilangan identitas mereka. Ini bisa menunda penanganan dan memperburuk kondisi kesehatan mental. Efek jangka panjangnya bisa fatal: angka bunuh diri remaja di Indonesia naik 10% dalam lima tahun terakhir menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.

Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius dan seringkali terkait dengan gangguan mental yang tidak diobati. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas.

Alternatif Bijak: Bagaimana Gen-Z Bisa Lebih Melek Kesehatan Mental?

Mengakui ada masalah itu langkah awal.

Tapi, alih-alih self-diagnose, ada cara yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Pertama, mulai dari edukasi berbasis sains. Cari sumber informasi terpercaya, misal lewat Alodokter, Halodoc, atau situs Kemenkes. Sumber informasi yang terpercaya biasanya didasarkan pada penelitian ilmiah dan ditinjau oleh para ahli kesehatan mental.

Hindari sumber informasi yang sensasional atau tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas. Jangan ragu bertanya pada psikolog sekolah, dosen BK, atau konselor universitas, yang kini makin terbuka dan accessible untuk mahasiswa. Mereka bisa memberikan informasi yang akurat dan membantu Anda untuk memahami kondisi Anda.

Kedua, manfaatkan layanan telemedicine.

Banyak startup Indonesia kini menyediakan konsultasi mental health secara online, bahkan gratis atau bersubsidi untuk pelajar. Prosesnya lebih privat, tanpa harus takut ketahuan lingkungan sekitar. Telemedicine bisa menjadi pilihan yang baik bagi orang-orang yang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan secara langsung.

Ini juga bisa menjadi pilihan yang lebih terjangkau dan mudah diakses bagi orang-orang yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan fisik.

Ketiga, biasakan self-care dengan cara sehat: tidur cukup, olahraga ringan, kurangi konsumsi berita negatif, dan cari komunitas positif di luar media sosial. Self-care adalah cara untuk menjaga kesehatan mental dan fisik Anda.

Tidur yang cukup, olahraga, dan diet yang sehat bisa membantu Anda untuk merasa lebih baik secara keseluruhan. Mengurangi konsumsi berita negatif dan mencari komunitas positif bisa membantu Anda untuk mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati Anda. Komunitas yang sehat bukan yang saling berlomba “paling sakit”, tapi saling menguatkan untuk pulih bersama.

Dukungan sosial sangat penting untuk pemulihan dan kesejahteraan mental.

Mengubah Paradigma: Gangguan Mental Bukan Label, Tapi Proses Pemulihan Kesehatan Mental

Setiap individu unik, dan pengalaman emosional tidak selalu berarti penyakit. Tidak semua rasa sedih, takut, atau stres berujung diagnosis klinis. Penting untuk mulai melihat gangguan mental sebagai proses pemulihan, bukan label identitas.

Proses konsultasi dengan profesional memang butuh waktu dan biaya, tapi hasilnya jauh lebih akurat dan aman daripada self-diagnose. Investasi dalam kesehatan mental adalah investasi dalam diri sendiri. Dengan mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat, Anda bisa meningkatkan kualitas hidup Anda dan mencapai potensi penuh Anda.

Dunia digital memang menawarkan akses tanpa batas, tapi kesehatan mental tetap butuh sentuhan manusiawi.

Saat pikiran mulai tidak stabil, jangan buru-buru tempel label dari internet. Beranikan diri bicara dengan orang terdekat atau profesional, karena proses pulih dimulai dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Dengan begitu, kesehatan mental bukan sekadar tren, tapi jadi bagian dari hidup yang lebih sehat dan bermakna. Kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan.

Dengan menjaga kesehatan mental Anda, Anda bisa meningkatkan kualitas hidup Anda dan mencapai potensi penuh Anda. Jangan ragu untuk mencari bantuan jika Anda merasa membutuhkannya. Ada banyak sumber daya yang tersedia untuk membantu Anda, dan Anda tidak sendirian.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0