Fakta ADHD dan Hyperfixation yang Jarang Dibahas Orang

Oleh Ramones

Rabu, 27 Agustus 2025 - 15.53 WIB
Fakta ADHD dan Hyperfixation yang Jarang Dibahas Orang
ADHD dan hyperfixation di kehidupan nyata (Foto oleh luciano de sa di Unsplash).

VOXBLICK.COM - ADHD dan hyperfixation mungkin sudah sering terdengar, tapi tidak semua orang tahu bagaimana keduanya saling berkaitan. Banyak orang salah paham, mengira hyperfixation hanyalah masalah kurang fokus atau bahkan hanya sekadar keasyikan sesaat. Padahal, ketika membahas ADHD dan hyperfixation, kita bicara soal pola pikir, perasaan, bahkan hubungan sosial yang bisa berubah total.

Membedakan ADHD, Hyperfixation, dan Hyperfocus

Banyak yang masih bingung membedakan hyperfixation dengan hyperfocus. Keduanya memang mirip, tapi secara psikologis, efek dan dampaknya berbeda.


  • ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah kondisi neurodevelopmental yang memengaruhi pola pikir, perilaku, dan cara seseorang mengatur perhatian.

  • Hyperfixation adalah keadaan di mana seseorang sangat terobsesi pada satu aktivitas atau topik tertentu, sampai-sampai aktivitas lain diabaikan. Ini sering dialami oleh orang dengan ADHD dan juga mereka yang ada di spektrum autisme.

  • Hyperfocus lebih ke arah kemampuan berkonsentrasi penuh pada satu tugas dalam waktu tertentu, biasanya menghasilkan output yang produktif. Namun, hyperfixation justru bisa mengganggu rutinitas dan keseimbangan hidup karena fokusnya cenderung impulsif.

Mengapa ADHD Sering Berkaitan dengan Hyperfixation?

Penelitian dari berbagai jurnal kesehatan mental, seperti yang dibahas oleh WHO, menunjukkan bahwa ADHD tidak hanya soal kurang perhatian, tapi juga bisa menyebabkan pola pikir yang "melompat-lompat". Di sisi lain, ketika otak menemukan satu hal yang benar-benar menarik, perhatian bisa "terjebak" di sana. Inilah yang disebut hyperfixation.

Menurut penjelasan di Healthline, orang dengan ADHD sering kali mengalami "roller coaster" emosi dan perhatian. Mereka bisa sangat tidak fokus pada satu saat, tapi kemudian sangat terpaku pada satu hal hingga lupa waktu, lupa makan, bahkan mengabaikan kebutuhan dasar. Hal ini tentu bisa memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, bahkan kesehatan fisik.

Gejala Hyperfixation pada ADHD yang Sering Diabaikan

Beberapa tanda hyperfixation pada individu dengan ADHD bisa sangat subtil. Berikut beberapa gejala yang sering tidak disadari:


  • Menghabiskan waktu berjam-jam pada satu tugas atau hobbi, bahkan ketika ada tanggung jawab penting lain yang harus dikerjakan.

  • Mengabaikan sinyal tubuh seperti lapar, lelah, atau sakit kepala karena terlalu asyik dengan aktivitas tertentu.

  • Mudah kehilangan minat pada aktivitas lain yang sebelumnya juga disukai, karena fokus total pada satu hal baru.

  • Kesulitan "beralih" ke kegiatan lain, bahkan saat aktivitas utama sudah tidak lagi menyenangkan.

  • Orang sekitar sering merasa ditinggalkan atau tidak dianggap karena komunikasi tersendat saat seseorang sedang hyperfixation.

Hyperfixation pada ADHD vs Autisme

Perlu diketahui, hyperfixation tidak hanya terjadi pada ADHD. Orang dalam spektrum autis juga bisa mengalaminya. Namun, perbedaannya terletak pada motivasi dan pemicunya.

Pada ADHD, hyperfixation sering dipicu oleh dorongan impulsif dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal baru. Di sisi lain, pada autisme, hyperfixation biasanya berkaitan dengan kebutuhan akan rutinitas atau kenyamanan pada aktivitas yang familiar.

Penelitian yang dimuat dalam jurnal NCBI menyoroti bahwa pada orang dewasa dengan ADHD, hyperfixation bisa menjadi "pelarian" dari stres atau kecemasan. Sementara itu, pada autisme, hyperfixation lebih bersifat sebagai "zona aman" dari ketidakpastian luar.

Dampak Hyperfixation pada Kehidupan Sehari-hari

Dampak hyperfixation sangat luas. Mulai dari kehidupan kerja, hubungan sosial, hingga kesehatan fisik.

Misalnya, seseorang dengan ADHD yang sedang hyperfixation bisa lupa menunaikan tugas kantor, lupa janji dengan teman, atau bahkan lupa makan dan tidur. Ini dapat memicu masalah baru seperti burnout, kecemasan, hingga konflik dalam hubungan.

Dalam dunia kerja, hyperfixation kadang membuat seseorang sangat produktif di satu proyek, tapi kemudian mengabaikan pekerjaan lain yang juga penting.

Pada hubungan sosial, teman atau pasangan bisa merasa tidak dihargai karena komunikasi yang terputus ketika seseorang "tenggelam" dalam hyperfixation.

Apakah Hyperfixation Selalu Negatif?

Tidak selalu. Banyak penemuan besar atau karya seni lahir dari hyperfixation. Dalam beberapa kasus, kemampuan untuk "tenggelam" dalam satu hal bisa menghasilkan karya luar biasa.

Namun, jika tidak diatur, hyperfixation dapat merusak keseimbangan hidup.

Penting untuk memahami kapan hyperfixation mulai mengganggu rutinitas harian, kesehatan, atau hubungan. Jika sudah seperti itu, artinya ada masalah yang harus diatasi.

Cara Mengelola Hyperfixation pada ADHD

Mengelola hyperfixation bukan soal menahan diri untuk tidak tertarik pada sesuatu. Lebih ke bagaimana mengatur waktu dan energi agar tetap seimbang. Berikut beberapa tips yang disarankan oleh para ahli kesehatan mental:


  • Buat Jadwal Rutin - Atur waktu khusus untuk aktivitas yang disukai dan aktivitas wajib, sehingga tidak ada yang terabaikan.

  • Gunakan Alarm atau Pengingat - Alarm bisa membantu mengingatkan kapan harus berhenti dan beralih ke aktivitas lain.

  • Libatkan Orang Terdekat - Minta bantuan teman, keluarga, atau rekan kerja untuk mengingatkan jika terlalu tenggelam dalam satu aktivitas.

  • Latih Mindfulness - Teknik mindfulness bantu menyadari kapan kamu mulai "tenggelam" terlalu dalam, sehingga bisa mengatur ulang fokus.

  • Jangan Takut Istirahat - Sering kali, hyperfixation muncul karena kelelahan mental. Istirahat sejenak bisa membantu mengembalikan fokus dan energi.

Pentingnya Dukungan Sosial dan Empati

Saat seseorang dengan ADHD mengalami hyperfixation, dukungan sosial sangat penting. Keluarga, teman, dan lingkungan kerja bisa menjadi "reminder" alami tanpa menghakimi.

Empati dan komunikasi terbuka akan membantu orang dengan ADHD merasa didengar dan dipahami.

Sebuah kisah nyata yang sempat viral di media sosial menceritakan bagaimana pasangan yang salah satunya ADHD mampu melewati tantangan dengan saling memahami dan mengakomodasi waktu hyperfixation.

Mereka sepakat untuk saling memberi ruang, namun tetap menjaga komunikasi agar hubungan tetap sehat.

Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?

Jika hyperfixation sudah mengganggu pekerjaan, hubungan, atau kesehatan mental secara signifikan, penting untuk segera mencari bantuan profesional.

Psikolog atau psikiater bisa membantu mengidentifikasi akar masalah dan memberikan penanganan yang tepat. Terapi perilaku kognitif, misalnya, terbukti efektif untuk membantu individu dengan ADHD mengelola pola pikir dan perilaku impulsif.

Banyak artikel dari Verywell Mind juga menekankan pentingnya penanganan dini agar efek domino dari hyperfixation bisa dicegah. Jangan ragu untuk konsultasi jika merasa kewalahan atau tidak mampu mengatur diri sendiri.

Hubungan ADHD, Hyperfixation, dan Kesejahteraan Mental

Menurut WHO, kesejahteraan mental sangat dipengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam mengatur prioritas dan mengenali pola pikir yang kurang sehat. Pada ADHD, tantangan ini memang lebih berat, apalagi jika hyperfixation sering muncul. Namun, dengan pemahaman yang tepat, dukungan lingkungan, dan penanganan yang sesuai, individu dengan ADHD tetap bisa hidup seimbang dan produktif.

Jangan ragu meminta bantuan dan terbuka dengan orang terdekat. Kesehatan mental bukan sesuatu yang harus diatasi sendirian.

Jika kamu, teman, atau keluarga menunjukkan tanda-tanda ADHD dan sering mengalami hyperfixation, langkah bijak adalah berdiskusi dengan tenaga profesional. Dengan begitu, strategi yang diterapkan akan lebih sesuai dan berdampak positif bagi kehidupan sehari-hari.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0