Gempa Jepang 2024: Fakta Mengerikan di Balik Guncangan 7,5 SR yang Lumpuhkan Semenanjung Noto

Oleh Andre NBS

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 12.10 WIB
Gempa Jepang 2024: Fakta Mengerikan di Balik Guncangan 7,5 SR yang Lumpuhkan Semenanjung Noto
Kerusakan Gempa Jepang 2024 (Foto oleh Joan W di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Tepat saat Jepang merayakan Tahun Baru 2024, bumi di bawah Semenanjung Noto, Prefektur Ishikawa, bergejolak hebat. Pukul 16:10 waktu setempat, gempa berkekuatan 7,5 magnitudo mengguncang wilayah tersebut.

Ini bukan sekadar gempa biasa; Japan Meteorological Agency (JMA) mencatat guncangan ini mencapai skala intensitas seismik maksimum, yaitu Shindo 7. Skala ini berarti getaran begitu kuat hingga orang tidak mungkin bisa berdiri, dan perabotan berat pun bisa terlempar.

Guncangan ini menjadi gempa bumi Jepang pertama yang mencapai Shindo 7 sejak gempa Hokkaido pada 2018, menandai sebuah bencana alam yang luar biasa.

Kekuatan gempa yang dangkal, hanya sekitar 10 kilometer di bawah permukaan, memperparah dampaknya. Energi yang dilepaskan terasa begitu dekat, menyebabkan kerusakan infrastruktur yang meluas seketika.

Guncangan susulan pun tak henti-hentinya terjadi, dengan ratusan gempa kecil hingga sedang terus menggoyahkan wilayah terdampak, menciptakan ketakutan psikologis yang mendalam bagi para penyintas dan mempersulit upaya penyelamatan korban.

Berita internasional segera menyorot kejadian ini sebagai bencana global pembuka tahun, menguji sistem mitigasi bencana Jepang yang terkenal canggih.

Tsunami dan Sistem Peringatan Dini yang Diuji

Beberapa menit setelah guncangan utama, sirene meraung di sepanjang pesisir.

JMA segera mengeluarkan peringatan tsunami besar (major tsunami warning) untuk Semenanjung Noto, sebuah level peringatan tertinggi yang pertama kali dikeluarkan sejak tragedi Tohoku 2011. Peringatan dini ini memerintahkan warga untuk segera melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Peringatan serupa, meski dengan level lebih rendah, juga dikeluarkan untuk prefektur tetangga seperti Niigata dan Toyama.

Sistem peringatan dini ini, yang terintegrasi dengan siaran televisi dan notifikasi ponsel, menjadi kunci untuk meminimalkan korban jiwa akibat gelombang pasang.

Gelombang tsunami pertama dilaporkan tiba di beberapa titik pesisir tak lama kemudian. Kota Suzu dan Wajima melaporkan gelombang setinggi lebih dari 1,2 meter.

Meskipun tidak sebesar gelombang dahsyat tahun 2011, terjangan ini cukup kuat untuk menyapu perahu, merusak pelabuhan, dan menggenangi area pesisir. Rekaman dari NHK menunjukkan bagaimana air laut naik dengan cepat, menggarisbawahi betapa pentingnya respons cepat terhadap perintah evakuasi.

Keberhasilan sistem peringatan dini ini menunjukkan betapa vitalnya investasi dalam teknologi mitigasi bencana, sebuah pelajaran penting yang terus dipelajari dari setiap gempa terkini.

Potret Kerusakan dan Upaya Penyelamatan yang Heroik

Dampak dari guncangan Shindo 7 terlihat jelas keesokan harinya. Kota Wajima, yang terkenal dengan pasar paginya dan kerajinan pernis tradisional, menjadi salah satu wilayah terdampak paling parah.

Kebakaran besar melanda area pasar pagi yang bersejarah, menghanguskan ratusan bangunan kayu. Di seluruh semenanjung, banyak bangunan, terutama rumah-rumah kayu tradisional yang lebih tua, runtuh total. Kerusakan infrastruktur sangat parah: jalan-jalan utama terbelah oleh retakan besar dan tanah longsor, mengisolasi banyak komunitas.

Bandara Noto mengalami kerusakan parah pada landasan pacunya, membuatnya tidak dapat digunakan dan memutus jalur vital untuk bantuan.

Dalam kondisi inilah, upaya tanggap darurat dimulai. Tim penyelamatan korban dari seluruh Jepang, termasuk unit Japan Self-Defense Forces (JSDF), dikerahkan. Namun, perjuangan mereka luar biasa berat. Akses yang terputus membuat mereka harus menempuh jalur darat yang berbahaya atau mengandalkan helikopter.

Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut situasi ini sebagai "perlombaan melawan waktu". Banyak korban gempa terjebak di bawah reruntuhan, dan setiap jam sangat berharga. Para relawan dan tim penyelamat lokal bekerja tanpa lelah, seringkali dengan peralatan terbatas, untuk mencari penyintas.

Kisah-kisah penyelamatan dramatis, seperti seorang wanita tua yang berhasil dievakuasi setelah lebih dari 72 jam terperangkap, menjadi secercah harapan di tengah tragedi.

Respon Pemerintah Jepang dan Bantuan Kemanusiaan

Pemerintah Jepang bergerak cepat untuk mengoordinasikan respons nasional. Pusat komando darurat segera didirikan, dan puluhan ribu personel JSDF, polisi, dan petugas pemadam kebakaran dikerahkan.

Prioritas utama adalah penyelamatan korban, diikuti dengan penyediaan tempat penampungan, makanan, air, dan pasokan medis bagi puluhan ribu orang yang terpaksa mengungsi. Proses evakuasi massal dilakukan di tengah suhu musim dingin yang membekukan, menambah kompleksitas tantangan.

Pusat-pusat evakuasi yang didirikan di sekolah dan gedung publik dengan cepat terisi. Di sini, para penyintas berbagi cerita dan saling menguatkan.

Bantuan kemanusiaan dari berbagai prefektur di Jepang mulai berdatangan, meskipun distribusinya terhambat oleh kondisi jalan yang rusak parah. Pemerintah Jepang pada awalnya menyatakan akan menangani situasi ini dengan sumber daya domestik, namun banyak negara sahabat, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara tetangga di Asia, menawarkan dukungan. Solidaritas internasional ini menunjukkan bagaimana bencana alam dapat menyatukan dunia.

Perlu diingat bahwa angka dan data dalam situasi bencana yang berkembang seperti ini terus diperbarui oleh pihak berwenang, dan informasi yang disajikan di sini mencerminkan laporan pada saat kejadian dan sesudahnya dari sumber terpercaya seperti Fire and Disaster Management Agency (FDMA) Japan.

Jalan Panjang Rekonstruksi dan Dampak Ekonomi

Setelah fase darurat awal berlalu, fokus beralih ke tugas berat rekonstruksi.

Kerusakan yang terjadi tidak hanya pada rumah dan bangunan, tetapi juga pada sendi-sendi perekonomian lokal. Semenanjung Noto sangat bergantung pada pariwisata, perikanan, dan industri kerajinan tradisional. Hancurnya infrastruktur pariwisata dan pelabuhan perikanan memberikan pukulan telak bagi mata pencaharian penduduk.

Proses rekonstruksi diperkirakan akan memakan waktu bertahun-tahun dan menelan biaya miliaran dolar.

Pemerintah Jepang telah menjanjikan dukungan finansial yang signifikan untuk membantu pemulihan wilayah terdampak. Namun, tantangannya lebih dari sekadar membangun kembali fisik bangunan. Ada tantangan demografis, di mana banyak komunitas di Noto memiliki populasi lansia yang tinggi.

Memastikan mereka dapat kembali ke kehidupan normal dan membangun kembali komunitas yang tangguh akan menjadi fokus utama. Dampak ekonomi dari gempa ini menjadi pengingat pahit akan kerentanan ekonomi terhadap bencana alam, bahkan di negara sekuat Jepang.

Gempa bumi Jepang ini sekali lagi menempatkan pentingnya ketahanan ekonomi dalam agenda nasional dan global.

Peristiwa tragis di Semenanjung Noto adalah pengingat yang menyakitkan tentang kekuatan alam yang tak terduga. Namun, di tengah puing-puing, semangat ketahanan, efektivitas sistem peringatan dini, dan solidaritas kemanusiaan bersinar terang.

Jalan menuju pemulihan akan panjang dan sulit, tetapi upaya bersama dari pemerintah, relawan, dan komunitas internasional akan membantu Ishikawa bangkit kembali. Bagi dunia, gempa ini menjadi studi kasus krusial dalam manajemen bencana, menggarisbawahi bahwa kesiapsiagaan dan inovasi dalam mitigasi bencana adalah investasi yang tidak ternilai harganya untuk masa depan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0