Indonesia Siap Luncurkan 'Nobel Perdamaian' Sendiri? Usulan Menag Nasaruddin Umar Guncang Panggung Global

VOXBLICK.COM - Gagasan besar datang dari Menteri Agama (Menag) RI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. Beliau mengusulkan agar Indonesia mengambil inisiatif untuk memberikan penghargaan bergengsi bagi tokoh perdamaian dunia.
Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah pernyataan niat yang kuat, menandakan sudah saatnya Indonesia tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi pemain utama dalam panggung penghargaan internasional. Usulan ini dilontarkan Nasaruddin Umar saat membuka acara Halaqah Ulama dan Pimpinan Ormas Islam, menegaskan bahwa kontribusi global Indonesia dalam mempromosikan perdamaian perlu diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkret dan diakui secara global.
"Sudah saatnya kita yang memberikan hadiah kepada tokoh-tokoh perdamaian dunia. Jangan kita terus yang menjadi objek," ujar Menag Nasaruddin Umar. Pernyataan ini menyiratkan sebuah pergeseran paradigma. Selama ini, barometer pengakuan atas jasa perdamaian seringkali berkiblat pada institusi Barat seperti Nobel Perdamaian.
Gagasan Menag RI ini seolah membuka pintu bagi sebuah alternatif, sebuah penghargaan perdamaian yang lahir dari rahim bangsa dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang memegang teguh Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat diplomasi Indonesia di kancah global.
Kenapa Indonesia?
Membedah Alasan di Balik Gagasan Besar Ini
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa harus Indonesia? Jawabannya terletak pada DNA bangsa ini sendiri. Indonesia memiliki modal sosial dan politik yang sangat kuat untuk menjadi inisiator penghargaan tingkat dunia semacam ini. Pertama, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memberikan legitimasi yang unik.
Dunia sering melihat Indonesia sebagai contoh sukses bagaimana Islam, modernitas, dan demokrasi dapat berjalan beriringan. Konsep moderasi beragama (wasathiyyah al-islam) yang terus didengungkan pemerintah menjadi fondasi kuat bagi kebijakan perdamaian. Kedua, rekam jejak peran Indonesia dalam perdamaian dunia tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sejak era Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung yang menjadi cikal bakal Gerakan Non-Blok, Indonesia secara konsisten menunjukkan peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perdamaian. Ini bukan sekadar retorika, melainkan aksi nyata yang tercermin dalam kebijakan luar negeri bebas aktif. Diplomasi Indonesia telah terbukti mampu menjadi penengah dalam berbagai konflik regional.
Peran tokoh perdamaian dari Indonesia sudah sering terlihat, namun kini saatnya Indonesia menjadi institusi yang mengakui peran tersebut secara global. Nasaruddin Umar sendiri, selain menjabat sebagai Menag RI, juga merupakan seorang akademisi dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Latar belakang ini memberinya perspektif yang luas tentang pentingnya diplomasi budaya dan dialog antaragama sebagai pilar perdamaian dunia.
Gagasan penghargaan ini sejalan dengan visi beliau untuk memproyeksikan citra Islam yang damai dan toleran dari Indonesia ke seluruh dunia. Ini adalah wujud nyata dari upaya menjadikan nilai-nilai luhur bangsa sebagai kontribusi global yang signifikan.
Dampak Strategis: Lebih dari Sekadar Penghargaan Simbolis
Jika terwujud, penghargaan perdamaian yang diinisiasi Indonesia ini akan memiliki dampak yang jauh melampaui seremoni penyerahan medali.
Ini adalah instrumen soft power yang sangat efektif.
Sebuah penghargaan perdamaian dari Indonesia akan menawarkan perspektif yang berbeda, yang mungkin lebih inklusif dan relevan bagi negara-negara berkembang atau dunia Islam, yang terkadang merasa narasi perdamaian global didominasi oleh sudut pandang Barat.
Mengubah Narasi Global
Penghargaan ini dapat menjadi platform untuk menyoroti tokoh-tokoh atau organisasi yang upaya perdamaiannya mungkin tidak masuk dalam radar penghargaan internasional yang sudah ada.
Misalnya, para pejuang perdamaian di tingkat akar rumput, mediator konflik adat, atau ulama yang mempromosikan toleransi di tengah komunitas yang terancam radikalisme. Dengan demikian, Indonesia dapat membantu memperluas definisi 'tokoh perdamaian dunia' itu sendiri.
Memperkuat Hubungan Internasional
Proses seleksi dan penganugerahan akan melibatkan banyak negara dan organisasi internasional, yang secara otomatis akan memperkuat hubungan internasional Indonesia.
Ini menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam diplomasi multilateral. Mengelola sebuah penghargaan internasional yang kredibel akan meningkatkan citra dan otoritas Indonesia di mata dunia, memperkuat posisi tawar dalam berbagai isu global lainnya.
Mendorong Kebijakan Perdamaian Domestik
Adanya penghargaan ini juga bisa menjadi cermin bagi Indonesia sendiri.
Untuk bisa menjadi juri perdamaian dunia, tentu Indonesia harus terus menjaga dan merawat perdamaian di dalam negerinya sendiri. Inisiatif ini bisa menjadi pendorong untuk terus memperkuat kerukunan antarumat beragama, menyelesaikan konflik sosial secara damai, dan memastikan nilai-nilai Pancasila benar-benar hidup dalam masyarakat.
Ini adalah bentuk komitmen yang otentik terhadap perdamaian dunia, yang dimulai dari rumah sendiri.
Rekam Jejak Nyata Peran Indonesia dalam Misi Perdamaian
Usulan Menag RI Nasaruddin Umar ini bukan tanpa dasar. Indonesia memiliki portofolio yang mengesankan dalam kontribusi bagi perdamaian dunia. Salah satu bukti paling nyata adalah partisipasi aktif dalam misi pemeliharaan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pasukan Garuda atau Kontingen Garuda telah menjadi duta bangsa yang membanggakan sejak pertama kali dikirim ke Mesir pada tahun 1957. Menurut data resmi dari United Nations Peacekeeping, Indonesia secara konsisten berada di jajaran 10 besar negara penyumbang personel militer dan polisi terbanyak untuk misi PBB.
Hingga saat ini, ribuan personel Indonesia bertugas di berbagai wilayah konflik di dunia, seperti Lebanon (UNIFIL), Republik Demokratik Kongo (MONUSCO), dan Sudan Selatan (UNMISS). Partisipasi ini adalah wujud konkret dari amanat konstitusi untuk ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia. Peran Indonesia dalam perdamaian ini menjadi landasan kuat untuk menginisiasi sebuah penghargaan perdamaian.
Selain kontribusi militer, diplomasi Indonesia juga kerap menjadi kunci penyelesaian konflik. Peran Indonesia dalam proses perdamaian Kamboja di akhir 1980-an melalui Jakarta Informal Meeting (JIM) adalah salah satu contoh legendaris. Lebih baru, Indonesia juga menjadi fasilitator dalam proses perdamaian antara Pemerintah Filipina dan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF).
Keberhasilan-keberhasilan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keahlian dan pengalaman dalam mediasi konflik yang diakui secara internasional. Inilah modal utama yang mendukung gagasan penghargaan perdamaian dunia dari Indonesia.
Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Mewujudkan gagasan sebesar ini tentu tidak akan mudah. Ada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Pertama adalah soal kredibilitas.
Bagaimana memastikan proses seleksi nominator dan pemenang benar-benar independen, transparan, dan bebas dari kepentingan politik? Indonesia harus bisa membentuk komite seleksi yang diisi oleh tokoh-tokoh berintegritas tinggi dari berbagai negara dan latar belakang. Kredibilitas adalah nyawa dari sebuah penghargaan internasional. Kedua, pendanaan. Mengelola penghargaan tingkat dunia membutuhkan sumber daya finansial yang tidak sedikit.
Pemerintah perlu merancang skema pendanaan yang berkelanjutan, yang mungkin bisa melibatkan kemitraan dengan sektor swasta atau filantropi internasional. Tentu saja, interpretasi terhadap dampak kebijakan semacam ini bisa bervariasi tergantung pada sudut pandang geopolitik masing-masing negara, dan pendanaan yang transparan menjadi kunci untuk menepis keraguan. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang yang sangat besar.
Inisiatif ini sejalan dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang ingin meningkatkan kontribusi global. Seperti yang sering diungkapkan oleh para pengamat hubungan internasional, abad ke-21 adalah panggung bagi negara-negara kekuatan menengah (middle powers) seperti Indonesia untuk mengambil peran lebih besar.
Teuku Rezasyah, seorang pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi 'juru damai' global, terutama melalui pendekatan diplomasi budaya dan antar-iman. Penghargaan ini bisa menjadi salah satu manifestasi paling nyata dari peran tersebut.
Ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kepemimpinan global tidak melulu soal kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga tentang kekuatan moral dan komitmen terhadap kemanusiaan dan perdamaian dunia. Ini adalah tentang mengukuhkan peran aktif Indonesia dalam arena global, bukan sebagai pengikut, melainkan sebagai penentu arah baru dalam diskursus perdamaian internasional.
Langkah yang diusulkan Menag RI Nasaruddin Umar ini bisa menjadi awal dari sebuah warisan baru bagi bangsa. Pada akhirnya, usulan untuk menciptakan sebuah penghargaan perdamaian dunia dari Indonesia adalah sebuah panggilan untuk naik kelas. Ini bukan lagi soal menjadi objek dalam konstelasi global, tetapi menjadi subjek yang aktif membentuk masa depan yang lebih damai.
Gagasan ini mencerminkan kepercayaan diri sebuah bangsa besar yang sadar akan potensi dan tanggung jawab historisnya. Apakah ide ini akan terwujud atau hanya menjadi wacana, waktu yang akan menjawab.
Namun, keberanian untuk bermimpi besar dan menyuarakannya ke publik, seperti yang dilakukan oleh Menag RI, adalah langkah awal yang patut diapresiasi dan didukung sebagai bagian dari evolusi diplomasi Indonesia di panggung dunia.
Apa Reaksi Anda?






