Ini Kisah Tentang Darah dan Air Mata di Balik Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan

Oleh VOXBLICK

Jumat, 22 Agustus 2025 - 14.40 WIB
Ini Kisah Tentang Darah dan Air Mata di Balik Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan
Sejarah di Balik Hari Pahlawan (Foto oleh Yuri Carvalho di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Setiap kali kalender menunjukkan tanggal 10 November, mungkin yang terlintas di benakmu adalah upacara bendera, lagu-lagu perjuangan, atau sekadar hari libur nasional.

Namun, di balik peringatan tahunan ini, tersimpan sebuah kisah epik tentang keberanian, pengorbanan, dan pertaruhan nyawa yang membentuk salah satu babak terpenting dalam sejarah Indonesia. Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan bukanlah keputusan acak, melainkan sebuah penghormatan abadi untuk peristiwa dahsyat yang dikenal sebagai Pertempuran Surabaya.

Peristiwa ini menjadi bukti bahwa kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang harus direbut dan dipertahankan dengan darah dan air mata.

Memahami sejarah Hari Pahlawan adalah memahami denyut nadi perjuangan bangsa.

Akar Perlawanan: Saat Kemerdekaan Kembali Terancam

Untuk mengerti mengapa Pertempuran Surabaya bisa meletus begitu dahsyat, kita harus kembali ke suasana pasca-proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945. Euforia kemerdekaan masih terasa, namun ancaman baru datang dengan cepat.

Pasukan Sekutu, yang diwakili oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah komando Inggris, mendarat di Jakarta pada September 1945 dan tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tujuan awal mereka adalah melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang.

Namun, situasi menjadi rumit karena pasukan ini diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang jelas-jelas ingin mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Bagi rakyat Indonesia, ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap kemerdekaan yang baru mereka raih. Ketegangan di Surabaya mencapai puncaknya pada 19 September 1945 dalam sebuah insiden ikonik di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit).

Beberapa orang Belanda mengibarkan bendera triwarna (merah-putih-biru) di puncak hotel, sebuah simbol provokatif yang menyulut amarah arek-arek Suroboyo. Mereka melihatnya sebagai penghinaan terhadap kedaulatan Indonesia. Para pemuda pejuang kemudian menyerbu hotel, menurunkan bendera Belanda, dan merobek bagian birunya, menyisakan warna merah dan putih. Sang Saka Merah Putih pun berkibar gagah, menjadi simbol perlawanan yang tak bisa ditawar-tawar.

Insiden ini adalah percikan api pertama yang menandai bahwa rakyat Surabaya tidak akan tinggal diam. Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan telah dimulai, dan inilah titik awal dari sejarah Hari Pahlawan yang kita kenal.

Pemicu Pertempuran Terbesar: Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah insiden Hotel Yamato, kontak senjata antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris mulai sering terjadi.

Pihak Inggris kemudian menyebarkan pamflet yang memerintahkan rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka. Tentu saja, perintah ini ditolak mentah-mentah. Pada 27 Oktober 1945, pertempuran kecil mulai meletus di berbagai sudut kota. Situasi semakin memanas hingga pada 30 Oktober 1945, terjadi peristiwa yang mengubah segalanya. Brigadir Jenderal A.W.S.

Mallaby, komandan pasukan Inggris di Surabaya, tewas dalam sebuah baku tembak di dekat Jembatan Merah. Kematian seorang perwira tinggi ini membuat pihak Inggris murka. Meskipun detail kronologis dari beberapa sumber bisa sedikit berbeda, inti dari peristiwa ini tetap sama: kematian Mallaby menjadi pembenaran bagi Inggris untuk melancarkan serangan besar-besaran.

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI, mengeluarkan ultimatum keras pada 9 November 1945. Isinya memerintahkan seluruh pemimpin dan pejuang Indonesia di Surabaya untuk menyerah tanpa syarat, meletakkan senjata, dan menyerahkan diri dengan tangan di atas kepala sebelum pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Jika ultimatum itu diabaikan, Inggris mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.

Ultimatum ini menempatkan arek-arek Suroboyo di persimpangan jalan: menyerah dan kembali dijajah, atau melawan dengan segala risiko.

Pilihan mereka menentukan jalan sejarah bangsa dan menjadi inti dari peringatan Hari Pahlawan.

Gema Pidato Bung Tomo: “Merdeka atau Mati!”

Di tengah kegentingan dan ancaman ultimatum, muncul seorang tokoh yang mampu membakar semangat perlawanan hingga ke level tertinggi: Sutomo, atau yang lebih kita kenal sebagai Bung Tomo.

Melalui siaran radio, pidatonya yang berapi-api menggema ke seluruh penjuru kota, membangkitkan keberanian dan menolak rasa takut. Dengan pekik “Allahu Akbar!” yang khas dan seruan “Merdeka atau Mati!”, Bung Tomo berhasil menyatukan hati dan tekad para pejuang. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah hak dan martabat yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan.

Pidatonya bukan sekadar retorika, melainkan suntikan moral yang luar biasa bagi para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing, senapan rampasan, dan semangat yang menyala-nyala. Mereka siap menghadapi salah satu kekuatan militer terkuat di dunia saat itu. Peran Bung Tomo sangat krusial dalam membentuk mental para pahlawan nasional yang bertempur di Surabaya.

Berkat gema suaranya, arek-arek Suroboyo dengan tegas menolak ultimatum Inggris. Mereka memilih untuk bertempur.

10 November 1945: Saat Surabaya Menjadi Lautan Api

Sesuai ancamannya, tepat pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945, pasukan Inggris memulai serangan besar-besaran. Kapal-kapal perang menembakkan meriamnya dari laut, pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom dari udara, dan tank-tank Sherman merangsek masuk ke jantung kota dari darat.

Surabaya berubah menjadi medan perang yang mengerikan. Gempuran itu diperkirakan melibatkan sekitar 30.000 pasukan Inggris yang berpengalaman dari Divisi India ke-5, lengkap dengan persenjataan modern. Di sisi lain, ada sekitar 20.000 tentara dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekitar 100.000 milisi rakyat yang bersenjata seadanya.

Pertempuran Surabaya adalah pertarungan yang sangat tidak seimbang dari segi persenjataan, namun seimbang dari segi semangat. Arek-arek Suroboyo melawan dengan gagah berani dari lorong ke lorong, dari gedung ke gedung. Mereka menjadikan setiap jengkal tanah Surabaya sebagai benteng pertahanan. Pertempuran sengit ini berlangsung selama tiga minggu, mengubah kota menjadi puing-puing.

Ribuan pejuang dan warga sipil gugur, menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu pertempuran paling berdarah dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia.

Pengorbanan inilah yang menjadi landasan utama mengapa tanggal 10 November begitu sakral.

Dari Medan Perang ke Monumen Abadi: Penetapan Hari Pahlawan

Meski secara militer Surabaya akhirnya jatuh ke tangan Inggris, Pertempuran Surabaya adalah sebuah kemenangan strategis dan moral yang luar biasa bagi Indonesia. Perlawanan heroik arek-arek Suroboyo membuka mata dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia siap bertempur habis-habisan untuk mempertahankan kedaulatannya. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pertempuran ini menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Semangat juang yang ditunjukkan menjadi inspirasi bagi perjuangan di daerah-daerah lain.

Untuk mengenang dan menghormati pengorbanan tanpa batas dari para pejuang yang gugur dalam Pertempuran Surabaya, pemerintah Indonesia mengambil langkah penting. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959, tanggal 10 November secara resmi ditetapkan sebagai Hari Pahlawan nasional.

Seperti yang diulas dalam artikel Kompas.com, penetapan ini adalah cara negara untuk memastikan bahwa api semangat dan pengorbanan para pahlawan nasional tidak akan pernah padam. Sejak saat itu, setiap 10 November menjadi momen refleksi nasional.

Berbagai monumen perjuangan, seperti Tugu Pahlawan di Surabaya, dibangun bukan hanya sebagai penanda fisik, tetapi juga sebagai pengingat abadi akan utang kita kepada para pahlawan nasional yang telah memberikan segalanya untuk negeri ini. Kisah di balik 10 November adalah pelajaran berharga tentang arti sejati dari kepahlawanan.

Ini bukan hanya tentang mereka yang namanya terukir di monumen perjuangan, tetapi juga tentang ribuan rakyat biasa yang tanpa ragu mengorbankan nyawa demi sebuah cita-cita bernama Indonesia. Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang gratis. Ada harga mahal yang telah dibayar oleh generasi sebelum kita.

Oleh karena itu, tugas kita sekarang adalah mengisi kemerdekaan ini dengan semangat yang sama, berjuang di medan yang berbeda untuk menjadikan Indonesia bangsa yang lebih baik, adil, dan makmur. Mengenang sejarah Hari Pahlawan adalah cara kita menjaga api perjuangan itu tetap menyala di dalam diri.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0