Seni AI Milik Siapa? Mengupas Hak Cipta Karyamu yang Dibuat Mesin

VOXBLICK.COM - Kamu baru saja menghabiskan satu jam menyusun prompt sempurna di Midjourney. Hasilnya? Sebuah gambar digital yang spektakuler, melebihi imajinasimu. Kamu unggah di media sosial, dan teman-temanmu terkagum-kagum.
Tapi kemudian sebuah pertanyaan muncul di benakmu: 'Tunggu dulu, gambar ini sebenarnya milik siapa?' Pertanyaan ini bukan hanya milikmu; ini adalah inti dari perdebatan besar yang sedang terjadi di dunia kreatif, teknologi, dan hukum mengenai hak cipta seni AI. Selamat datang di perbatasan baru kreativitas, di mana batasan antara pencipta dan alat menjadi kabur.
Isu kepemilikan karya AI bukan lagi sekadar obrolan teoretis, melainkan masalah praktis yang dihadapi jutaan kreator sepertimu setiap hari.
Memahami lanskap ini sangat penting, baik kamu seorang seniman digital profesional, pemasar yang mencari visual, atau sekadar hobiis yang suka bereksperimen dengan gambar buatan AI.
Kekacauan Hukum: Kenapa Gambar Buatan AI Ada di Zona Abu-abu?
Inti dari masalah hak cipta seni AI terletak pada fondasi hukum hak cipta itu sendiri, yang selama berabad-abad dirancang dengan satu asumsi dasar: penciptanya adalah manusia.
Undang-undang hak cipta di seluruh dunia dibangun di atas gagasan 'human authorship' atau kepengarangan oleh manusia. Sebuah karya, agar bisa dilindungi, harus lahir dari kecerdasan dan kreativitas seorang insan. Kamera adalah alat, kuas adalah alat, tetapi fotografer dan pelukislah yang menjadi penciptanya.
Lalu, bagaimana jika alat itu sendiri model AI seperti DALL-E atau Midjourney dapat menghasilkan gambar yang kompleks berdasarkan perintah teks sederhana? Di sinilah zona abu-abu hukum seni AI dimulai. Kantor Hak Cipta Amerika Serikat (U.S. Copyright Office atau USCO), sebagai salah satu barometer utama dalam isu ini, telah mengambil sikap yang cukup tegas.
Mereka berulang kali menyatakan bahwa karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI tanpa campur tangan manusia yang signifikan tidak dapat didaftarkan hak ciptanya. Prinsip ini diuji dalam beberapa kasus penting. Salah satu yang paling terkenal adalah kasus 'Zarya of the Dawn', sebuah novel grafis karya Kristina Kashtanova. Gambar-gambar di dalamnya dibuat menggunakan Midjourney. Awalnya, Kashtanova diberikan hak cipta untuk seluruh buku.
Namun, setelah peninjauan ulang, USCO merevisi keputusannya pada Februari 2023. Mereka mempertahankan hak cipta untuk teks dan gubahan atau susunan elemen-elemen dalam buku yang dibuat oleh Kashtanova, tetapi secara eksplisit mencabut perlindungan hak cipta untuk setiap gambar buatan AI di dalamnya. Alasan mereka jelas: gambar-gambar tersebut tidak memiliki cukup 'human authorship'.
Kashtanova memang menulis prompt, tetapi Midjourney-lah yang 'menciptakan' gambarnya, sehingga kepemilikan karya AI tersebut menjadi tidak jelas. Kasus lain yang menggarisbawahi prinsip ini adalah upaya Stephen Thaler untuk mendaftarkan hak cipta atas sebuah gambar berjudul 'A Recent Entrance to Paradise' atas nama sistem AI ciptaannya, yang disebut 'Creativity Machine'.
Pengadilan AS menolak permohonannya dengan alasan bahwa undang-undang hak cipta hanya melindungi buah dari kerja keras intelektual manusia. Tanpa penulis manusia, tidak ada hak cipta.
Ini menegaskan bahwa, setidaknya di AS, debat mengenai hak cipta seni AI masih sangat berpihak pada kreator manusia.
Empat 'Tersangka' Utama dalam Kasus Kepemilikan Karya AI
Jadi, jika AI tidak bisa memiliki hak cipta dan kontribusi manusia melalui prompt saja dianggap belum cukup, siapa sebenarnya yang berpotensi menjadi pemilik gambar buatan AI?
Ada beberapa 'kandidat' utama dalam perdebatan sengit ini.
Kamu, Sang Maestro Prompt (The Prompt Engineer)
Ini adalah argumen yang paling dekat di hatimu. Kamu yang merumuskan ide, memilih kata-kata, melakukan iterasi berulang kali, dan menyempurnakan prompt hingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Keahlian dalam prompt engineering bisa dibilang merupakan bentuk seni tersendiri.
Kamu berargumen bahwa input kreatifmu adalah percikan orisinal yang memulai segalanya.
Namun, seperti yang ditunjukkan kasus 'Zarya of the Dawn', otoritas hukum saat ini melihat prompt lebih sebagai instruksi kepada seniman (dalam hal ini AI) daripada sebagai tindakan penciptaan langsung.
Perusahaan Teknologi di Balik Layar (The AI Developer)
Perusahaan seperti OpenAI (pencipta DALL-E) dan Midjourney telah menginvestasikan miliaran dolar dan ribuan jam kerja untuk membangun dan melatih model AI mereka.
Mereka bisa berargumen bahwa karya yang dihasilkan adalah produk dari alat milik mereka, sama seperti studio film memiliki hak atas film yang dibuat menggunakan peralatannya.
Sebagian besar platform ini mengatur kepemilikan karya AI melalui Ketentuan Layanan (Terms of Service) mereka, yang akan kita bahas lebih lanjut.
Mesin Itu Sendiri (The AI)
Ini adalah argumen yang paling filosofis dan, secara hukum, paling lemah saat ini. Gagasan bahwa entitas non-manusia dapat memiliki hak cipta akan merombak total sistem hukum kita.
Sebagian kecil akademisi, seperti Profesor Ryan Abbott, memperjuangkan gagasan bahwa AI seharusnya bisa diakui sebagai penemu atau pencipta untuk mendorong inovasi.
Namun, untuk saat ini, ini lebih merupakan bahan diskusi untuk masa depan daripada kenyataan hukum yang berlaku.
Milik Bersama (The Public Domain)
Ini adalah kesimpulan logis jika tidak ada dari ketiga pihak di atas yang dapat secara sah mengklaim hak cipta. Jika sebuah karya tidak memiliki penulis manusia yang memenuhi syarat, maka karya tersebut secara default masuk ke ranah publik.
Artinya, siapa pun bebas menggunakan, memodifikasi, dan mendistribusikan gambar buatan AI tersebut tanpa izin. Ini adalah prospek yang menarik bagi sebagian orang, tetapi menakutkan bagi kreator yang ingin memonetisasi hasil prompt engineering mereka.
Beda Negara, Beda Aturan: Sekilas Pandang Hukum Seni AI Global
Penting untuk diingat bahwa sikap USCO bukanlah satu-satunya suara di dunia.
Lanskap hukum seni AI bervariasi di setiap negara. Di Inggris, misalnya, situasinya sedikit berbeda dan berpotensi lebih ramah terhadap kepemilikan karya AI. Undang-Undang Hak Cipta, Desain, dan Paten Inggris tahun 1988 (Copyright, Designs and Patents Act 1988) memiliki ketentuan unik untuk 'karya yang dihasilkan oleh komputer' (computer-generated works).
Menurut Bagian 9(3) dari undang-undang tersebut, 'penulis' dari karya semacam itu adalah 'orang yang melakukan pengaturan yang diperlukan untuk penciptaan karya tersebut'. Ini bisa ditafsirkan sebagai pengguna yang membuat prompt atau bahkan pengembang yang merancang AI.
Meskipun belum banyak diuji di pengadilan terkait seni AI generatif modern, pasal ini membuka pintu bagi klaim hak cipta yang lebih kuat bagi pengguna di Inggris dibandingkan di AS.
Sementara itu, Uni Eropa masih dalam proses merumuskan pendekatannya melalui AI Act, tetapi diskusi awal cenderung mengikuti jejak AS dalam menekankan pentingnya peran manusia dalam penciptaan.
Bukan Sekadar Pasrah: Langkah Praktis Mengamankan Kreativitasmu
Melihat kompleksitas dan ketidakpastian hukum seni AI, mudah untuk merasa putus asa. Tapi jangan khawatir, kamu tidak sepenuhnya tanpa daya.
Ada langkah-langkah praktis yang bisa kamu ambil untuk memperkuat klaimmu dan melindungi hasil karyamu di tengah perdebatan hak cipta seni AI ini.
Pahami 'Kontrak' Digitalmu: Baca Terms of Service
Ini adalah langkah pertama yang paling penting. Setiap platform AI memiliki aturan mainnya sendiri. Midjourney, misalnya, memiliki kebijakan yang berbeda untuk pengguna gratis dan berbayar.
Pengguna berbayar umumnya diberikan hak kepemilikan atas gambar yang mereka hasilkan, meskipun Midjourney juga mempertahankan lisensi untuk menggunakan gambar tersebut. Sebaliknya, pengguna gratis sering kali harus menyetujui lisensi yang lebih terbuka seperti Creative Commons.
Memahami ketentuan ini sebelum kamu menggunakan sebuah platform secara ekstensif adalah kunci.
Jadilah 'Kurator', Bukan Hanya 'Operator'
Cara paling efektif untuk mendapatkan hak cipta adalah dengan menambahkan lapisan kreativitas manusia yang substansial. Jangan hanya menggunakan gambar buatan AI apa adanya. Anggap saja itu sebagai bahan mentah. Impor gambar tersebut ke perangkat lunak seperti Photoshop, Illustrator, atau Procreate.
Lakukan komposisi ulang, tambahkan elemen yang digambar manual, perbaiki warna secara signifikan, atau gabungkan dengan foto hasil jepretanmu sendiri. Semakin banyak modifikasi dan sentuhan pribadi yang kamu tambahkan, semakin kuat argumenmu bahwa karya akhir adalah ciptaanmu, bukan sekadar hasil dari prompt.
Simpan Jejak Digitalmu: Dokumentasikan Segalanya
Jika suatu saat kamu perlu membuktikan proses kreatifmu, dokumentasi adalah sahabatmu.
Simpan catatan terperinci tentang prompt yang kamu gunakan, termasuk setiap iterasi dan perubahan yang kamu buat. Ambil tangkapan layar dari proses kerjamu, terutama saat kamu melakukan pasca-produksi atau pengeditan.
Jejak digital ini bisa menjadi bukti berharga dari 'keringat intelektual' yang kamu curahkan untuk menciptakan karya akhir.
Pertimbangkan Lisensi Terbuka
Jika tujuan utamamu bukanlah komersialisasi eksklusif melainkan berbagi, pertimbangkan untuk melisensikan karyamu di bawah Creative Commons (CC).
Ini memungkinkanmu untuk menentukan bagaimana orang lain dapat menggunakan karyamu misalnya, dengan mengharuskan atribusi atau melarang penggunaan komersial sambil tetap berkontribusi pada ekosistem kreatif yang terbuka. Tentu saja, semua tips ini bergerak dalam lanskap hukum seni AI yang masih sangat baru dan terus berkembang. Informasi ini bertujuan untuk memberikan panduan umum dan bukan merupakan nasihat hukum.
Untuk proyek komersial atau jika kamu ragu mengenai kepemilikan karya AI, berkonsultasi dengan pengacara HKI (Hak Kekayaan Intelektual) adalah langkah paling bijaksana. Pada akhirnya, perdebatan hak cipta seni AI ini bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang bagaimana kita mendefinisikan kembali kreativitas di abad ke-21. Ini adalah dialog yang memaksa kita untuk merenungkan apa artinya menjadi seorang seniman.
Daripada terjebak dalam pertanyaan 'siapa pemiliknya?', mungkin pertanyaan yang lebih memberdayakan adalah 'apa lagi yang bisa kita ciptakan bersama teknologi ini?' Jadi, saat kamu kembali membuat karya dengan DALL-E atau Midjourney, ingatlah bahwa kekuatan terbesarmu bukanlah pada prompt yang sempurna, melainkan pada visi, kurasi, dan sentuhan unik yang hanya bisa diberikan oleh seorang manusia.
Dalam tarian antara manusia dan mesin ini, kepemilikan karya AI mungkin masih diperdebatkan, tetapi nilai dari kreativitasmu tidak akan pernah tergantikan.
Apa Reaksi Anda?






