Senja Kala Majapahit: Tragedi Perang Saudara dan Gelombang Islam yang Mengakhiri Era Emas Nusantara

VOXBLICK.COM - Di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 menjelma menjadi sebuah kemaharajaan yang kekuasaannya membentang luas, sebuah epik kebesaran yang tercatat dalam tinta emas sejarah Majapahit.
Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada bukan sekadar retorika, melainkan sebuah visi politik yang nyaris terwujud sempurna, menyatukan Nusantara di bawah satu panji. Namun, seperti semua era keemasan, masa kejayaan ini menyimpan benih-benih kerapuhannya sendiri.
Wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364, diikuti oleh mangkatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, menjadi penanda berakhirnya sebuah babak gemilang dan dimulainya periode ketidakpastian yang kelak menjadi salah satu penyebab keruntuhan Majapahit. Ketiadaan dua figur sentral ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang pelik. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota dari permaisurinya, sehingga takhta diwariskan kepada menantunya, Wikramawardhana.
Keputusan ini memicu api dalam sekam. Di sisi lain, terdapat Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir, yang merasa memiliki hak yang sama, atau bahkan lebih, atas takhta ayahnya. Ia kemudian memisahkan diri dan mendirikan pusat kekuasaan di Pamotan, yang dikenal sebagai istana timur, sementara Wikramawardhana berkuasa di Trowulan, istana barat.
Dualisme kepemimpinan ini menjadi retakan pertama yang serius pada fondasi kokoh Majapahit. Ambisi pribadi dan sengketa warisan takhta ini secara perlahan menggerogoti persatuan kerajaan dari dalam, sebuah awal dari drama panjang yang akan mengarah pada runtuhnya Majapahit.
Perang Paregreg: Tragedi Berdarah yang Merobek Jantung Majapahit
Ketegangan antara istana barat dan timur akhirnya meledak menjadi konflik bersenjata yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Berlangsung dari tahun 1404 hingga 1406, perang ini bukanlah sekadar perebutan kekuasaan, melainkan sebuah tragedi keluarga yang menghancurkan.Istilah 'Paregreg' sendiri, yang dapat diartikan sebagai 'selangkah demi selangkah' atau 'saling serang bertahap', menggambarkan betapa melelahkan dan merusaknya konflik ini. Kitab Pararaton mencatat dengan getir bagaimana dua kekuatan yang seharusnya menjadi pilar utama kerajaan justru saling menghancurkan. Perang Paregreg memakan korban yang tak terhitung, baik dari kalangan elite maupun rakyat jelata.
Puncaknya adalah ketika pasukan istana barat di bawah Wikramawardhana berhasil menyerbu istana timur dan menewaskan Bhre Wirabhumi. Kemenangan ini, bagaimanapun, adalah kemenangan yang getir. Kas negara terkuras habis untuk membiayai perang, sumber daya manusia terbaik gugur di medan laga, dan yang terparah, citra Majapahit sebagai kekuatan yang tak terkalahkan mulai luntur.
Kerajaan-kerajaan bawahan di luar Jawa, yang selama ini tunduk karena kekuatan dan wibawa pusat, mulai melihat celah untuk melepaskan diri. Perang Paregreg menjadi luka menganga yang tak pernah benar-benar sembuh, dan dianggap sebagai salah satu penyebab keruntuhan Majapahit yang paling signifikan.
Energi kerajaan yang seharusnya digunakan untuk ekspansi dan kemakmuran justru habis untuk memadamkan api di rumah sendiri, menandai awal dari proses panjang runtuhnya Majapahit.
Gelombang Baru dari Pesisir: Kebangkitan Kerajaan Islam
Sementara jantung Majapahit di pedalaman terluka parah akibat Perang Paregreg, di wilayah pesisir utara Jawa, sebuah kekuatan baru tengah bangkit dengan pesat.Para pedagang Muslim telah lama menjalin hubungan dagang di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Gresik, Tuban, dan Demak. Seiring waktu, pengaruh mereka tidak hanya terbatas pada ekonomi, tetapi juga merambah ke ranah politik dan agama. Komunitas-komunitas Muslim tumbuh menjadi kadipaten-kadipaten yang kuat secara ekonomi, ditopang oleh jaringan perdagangan maritim yang luas.
Kemunculan kerajaan Islam, terutama Kesultanan Demak, menjadi penantang serius bagi hegemoni Majapahit. Mereka menawarkan tatanan sosial dan sistem kepercayaan yang berbeda, yang bagi sebagian kalangan lebih menarik daripada struktur feodalistik Hindu-Buddha yang sudah mapan. Menurut catatan Babad Tanah Jawi, pendiri Demak, Raden Patah, diyakini sebagai putra dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Meskipun kebenaran historis dari silsilah ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, narasi tersebut secara simbolis menggambarkan pergeseran kekuasaan sebagai sebuah proses internal yang kompleks, di mana generasi baru dengan keyakinan baru menggantikan tatanan lama. Kebangkitan kerajaan Islam ini bukan hanya menciptakan persaingan ekonomi dan militer, tetapi juga menggerus pengaruh budaya dan spiritual Majapahit, mempercepat proses runtuhnya Majapahit dari luar.
Misteri Serangan 1478: Siapa Sebenarnya yang Meruntuhkan Ibu Kota?
Salah satu momen paling dramatis dalam sejarah Majapahit adalah jatuhnya ibu kota Trowulan pada tahun 1478. Peristiwa ini sering ditandai dengan sengkalan atau kronogram candrasengkala yang berbunyi "Sirna Ilang Kertaning Bhumi," yang secara harfiah berarti "Sirna dan Hilang Kemakmuran di Bumi" dan ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.Selama bertahun-tahun, penafsiran populer menyebutkan bahwa serangan ini dilancarkan oleh Kesultanan Demak, yang menandai kemenangan final kerajaan Islam atas Majapahit. Namun, penelitian sejarah modern menawarkan perspektif yang berbeda dan lebih kompleks. Sejarawan seperti Slametmuljana dan Agus Aris Munandar, berdasarkan analisis terhadap berbagai prasasti dan catatan sejarah, berpendapat bahwa penyerang Trowulan bukanlah Demak, melainkan Girindrawardhana dari Kediri (Daha).
Menurut teori ini, Girindrawardhana adalah seorang penguasa dari garis keturunan Majapahit yang memberontak dan berhasil merebut takhta dari Bhre Kertabhumi (Brawijaya V). Dalam skenario ini, runtuhnya Majapahit pada 1478 adalah akibat kudeta internal oleh sesama penguasa Hindu-Buddha, bukan invasi eksternal dari kerajaan Islam.
Sebagaimana dijelaskan oleh Encyclopedia Britannica, perselisihan internal dan perebutan kekuasaan merupakan faktor kunci dalam pelemahan kerajaan ini. Demak baru benar-benar menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Majapahit yang telah pindah ke Daha beberapa dekade kemudian. Catatan sejarah dari periode ini seringkali fragmentaris dan terbuka untuk berbagai interpretasi, memaksa para ahli untuk terus menyatukan kepingan puzzle dari sumber yang ada.
Kerumitan ini menunjukkan bahwa penyebab keruntuhan Majapahit tidaklah tunggal, melainkan sebuah jalinan rumit antara konflik internal seperti Perang Paregreg dan tekanan eksternal dari kekuatan baru seperti Girindrawardhana dan kerajaan Islam.
Faktor Lain yang Mempercepat Keruntuhan
Selain Perang Paregreg dan kebangkitan kerajaan Islam, terdapat beberapa faktor lain yang turut mempercepat senja kala Majapahit.Dari sisi ekonomi, kendali atas jalur perdagangan laut perlahan-lahan beralih ke tangan para penguasa pesisir yang lebih dinamis. Ketergantungan Majapahit pada sektor agraria membuatnya kesulitan beradaptasi dengan perubahan lanskap ekonomi maritim. Krisis suksesi yang terus berulang setelah era Hayam Wuruk juga melemahkan otoritas pusat, menciptakan fragmentasi politik di mana para adipati daerah mulai bertindak secara independen.
Secara sosial, rakyat mungkin sudah lelah dengan konflik berkepanjangan dan pajak yang tinggi untuk membiayai perang. Agama Islam, dengan ajarannya yang lebih egaliter, menawarkan alternatif yang menarik bagi masyarakat jelata. Semua elemen ini, ketika digabungkan, menciptakan badai sempurna yang pada akhirnya menenggelamkan bahtera besar bernama Majapahit, mengakhiri sebuah epos penting dalam sejarah Majapahit.
Kisah runtuhnya Majapahit adalah sebuah cermin besar bagi perjalanan sebuah bangsa. Ia menunjukkan betapa kemaharajaan yang paling perkasa sekalipun dapat hancur, bukan semata-mata oleh serangan musuh dari luar, tetapi lebih sering karena perpecahan dari dalam. Tragedi Perang Paregreg mengajarkan kita tentang dampak destruktif dari ambisi pribadi dan konflik internal yang mengorbankan kepentingan bersama.
Perjalanan sejarah Majapahit, dari puncak kejayaan di masa Hayam Wuruk hingga keruntuhannya, bukanlah sekadar kumpulan tanggal dan nama, melainkan sebuah narasi abadi tentang kejayaan, kerapuhan, dan perubahan. Memahaminya bukan untuk meratapi masa lalu, melainkan untuk memetik kebijaksanaan tentang pentingnya persatuan, adaptasi, dan kepemimpinan yang bijak dalam menghadapi roda waktu yang tak pernah berhenti berputar.
Apa Reaksi Anda?






