Skill Apa Saja yang Wajib Dikuasai di 2028 agar tidak digantikan oleh Robot?

VOXBLICK.COM - Perbincangan soal PHK karena automasi dan AI belakangan ini bukan lagi isapan jempol, tapi sudah jadi kenyataan di depan mata. Banyak pekerjaan yang dulu dianggap aman, sekarang posisinya terancam. Di tengah situasi ini, dua kata jadi sangat krusial: reskilling dan upskilling. Sederhananya, reskilling itu belajar skill baru untuk pindah profesi, sementara upskilling itu mengasah skill yang sudah ada biar makin jago di pekerjaan sekarang. Tapi, siapa yang bertanggung jawab menjalankan program masif ini? Jawabannya bukan cuma pemerintah. Sektor swasta justru jadi ujung tombak yang menentukan berhasil atau tidaknya sebuah program reskilling nasional.
Kenapa Isu Reskilling dan Upskilling Mendadak Jadi Sangat Genting?
Situasinya memang sudah darurat. Laporan "Future of Jobs Report 2023" dari World Economic Forum memproyeksikan bahwa sekitar 44% dari kemampuan inti seorang pekerja akan butuh di-update dalam lima tahun ke depan. Ini angka yang sangat besar.
Artinya, hampir separuh dari apa yang kita kuasai sekarang mungkin tidak akan relevan lagi di tahun 2028. Penyebab utamanya adalah adopsi teknologi yang masif, mulai dari kecerdasan buatan (AI), big data, hingga cloud computing. Ini bukan lagi soal masa depan pekerjaan yang jauh di angan-angan, ini tentang realitas pasar kerja saat ini. Kebutuhan untuk melakukan upskilling tenaga kerja menjadi tidak terelakkan jika kita tidak ingin tertinggal. Di Indonesia sendiri, tantangannya terasa lebih kompleks. Bonus demografi yang kita miliki bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada potensi angkatan kerja yang produktif. Di sisi lain, jika skill mereka tidak sesuai dengan kebutuhan industri, ini justru bisa memicu lonjakan pengangguran. Di sinilah pentingnya program reskilling yang efektif. Tujuannya adalah memastikan jutaan tenaga kerja Indonesia bisa beradaptasi dengan perubahan dan mengisi posisi-posisi baru yang muncul berkat teknologi. Kolaborasi pemerintah swasta menjadi satu-satunya jalan logis untuk mengatasi skala masalah yang sebesar ini, memastikan setiap program pelatihan kerja yang dibuat benar-benar tepat sasaran.
Peran Pemerintah: Arsitek Kebijakan dan Fasilitator Utama
Pemerintah, melalui lembaga seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), memegang peran sebagai arsitek utama. Tugas mereka bukan hanya membuat regulasi, tapi juga membangun fondasi bagi ekosistem pengembangan skill nasional.
Salah satu contoh paling nyata dari peran ini adalah Program Kartu Prakerja. Sejak diluncurkan, program ini telah menjadi game changer dalam demokratisasi akses pelatihan. Mengutip data dari Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, hingga akhir 2023, program ini telah menjangkau lebih dari 17,5 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Ini adalah bukti nyata peran pemerintah dalam menyediakan akses ke program reskilling dan upskilling dalam skala masif. Apa saja yang dilakukan pemerintah?
Menyediakan Platform dan Pendanaan
Program seperti Kartu Prakerja adalah wujud nyata dari peran pemerintah sebagai fasilitator. Pemerintah tidak menjalankan semua pelatihan sendiri, melainkan membuka pintu bagi ratusan lembaga pelatihan swasta untuk menjadi mitra.
Dengan skema ini, pemerintah menyediakan dana dan platform, sementara konten pelatihannya diserahkan kepada para ahli di sektor swasta. Ini adalah bentuk awal dari kolaborasi pemerintah swasta yang sangat strategis.
Menetapkan Standar Kompetensi
Peran penting lainnya adalah menetapkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Standar ini menjadi acuan bagi semua lembaga pelatihan kerja untuk memastikan kualitas output-nya seragam dan diakui oleh industri. Tanpa standar ini, program upskilling tenaga kerja bisa berjalan tanpa arah dan tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai.
Memberikan Insentif Fiskal
Pemerintah juga bisa mendorong partisipasi swasta melalui insentif, misalnya super tax deduction. Perusahaan yang berinvestasi dalam program vokasi atau pelatihan kerja untuk karyawannya bisa mendapatkan pengurangan pajak hingga 200%.
Skema ini secara langsung mendorong perusahaan untuk tidak ragu mengalokasikan budget untuk upskilling tenaga kerja mereka, karena ada keuntungan finansial yang jelas.
Sektor Swasta: Ujung Tombak Implementasi yang Paham Kebutuhan Riil
Jika pemerintah adalah arsiteknya, maka sektor swasta adalah kontraktor sekaligus penghuninya. Merekalah yang paling tahu skill apa yang sedang dibutuhkan di lapangan. Perusahaan tidak bisa lagi hanya berharap pada lulusan baru dari universitas.
Mereka harus proaktif dalam menciptakan talenta yang mereka butuhkan melalui program reskilling internal. Keterlibatan swasta sangat vital karena beberapa alasan. Pertama, mereka memiliki pemahaman real-time tentang masa depan pekerjaan di sektornya. Sebuah perusahaan teknologi tentu lebih paham tren skill coding terbaru dibandingkan birokrat. Kedua, mereka punya sumber daya dan kecepatan untuk mengimplementasikan program pelatihan kerja yang lincah dan adaptif. Ketika ada teknologi baru muncul, perusahaan bisa langsung membuat modul pelatihannya tanpa harus menunggu perubahan kurikulum nasional yang butuh waktu lama. Contohnya bisa kita lihat pada perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. GoTo, misalnya, memiliki GoTo University yang fokus pada pengembangan talenta internal di bidang teknologi dan data. Bank-bank besar seperti BCA dan Mandiri juga punya program pengembangan kepemimpinan dan skill digital yang sangat terstruktur. Inisiatif-inisiatif ini adalah bentuk nyata dari pentingnya upskilling tenaga kerja yang digerakkan oleh kebutuhan bisnis langsung. Investasi pada program reskilling bukan lagi biaya, melainkan investasi strategis untuk keberlangsungan perusahaan.
Kolaborasi Pemerintah Swasta: Sinergi untuk Masa Depan Pekerjaan
Kunci utamanya ada di sini: sinergi. Pemerintah tidak bisa jalan sendiri, swasta pun punya keterbatasan. Kolaborasi pemerintah swasta adalah formula yang paling efektif untuk menciptakan angkatan kerja yang tangguh dan adaptif.
Bentuk kolaborasi ini bisa sangat beragam dan menyentuh berbagai aspek.
Sinkronisasi Kurikulum dengan Kebutuhan Industri
Ini adalah area kolaborasi yang paling krusial. Sektor swasta, melalui asosiasi industri seperti KADIN atau APINDO, bisa memberikan masukan langsung kepada Kemenaker atau Kemendikbudristek tentang kompetensi apa yang paling dicari.
Masukan ini kemudian menjadi dasar untuk memperbarui kurikulum di lembaga pelatihan pemerintah (seperti BLK - Balai Latihan Kerja) dan juga menjadi acuan bagi mitra pelatihan di platform seperti Kartu Prakerja. Dengan begitu, setiap program pelatihan kerja yang dijalankan dipastikan relevan.
Model Public-Private Partnership (PPP) dalam Pelatihan
Program Kartu Prakerja adalah contoh PPP yang sukses dalam skala besar. Pemerintah menyediakan akses dan dana, sementara lebih dari 200 lembaga pelatihan swasta menyediakan kontennya. Model ini menciptakan pasar yang sehat di mana penyedia pelatihan berlomba-lomba menawarkan kursus terbaik. Website resmi Prakerja menunjukkan bagaimana ekosistem ini bekerja, menghubungkan jutaan pencari kerja dengan penyedia skill. Kolaborasi pemerintah swasta seperti ini memastikan efisiensi dan relevansi.
Program Magang dan Pemagangan Bersertifikat
Pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan untuk menciptakan program magang berskala nasional yang terstruktur dan bersertifikat. Pemerintah memberikan payung hukum dan mungkin insentif, sementara perusahaan menyediakan tempat dan mentor.
Program seperti "Magang Merdeka" dari Kemendikbudristek adalah contoh yang baik di level mahasiswa, dan model serupa perlu diperluas untuk tenaga kerja Indonesia secara umum.
Tantangan yang Masih Terbentang di Depan
Meskipun arahnya sudah benar, jalan di depan tidak sepenuhnya mulus. Ada beberapa tantangan besar dalam implementasi program reskilling dan upskilling di Indonesia. Pertama adalah skala. Dengan angkatan kerja lebih dari 140 juta orang yang tersebar di ribuan pulau, memastikan program ini merata adalah tantangan logistik yang luar biasa. Kesenjangan digital masih menjadi penghalang di beberapa daerah. Kedua adalah kontrol kualitas. Dengan banyaknya lembaga pelatihan swasta yang terlibat, menjaga standar kualitas menjadi pekerjaan rumah yang serius. Pemerintah perlu mekanisme verifikasi dan evaluasi yang ketat untuk memastikan peserta benar-benar mendapatkan skill yang dijanjikan. Ketiga, dan mungkin yang paling sulit, adalah mengubah mindset. Budaya belajar sepanjang hayat (lifelong learning) harus ditanamkan, baik di level individu maupun korporasi. Karyawan harus proaktif mencari peluang upskilling, dan perusahaan harus melihatnya sebagai investasi, bukan sekadar kewajiban. Peran krusial dalam program reskilling ini pada akhirnya terletak pada orkestrasi yang apik antara kebijakan pemerintah yang suportif dan eksekusi yang lincah dari sektor swasta. Analisis dari World Economic Forum pun menekankan pentingnya investasi bersama antara sektor publik dan privat untuk menutup kesenjangan keterampilan global. Tanpa kolaborasi pemerintah swasta yang solid, upaya menciptakan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif di era digital akan berjalan lambat dan kurang efektif. Pada akhirnya, mempersiapkan masa depan pekerjaan bukanlah sprint, melainkan maraton. Diperlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Pemerintah sebagai regulator dan enabler harus terus menyempurnakan kebijakan, sementara sektor swasta sebagai pengguna tenaga kerja harus lebih aktif berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusianya. Sinergi inilah yang akan menentukan apakah Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi menjadi lompatan kemajuan, atau justru terjebak dalam masalah ketenagakerjaan yang semakin kompleks. Perlu diingat bahwa semua data dan kebijakan yang disebutkan bisa berubah seiring waktu, sehingga penting untuk selalu merujuk pada sumber resmi terkini.
Apa Reaksi Anda?






