Tetanggaku Bilang Mereka Kenal Anakku Aku Tak Pernah Punya Anak

VOXBLICK.COM - Suara sandal jepit bersahutan di lorong sempit perumahan ini, mengiringi langkahku yang baru saja pulang kerja. Aku menghela napas, menentang angin sore yang membawa bau tanah basah. Rumah-rumah di kiri kanan begitu akrab, meski aku memilih hidup sendirian sejak bertahun-tahun lalu. Tak pernah terpikir olehku untuk menikah, apalagi memiliki anak. Namun, sejak seminggu terakhir, suasana di lingkungan ini terasa berubah, seolah ada sesuatu yang menyesakkan dadaku setiap kali aku membuka pintu rumah.
Bisikan Aneh dari Tetangga
Awalnya hanya sekadar sapaan. Bu Sari, tetangga sebelah, tersenyum lebar ketika aku memasuki halaman rumah. “Anakmu tadi main ke rumah, lho.
Lucu sekali, mirip betul sama kamu waktu kecil!” Aku mengernyit, mencoba menertawakan gurauan yang menurutku tak lucu. “Saya tidak punya anak, Bu,” jawabku, berusaha sopan. Bu Sari menepuk pundakku, tawanya renyah, “Iya, iya, saya paham. Tapi anakmu itu sopan sekali. Salim sama saya tadi.”
Setiap hari, cerita serupa selalu muncul dari mulut tetangga yang berbeda. Mulai dari Pak Amir yang mengeluh anakku memanjat pohon mangga di halaman belakang, sampai Ibu Rini yang bilang anakku suka membantu menyapu halaman.
Semakin lama, semakin banyak yang mengaku pernah bercengkrama dengannya. Aku mulai merasa cemas, ada keganjilan yang tak bisa kuterima dengan logika.

Jejak Kecil di Dalam Rumah
Malam itu, hujan mengguyur deras. Aku terbangun oleh suara tawa kecil dari ruang tamu. Bulu kudukku meremang. Aku tidak pernah menyalakan lampu malam, tapi saat itu cahaya samar terpantul dari bawah pintu.
Perlahan aku turun dari ranjang, menahan napas, lalu menuju sumber suara. Di lantai keramik, jelas sekali ada jejak kaki kecil basah yang menuntun ke arah dapur.
Jantungku berdegup kencang. Aku menelusuri jejak itu sambil memanggil pelan, “Siapa di sana?” Tak ada jawaban. Hanya suara tetes air dari keran yang tak tertutup rapat. Aku memeriksa seluruh sudut rumah, memastikan tak ada siapa-siapa.
Namun, jejak itu tetap ada, seolah menertawakanku. Malam itu aku tidak bisa tidur. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa seperti mata-mata kecil yang mengawasi.
Dialog Tak Masuk Akal
Keesokan harinya, aku nekat bertanya pada beberapa tetangga:
- Pak Amir: “Saya lihat anakmu kemarin mengenakan baju merah, main layangan di lapangan.”
- Bu Sari: “Dia bilang namanya Dito. Benar, kan? Anakmu suka main ke warung.”
- Ibu Rini: “Waktu saya tanya, dia bilang rumahnya nomor 17. Bukankah itu rumahmu?”
Nama yang mereka sebut, Dito, asing bagiku. Rumah nomor 17 memang milikku, tapi aku yakin tak pernah membawa anak-anak ke dalam hidupku. Aku mulai merasa terasing di tengah keramaian.
Setiap kali aku menatap wajah tetanggaku, aku menangkap sorot mata aneh, seakan mereka menyimpan rahasia yang tak ingin mereka bagi.
Teror yang Terus Menghantui
Malam-malam berikutnya, aku mulai mendengar suara langkah kaki kecil di lorong rumahku. Kadang terdengar suara mainan yang bergemerincing jatuh di lantai.
Pernah sekali, saat aku membuka lemari, aku menemukan sebuah boneka usang dengan nama “Dito” tertulis di dadanya. Aku yakin, boneka itu bukan milikku.
Pagi harinya, aku menemukan selembar kertas di bawah pintu:
“Terima kasih sudah membiarkan aku tinggal di sini, Ibu.”
Tulisan tangan itu begitu rapi, namun aku tahu, aku tidak pernah meminta siapapun untuk tinggal di rumah ini. Aku mulai bertanya-tanya, benarkah aku sendirian selama ini?
Akhir yang Menggantung
Hari ini, aku memutuskan untuk memasang kamera pengintai di beberapa sudut rumah. Malamnya, aku menatap layar ponsel, menunggu sesuatu terjadi. Beberapa jam berlalu tanpa kejadian berarti, sampai tiba-tiba, sebuah sosok kecil muncul di layar.
Ia menatap lurus ke arah kamera, senyumnya lebar. Di belakangnya, aku melihat diriku sendiri… sedang berdiri bersama anak itu, merangkulnya erat.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi yakin, siapa sebenarnya yang tinggal di rumah ini. Apakah aku benar-benar sendirian, atau justru selama ini… akulah yang tak pernah tahu, anak siapa yang telah menemaniku?
Apa Reaksi Anda?






