Belajar dari Tetangga Cara Vietnam dan Singapura Berangus Berita Bohong di Medsos


Senin, 01 September 2025 - 16.25 WIB
Belajar dari Tetangga Cara Vietnam dan Singapura Berangus Berita Bohong di Medsos
Regulasi Media Sosial Hoaks (Foto oleh Brett Jordan di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Penyebaran berita bohong di internet terasa seperti api liar yang sulit dipadamkan. Sekali menyebar, dampaknya bisa merusak reputasi, memicu kepanikan, bahkan mengancam stabilitas sosial.

Di tengah lautan informasi yang tak terbatas, banyak negara berjuang mencari formula yang pas untuk mengatasi masalah ini, termasuk Indonesia. Namun, dua negara tetangga kita, Vietnam dan Singapura, telah mengambil langkah ekstrem dengan pendekatan regulasi media sosial yang sangat berbeda. Mereka menawarkan studi kasus menarik tentang bagaimana pemerintah bisa intervensi secara keras untuk mengendalikan narasi digital.

Pertanyaannya, apakah cara mereka efektif, dan pelajaran apa yang bisa kita ambil dari langkah tegas mereka dalam melawan hoaks?

Singapura Melawan Hoaks dengan Aturan Super Ketat POFMA

Singapura dikenal sebagai negara yang sangat teratur, dan pendekatan mereka terhadap disinformasi pun tidak terkecuali.

Pada tahun 2019, pemerintah Singapura mengesahkan undang-undang yang menjadi buah bibir di seluruh dunia, yaitu Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (POFMA). Secara sederhana, POFMA memberikan wewenang kepada menteri pemerintah untuk memerintahkan platform media sosial atau situs berita agar menampilkan pemberitahuan koreksi pada unggahan yang dianggap mengandung berita bohong atau menyesatkan.

Tujuan utamanya bukan menghapus konten, melainkan membantahnya secara langsung di sumbernya. Aturan ini menjadi senjata utama Singapura dalam perang melawan hoaks. Ketika sebuah konten dianggap salah dan berpotensi merugikan kepentingan publik, menteri terkait dapat mengeluarkan 'Correction Direction'.

Perintah ini mewajibkan pengunggah atau platform untuk menempatkan label peringatan yang jelas di samping konten asli, yang menyatakan bahwa informasi tersebut salah menurut pemerintah Singapura. Label ini juga sering kali menyertakan tautan ke situs web pemerintah yang berisi klarifikasi atau versi fakta yang benar.

Bagi platform besar seperti Facebook, Twitter, atau Google, menolak perintah ini bisa berujung pada denda besar yang mencapai 1 juta dolar Singapura.

Kekuatan POFMA: Cepat dan Tegas

Keunggulan utama dari model regulasi media sosial ala Singapura ini adalah kecepatan dan ketegasannya. Dalam hitungan jam setelah sebuah berita bohong viral, pemerintah bisa langsung bertindak.

Mekanisme koreksi ini bertujuan untuk 'menginokulasi' publik. Idenya adalah, alih-alih menghapus konten dan membuatnya tampak seperti disensor, pemerintah justru membiarkannya tetap ada namun dengan label peringatan. Dengan begitu, audiens yang melihatnya bisa langsung membandingkan informasi yang salah dengan fakta yang benar. Contoh penerapan POFMA cukup banyak. Misalnya, saat pandemi COVID-19, pemerintah menggunakannya untuk melawan misinformasi seputar vaksin dan kebijakan kesehatan.

Pendekatan ini dinilai sebagian kalangan efektif untuk mencegah kepanikan publik yang dipicu oleh hoaks. Pemerintah berargumen bahwa dalam situasi krisis, kecepatan dalam memberikan klarifikasi adalah kunci. Mereka tidak perlu menunggu proses pengadilan yang panjang untuk melabeli sebuah informasi sebagai berita bohong. Kewenangan eksekutif ini memungkinkan respons yang nyaris instan terhadap ancaman disinformasi.

Sisi Gelapnya: Ancaman bagi Kebebasan Berpendapat

Meskipun terdengar ideal, POFMA menuai kritik tajam dari berbagai kelompok hak asasi manusia dan aktivis kebebasan berpendapat. Kritik utamanya terletak pada definisi 'kepentingan publik' yang sangat luas dan kewenangan absolut yang diberikan kepada menteri. Penentuan sebuah informasi sebagai berita bohong bersifat sepihak dari pemerintah, tanpa melalui proses yudisial terlebih dahulu.

Pihak yang tidak setuju memang bisa mengajukan banding ke pengadilan, namun prosesnya mahal dan memakan waktu. Menurut laporan dari berbagai organisasi seperti Human Rights Watch, POFMA sering kali digunakan untuk membungkam kritik dan lawan politik. Beberapa politisi oposisi dan aktivis telah menjadi target undang-undang ini karena pernyataan mereka dianggap 'salah' oleh pemerintah.

Hal ini menciptakan apa yang disebut 'chilling effect' atau efek gentar, di mana warga dan jurnalis menjadi takut untuk mengkritik pemerintah karena khawatir unggahan mereka akan dicap sebagai hoaks. Kebebasan berekspresi menjadi taruhannya. Kritik internasional menyoroti bahwa alih-alih menjadi alat melawan disinformasi, POFMA berisiko menjadi alat represi politik.

Praktik regulasi media sosial di Singapura ini menjadi pedang bermata dua yang tajam.

Vietnam Memilih Jalan Berbeda Regulasi Media Sosial ala Cybersecurity Law

Jika Singapura fokus pada koreksi konten, Vietnam mengambil jalur yang jauh lebih keras, yaitu kontrol dan penghapusan total.

Pada tahun 2019, Vietnam juga memberlakukan Undang-Undang Keamanan Siber (Cybersecurity Law) yang memberikan pemerintah kontrol luar biasa atas ruang digital. Berbeda dengan POFMA yang 'hanya' melabeli, aturan di Vietnam bisa langsung memerintahkan penghapusan konten.

Undang-undang ini mewajibkan perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta (induk Facebook), dan TikTok untuk menghapus konten yang dianggap 'beracun' atau anti-pemerintah dalam waktu 24 jam setelah menerima permintaan. Definisi konten 'beracun' ini sangat luas, mencakup apa pun mulai dari berita bohong, hasutan, hingga kritik terhadap Partai Komunis yang berkuasa.

Selain itu, aturan ini juga memuat klausul 'data localization', yang mewajibkan perusahaan asing untuk menyimpan data pengguna Vietnam di dalam negeri dan menyerahkannya kepada pihak berwenang jika diminta. Ini adalah mimpi buruk bagi para aktivis privasi data.

Aturan Main di Vietnam: Data Lokal, Kontrol Total

Implementasi dari Cybersecurity Law ini semakin diperketat dengan berbagai dekret turunan.

Aturan ini secara efektif mengubah perusahaan media sosial menjadi perpanjangan tangan sensor pemerintah. Jika mereka tidak patuh, risiko pemblokiran layanan di seluruh negeri menjadi ancaman nyata. Dengan pasar lebih dari 90 juta penduduk yang sangat aktif di media sosial, perusahaan teknologi sering kali berada dalam posisi sulit dan terpaksa mematuhi permintaan penghapusan konten untuk tetap bisa beroperasi.

Praktik regulasi media sosial ini memberikan pemerintah Vietnam kendali penuh atas informasi yang beredar di dunia maya. Mereka tidak hanya bisa menekan berita bohong, tetapi juga semua narasi yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi negara. Ini adalah bentuk kontrol informasi yang sangat komprehensif, jauh melampaui apa yang dilakukan Singapura.

Pendekatan ini lebih fokus pada pencegahan penyebaran informasi yang tidak diinginkan sejak awal, bukan mengoreksinya setelah tersebar. Perjuangan melawan hoaks di Vietnam berjalan seiring dengan penekanan suara-suara oposisi.

Dampaknya bagi Pengguna dan Aktivis

Dampak dari regulasi media sosial di Vietnam sangat terasa bagi pengguna biasa, jurnalis independen, dan aktivis hak asasi manusia.

Ruang untuk berdiskusi secara terbuka dan mengkritik kebijakan menjadi sangat sempit. Banyak aktivis melaporkan bahwa akun mereka diblokir atau unggahan mereka dihapus secara sepihak setelah mengkritik pemerintah. Menurut Human Rights Watch, undang-undang ini telah secara sistematis digunakan untuk menekan perbedaan pendapat dan memenjarakan para blogger serta aktivis. Persyaratan data lokal juga menimbulkan kekhawatiran besar tentang pengawasan massal.

Dengan data pengguna yang disimpan di dalam negeri, pemerintah memiliki akses yang lebih mudah untuk mengidentifikasi dan melacak individu yang dianggap sebagai ancaman. Bagi warga biasa, ini berarti hilangnya privasi dan anonimitas di dunia maya. Perang melawan berita bohong di Vietnam tampaknya harus dibayar mahal dengan kebebasan sipil warganya.

Studi Kasus Regulasi Media Sosial Vietnam vs Singapura

Saat membandingkan kedua negara, kita melihat dua filosofi regulasi media sosial yang sangat berbeda dalam menangani masalah yang sama, yaitu hoaks dan disinformasi.
  • Fokus Regulasi: Singapura berfokus pada 'koreksi pasca-publikasi'. Kontennya tidak selalu dihapus, tetapi diberi label dan dibantah. Tujuannya adalah edukasi dan transparansi versi pemerintah.

    Sebaliknya, Vietnam berfokus pada 'penghapusan pra-penyebaran'. Konten yang dianggap berbahaya langsung dihilangkan dari peredaran untuk mencegahnya menjadi viral.

  • Peran Pemerintah: Di Singapura, pemerintah bertindak sebagai 'wasit fakta' yang melabeli kebenaran dan kesalahan.

    Di Vietnam, pemerintah bertindak sebagai 'penjaga gerbang' yang menentukan konten mana yang boleh dan tidak boleh masuk ke ruang publik digital.

  • Dampak pada Platform: Di Singapura, platform media sosial diwajibkan menjadi medium untuk menyampaikan koreksi dari pemerintah.

    Di Vietnam, mereka dipaksa menjadi agen sensor yang aktif menghapus konten atas perintah pemerintah.

  • Risiko terhadap Kebebasan: Keduanya memiliki risiko. Model Singapura berisiko menyalahgunakan label 'berita bohong' untuk tujuan politik.

    Model Vietnam secara terang-terangan memberangus kebebasan berekspresi dan privasi demi keamanan negara.

Secara efektivitas, keduanya mungkin berhasil menekan penyebaran berita bohong sesuai tujuan masing-masing. Ruang digital di Singapura dan Vietnam bisa dibilang lebih 'bersih' dari hoaks yang sering kita temui di Indonesia. Namun, kebersihan itu datang dengan biaya sosial dan politik yang sangat tinggi.

Pertanyaannya adalah, apakah harga tersebut sepadan? Pendekatan yang dipilih suatu negara sangat bergantung pada sistem politik dan nilai-nilai yang dianutnya.

Indonesia di Persimpangan Jalan Regulasi Media Sosial dan Berita Bohong

Kisah dari Singapura dan Vietnam memberikan cermin bagi Indonesia.

Negara kita, dengan populasi pengguna internet terbesar di Asia Tenggara, adalah medan pertempuran yang subur bagi penyebaran berita bohong. Kita sudah memiliki perangkat hukum sendiri, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Namun, UU ITE sering dikritik karena adanya 'pasal karet' yang multitafsir dan kerap digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi, mirip dengan kritik terhadap POFMA di Singapura. Melihat kedua model ekstrem tersebut, Indonesia berada di persimpangan jalan. Jalan mana yang harus ditempuh? Mengadopsi mentah-mentah model Singapura atau Vietnam jelas bukan pilihan bijak bagi negara demokrasi seperti Indonesia.

Namun, membiarkan ekosistem digital tanpa regulasi media sosial yang lebih baik juga berbahaya. Kuncinya adalah mencari keseimbangan.

Belajar dari Ketegasan Singapura

Dari Singapura, kita bisa belajar tentang pentingnya mekanisme klarifikasi yang cepat. Gagasan untuk membantah hoaks secara langsung di sumbernya cukup menarik.

Namun, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, lembaga yang berhak melabeli sebuah informasi sebagai berita bohong tidak seharusnya berada di tangan eksekutif semata. Mungkin Indonesia bisa mempertimbangkan pembentukan dewan atau komisi independen yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, seperti akademisi, perwakilan pers, masyarakat sipil, dan pemerintah.

Lembaga inilah yang bertugas melakukan verifikasi dan mengeluarkan rekomendasi koreksi, sehingga prosesnya lebih transparan dan akuntabel. Pendekatan ini dapat memperkuat perang melawan hoaks tanpa harus mengorbankan demokrasi.

Menghindari Jebakan Otoritarianisme Vietnam

Model Vietnam adalah sebuah peringatan keras tentang bahaya regulasi media sosial yang kebablasan.

Kontrol total atas konten, kewajiban data lokal, dan penghapusan konten secara sepihak adalah langkah-langkah yang sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Indonesia harus sangat berhati-hati agar setiap upaya regulasi media sosial tidak mengarah pada sensor massal dan pengawasan terhadap warganya. Perlindungan data pribadi dan kebebasan berekspresi harus menjadi pilar utama dalam setiap perancangan kebijakan.

Langkah-langkah yang menekan kritik dan oposisi atas nama perang melawan berita bohong justru akan merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Langkah ke Depan Literasi Digital dan Regulasi yang Cerdas

Pada akhirnya, regulasi media sosial hanyalah satu bagian dari solusi. Perang melawan berita bohong tidak bisa dimenangkan hanya dengan undang-undang. Solusi yang paling berkelanjutan adalah memberdayakan masyarakat.

Investasi besar-besaran pada program literasi digital menjadi sangat krusial. Mengajarkan masyarakat, terutama generasi muda, cara berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan mengenali ciri-ciri hoaks adalah pertahanan terbaik. Organisasi masyarakat sipil seperti MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) telah menunjukkan betapa pentingnya peran pengecek fakta dari komunitas.

Kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan organisasi pengecek fakta independen bisa menjadi model yang lebih sehat. Regulasi yang cerdas seharusnya mendorong ekosistem ini, bukan mematikannya. Misalnya, dengan mewajibkan platform untuk lebih transparan tentang algoritma mereka atau memberikan dukungan sumber daya kepada inisiatif literasi digital dan pengecekan fakta.

Setiap pendekatan regulasi media sosial memiliki konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara matang oleh pembuat kebijakan dan masyarakat. Memilih jalan yang tepat membutuhkan dialog publik yang terbuka dan jujur. Perjalanan Singapura dan Vietnam dalam mengatur media sosial mereka menawarkan pelajaran yang sangat berharga. Keduanya menunjukkan betapa kompleksnya menyeimbangkan antara kebutuhan akan ketertiban informasi dan perlindungan kebebasan fundamental.

Bagi Indonesia, tantangannya adalah merumuskan strategi unik yang mampu melawan tsunami berita bohong tanpa menenggelamkan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan. Pertarungan melawan hoaks adalah maraton, bukan sprint, dan solusinya tidak terletak pada satu undang-undang sakti, melainkan pada kombinasi regulasi yang adil, platform yang bertanggung jawab, dan publik yang cerdas serta kritis.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0