Bongkar Tuntas Deretan RUU Kontroversial di Balik Gelombang Demo DPR 2025

Oleh Ramones

Selasa, 26 Agustus 2025 - 15.15 WIB
Bongkar Tuntas Deretan RUU Kontroversial di Balik Gelombang Demo DPR 2025
Demo DPR 2025: Ribuan Massa Geruduk Gedung Parlemen, Tolak RUU Kontroversial! Foto oleh www.hukumonline.com via Google

VOXBLICK.COM - Langit Jakarta pada 25 Agustus 2025 terasa lebih panas dari biasanya, bukan hanya karena cuaca. Asap gas air mata dan teriakan yel-yel perlawanan menggema di sekitar kompleks Parlemen Senayan.

Ini adalah puncak dari apa yang kemudian dikenal sebagai gelombang demo DPR 2025, sebuah gerakan masif yang didominasi oleh anak-anak muda, mahasiswa, dan para profesional yang merasa masa depan demokrasi mereka terancam. Aksi ini bukan reaksi spontan atas satu kebijakan tunggal.

Ini adalah ledakan dari bom waktu yang metiknya sudah ditekan berbulan-bulan sebelumnya melalui serangkaian RUU kontroversial yang seolah tak henti-hentinya digulirkan oleh para legislator. Bagi banyak orang, terutama Gen Z yang turun ke jalan, ini bukan sekadar tentang politik. Ini tentang masa depan mereka.

Rangkaian RUU kontroversial yang dibahas di DPR dilihat sebagai ancaman nyata terhadap kebebasan sipil, supremasi hukum, dan keseimbangan kekuasaan yang menjadi fondasi negara. Penolakan publik yang masif ini adalah sinyal keras bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses legislasi. Mahasiswa dari berbagai universitas membentuk aliansi mahasiswa yang solid, mengoordinasikan aksi di berbagai daerah, menunjukkan bahwa keresahan ini bersifat nasional.

Gelombang demo DPR 2025 menjadi pengingat bahwa diam bukanlah pilihan ketika aturan main demokrasi coba diubah secara sepihak. Untuk memahami skala kemarahan ini, kita perlu membedah satu per satu RUU kontroversial yang menjadi bahan bakarnya.

Dari isu militerisme yang bangkit kembali, aturan pemilihan kepala daerah yang janggal, hingga pelemahan lembaga-lembaga independen, semuanya saling terkait, menciptakan narasi besar tentang adanya krisis demokrasi yang serius.

Ini adalah cerita tentang bagaimana kesabaran publik habis dan mengapa ribuan orang rela meninggalkan kenyamanan mereka untuk berpanas-panasan di jalan, menuntut suara mereka didengar.

Akar Masalah: Revisi UU TNI yang Menghidupkan 'Hantu' Orde Baru

Salah satu pemicu utama dari gelombang demo DPR 2025 adalah rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Draf revisi ini sontak menyalakan alarm di kalangan aktivis pro-demokrasi, akademisi, dan masyarakat sipil. Kekhawatiran utamanya adalah potensi kembalinya 'Dwifungsi ABRI', sebuah konsep era Orde Baru di mana militer memiliki peran ganda, baik di bidang pertahanan maupun sosial-politik.

Konsep ini secara historis telah terbukti menekan ruang sipil dan melanggengkan kekuasaan otoriter.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam Revisi UU TNI

Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut menjadi sorotan tajam. Salah satunya adalah perluasan definisi 'ancaman' yang bisa ditangani oleh TNI.

Definisi yang terlalu luas dan karet berpotensi membuat TNI bisa masuk ke ranah yang seharusnya menjadi wewenang kepolisian atau lembaga sipil lainnya. Selain itu, ada pula pasal yang memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga sipil. Koalisi Masyarakat Sipil, dalam rilisnya, menyebut pasal ini sebagai 'karpet merah' bagi militerisme di dalam birokrasi.

Menurut mereka, hal ini tidak hanya mengaburkan batas antara domain sipil dan militer, tapi juga berisiko menciptakan konflik kepentingan dan merusak profesionalisme ASN. Kekhawatiran ini disuarakan keras oleh lembaga seperti KontraS yang melihat revisi UU TNI sebagai upaya sistematis mengembalikan militer ke ranah politik praktis. Penolakan publik terhadap revisi UU TNI ini sangat kuat.

Para ahli hukum tata negara, seperti Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, berulang kali mengingatkan bahwa reformasi sektor keamanan pasca-1998 bertujuan untuk menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara di bawah kontrol sipil yang demokratis. Revisi ini, menurutnya, adalah sebuah langkah mundur yang berbahaya.

Gelombang demo DPR 2025 menjadikan isu ini sebagai salah satu tuntutan utamanya, dengan spanduk-spanduk bertuliskan "Tolak Dwifungsi TNI" dan "Kembalikan Tentara ke Barak" tersebar luas di lokasi aksi. Aliansi mahasiswa bahkan menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan bagaimana RUU kontroversial ini bisa memberangus kebebasan berpendapat.

Penting untuk dicatat bahwa interpretasi terhadap pasal-pasal dalam RUU ini bisa beragam, dan analisis ini berfokus pada kekhawatiran yang disuarakan oleh kelompok masyarakat sipil dan para pengamat yang melihat adanya potensi ancaman serius terhadap demokrasi. Bagi pemerintah dan sebagian anggota DPR, revisi ini mungkin dianggap perlu untuk menyesuaikan dengan dinamika ancaman modern.

Namun, minimnya transparansi dan dialog publik dalam proses penyusunannya justru memperkuat kecurigaan dan memicu penolakan publik yang lebih luas.

Bola Panas Berikutnya: RUU Pilkada dan Pelemahan Demokrasi Lokal

Seolah belum cukup dengan revisi UU TNI, publik kembali dikejutkan dengan pembahasan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Jika revisi UU TNI mengancam demokrasi di level nasional, RUU Pilkada dianggap berpotensi merusak tatanan demokrasi di tingkat lokal. Salah satu isu yang paling memicu perdebatan adalah wacana untuk mengubah mekanisme pemilihan, dari pemilihan langsung oleh rakyat kembali ke pemilihan oleh DPRD.

Argumen efisiensi dan penghematan biaya yang diajukan oleh para pendukungnya tidak mampu meredam kritik bahwa ini adalah cara untuk membajak kedaulatan rakyat. Protes tidak hanya terjadi di Jakarta. Di berbagai daerah, seperti Aceh dan Makassar, mahasiswa turun ke jalan menolak RUU Pilkada.

Mereka khawatir jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka yang akan terjadi adalah politik transaksional di antara elite partai, dan kepala daerah yang terpilih tidak akan lagi bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan kepada partai politik yang mengusungnya. Ini adalah sebuah kemunduran besar dari semangat reformasi yang memperjuangkan pemilihan langsung sebagai pilar utama demokrasi lokal.

Penolakan publik ini menunjukkan betapa krusialnya isu Pilkada bagi masyarakat. Kondisi semakin memanas ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) yang terkait dengan pencalonan, yang juga menuai polemik. Walaupun KPU dan DPR pada akhirnya sepakat untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah adanya tekanan publik, episode ini meninggalkan bekas ketidakpercayaan.

Publik melihat adanya upaya sistematis untuk mengakali aturan main demi kepentingan politik jangka pendek. Berbagai aliansi, termasuk dari kalangan akademisi, menyuarakan penolakan karena RUU Pilkada dinilai cacat prosedur dan substansi. Gerakan "Peringatan Darurat Demokrasi" yang menggunakan simbol Garuda Pancasila pun mulai marak, menandakan bahwa situasi dianggap sudah sangat genting.

Rentetan RUU kontroversial ini membuat publik, khususnya aliansi mahasiswa, semakin yakin bahwa ada desain besar yang sedang dijalankan untuk melemahkan demokrasi. Gelombang demo DPR 2025 menjadi wadah bagi semua keresahan ini untuk tumpah ruah.

Isu RUU Pilkada menjadi bukti nyata bagi para demonstran bahwa ancaman tidak hanya datang dari militerisme, tetapi juga dari manuver politik yang menggerogoti hak suara mereka.

Lingkaran Setan Berlanjut: Krisis Kepercayaan pada Lembaga Negara

Krisis demokrasi tidak hanya tecermin dari produk legislasi yang bermasalah, tetapi juga dari proses dan praktik kelembagaan yang menyertainya.

Kepercayaan publik terhadap lembaga negara, terutama DPR dan lembaga peradilan, berada di titik nadir selama periode ini. Salah satu momen yang memperparah situasi adalah proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim konstitusi pada Agustus 2025. Proses yang berjalan sangat cepat dengan calon tunggal yang langsung disetujui oleh DPR memicu tanda tanya besar.

Mahkamah Konstitusi (MK), yang seharusnya menjadi benteng terakhir penjaga konstitusi, justru independensinya dipertanyakan. Bagi para aktivis, ini adalah bagian dari pola yang lebih besar: pelemahan institusi yang berfungsi sebagai 'checks and balances' terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif. Ketika lembaga yang diharapkan bisa menguji konstitusionalitas sebuah RUU kontroversial justru integritasnya diragukan, ke mana lagi publik harus berharap?

Selain itu, isu rangkap jabatan menteri dan wakil menteri yang terus dibiarkan juga menambah daftar panjang kekecewaan. Hal ini dianggap membuka potensi korupsi dan konflik kepentingan yang luar biasa. Kelompok masyarakat sipil berargumen bahwa seorang pejabat publik tidak bisa melayani dua tuan. Fokus mereka akan terbelah, dan kebijakan yang dihasilkan berisiko lebih menguntungkan kelompoknya daripada kepentingan publik secara luas.

Isu ini, meskipun tidak berbentuk RUU, menjadi bagian dari narasi penolakan publik terhadap praktik politik yang dianggap tidak etis dan mencederai amanat reformasi. Kombinasi dari RUU kontroversial seperti revisi UU TNI dan RUU Pilkada, ditambah dengan praktik kelembagaan yang meragukan, menciptakan badai yang sempurna. Aliansi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya melihat ini sebagai sebuah serangan terkoordinasi terhadap pilar-pilar demokrasi.

Gelombang demo DPR 2025 adalah respons logis dari akumulasi kekecewaan ini.

Mereka tidak lagi percaya pada proses di dalam gedung parlemen dan memilih 'parlemen jalanan' sebagai cara untuk menyuarakan aspirasi mereka, menuntut agar negara tidak dibajak oleh kepentingan segelintir elite.

Suara Gen Z di Jalanan: Lebih dari Sekadar Aksi

Apa yang membuat gelombang demo DPR 2025 terasa berbeda adalah dominasi anak-anak muda, Generasi Z, di barisan depan.

Mereka yang tumbuh di era digital, dengan akses informasi yang tak terbatas, memiliki kesadaran politik yang tajam. Bagi mereka, RUU kontroversial ini bukan sekadar pasal-pasal di atas kertas, melainkan ancaman langsung bagi masa depan yang mereka bayangkan: sebuah Indonesia yang bebas, adil, dan demokratis.

Mereka menggunakan media sosial sebagai alat mobilisasi yang efektif, menyebarkan informasi tentang pasal-pasal bermasalah dengan bahasa yang mudah dipahami, lengkap dengan infografis dan meme. Gerakan ini menunjukkan tingkat literasi politik dan digital yang tinggi. Mereka tidak mudah termakan propaganda dan mampu mengorganisir diri secara mandiri.

Penolakan publik yang mereka suarakan di jalanan adalah cerminan dari diskusi-diskusi panas yang terjadi di ruang-ruang digital. Simbolisme dalam aksi juga sangat kental. Penggunaan lambang Garuda Pancasila dalam poster 'Peringatan Darurat Indonesia' adalah sebuah pesan kuat bahwa mereka melihat negara sedang dalam bahaya dan ideologi Pancasila sedang dikhianati oleh para penguasa.

Ini bukan lagi sekadar demo menolak satu RUU, melainkan sebuah mosi tidak percaya terhadap arah negara. Teriakan mereka menuntut pembatalan semua RUU kontroversial adalah permintaan untuk 'reset' total, untuk kembali ke jalur demokrasi yang benar. Kehadiran masif Gen Z dalam gelombang demo DPR 2025 mengirimkan pesan yang tidak bisa diabaikan oleh para politisi.

Generasi ini mungkin tidak mengalami era otoriter Orde Baru secara langsung, tetapi mereka belajar dari sejarah dan sangat sensitif terhadap tanda-tanda kembalinya praktik-praktik represif. Krisis demokrasi yang coba dilawan melalui serangkaian RUU kontroversial ini menjadi ujian pertama bagi kepemimpinan generasi mereka, dan mereka membuktikan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Perjuangan melawan deretan RUU kontroversial ini masih panjang.

Respons dari pemerintah dan DPR yang terkadang defensif menunjukkan bahwa jalan masih terjal. Namun, gelombang demo DPR 2025 telah berhasil menempatkan isu krisis demokrasi ini di panggung utama. Energi perlawanan dari aliansi mahasiswa dan publik, khususnya anak-anak muda, menjadi harapan bahwa kontrol publik masih berfungsi.

Ini adalah pengingat abadi bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan suara jalanan, ketika diabaikan, bisa berubah menjadi gelombang yang tak terbendung.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0