Bukan Cuma Penjara, Keadilan ala Hakim Caprio Bisa Jadi Solusi?

VOXBLICK.COM - Anda mungkin pernah melihat video viral Hakim Frank Caprio. Seorang lansia melanggar batas kecepatan karena buru-buru mengantar suaminya yang sakit, atau seorang ibu mencuri karena tidak punya uang untuk membeli susu anaknya. Alih-alih langsung menjatuhkan denda atau hukuman, Hakim Caprio justru bertanya, mendengarkan, dan mencoba memahami konteks di balik pelanggaran tersebut. Seringkali, kasusnya ditutup dengan empati, bukan sekadar palu keadilan yang kaku. Fenomena ini membuka diskusi menarik tentang dua wajah hukum: apakah tujuan utama peradilan adalah menghukum si pelanggar, atau memperbaiki kerusakan yang telah terjadi? Inilah inti perdebatan antara filosofi keadilan retributif dan keadilan restoratif.
Apa Itu Keadilan Retributif? Si Salah Harus Dihukum!
Selama ini, gambaran kita tentang sistem peradilan sangat kental dengan nuansa keadilan retributif. Ini adalah model yang paling kita kenal.
Filosofi dasarnya sederhana: ketika seseorang melanggar hukum, ia menciptakan utang kepada masyarakat, dan utang itu harus dibayar melalui hukuman yang setimpal. Fokusnya adalah pada pelanggaran aturan dan pelakunya. Pertanyaan utamanya adalah: "Hukum apa yang dilanggar? Siapa pelakunya? Hukuman apa yang pantas mereka terima?" Prinsip di balik keadilan retributif adalah pembalasan yang terukur. Konsep kuno "mata ganti mata, gigi ganti gigi" adalah cikal bakal dari ide ini, meskipun dalam praktiknya telah dimoderasi oleh sistem hukum pidana modern. Filsuf Immanuel Kant berpendapat bahwa hukuman adalah keharusan moral, bukan sekadar untuk efek jera, melainkan karena pelaku kejahatan memang pantas mendapatkannya. Dalam pandangan ini, negara bertindak sebagai entitas yang memastikan keseimbangan kosmis keadilan kembali pulih dengan memberikan penderitaan yang proporsional kepada pelaku. Sistem peradilan yang kita lihat sehari-haridengan polisi, jaksa, pengacara, dan hakimadalah mesin dari keadilan retributif. Pelaku ditangkap, didakwa, diadili, dan jika terbukti bersalah, dijatuhi sanksi berupa denda, penjara, atau bahkan hukuman mati di beberapa negara. Korban dalam model ini seringkali hanya berperan sebagai saksi. Peran utama mereka adalah memberikan bukti untuk menghukum pelaku. Setelah itu, sistem mengambil alih sepenuhnya. Keinginan, trauma, atau kebutuhan pemulihan korban jarang menjadi fokus utama dalam proses peradilan itu sendiri. Tujuannya adalah menghukum pelaku atas nama negara, bukan menyembuhkan luka korban secara langsung.
Lalu, Apa Bedanya dengan Keadilan Restoratif?
Di sisi lain spektrum, ada keadilan restoratif, sebuah pendekatan yang mengajukan pertanyaan yang sama sekali berbeda.
Alih-alih bertanya hukum apa yang dilanggar, keadilan restoratif bertanya: "Siapa yang dirugikan? Apa kebutuhan mereka? Siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian ini?" Pergeseran fokus ini sangat fundamental. Kejahatan tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran terhadap negara, melainkan sebagai pelanggaran terhadap manusia dan hubungan antarmanusia. Howard Zehr, yang sering disebut sebagai salah satu pelopor gerakan keadilan restoratif modern, mendefinisikannya sebagai proses yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam suatu pelanggaran untuk bersama-sama mencari cara mengatasi dampak dari pelanggaran tersebut dan implikasinya di masa depan. Tiga pilar utamanya adalah korban, pelaku, dan komunitas. Tujuannya bukan pembalasan, melainkan pemulihan (restorasi). Dalam praktik, keadilan restoratif seringkali berbentuk mediasi atau konferensi. Korban diberi kesempatan untuk menceritakan bagaimana perbuatan pelaku telah memengaruhi hidup mereka. Pelaku didorong untuk memahami dampak nyata dari tindakannya, bukan hanya konsekuensi hukumnya, dan mengambil tanggung jawab untuk memperbaikinya. Komunitas juga dilibatkan untuk mendukung korban dan membantu reintegrasi pelaku agar tidak mengulangi kesalahannya. Hasilnya bisa beragam, mulai dari permintaan maaf tulus, kompensasi ganti rugi, hingga layanan masyarakat yang relevan dengan pelanggaran yang dilakukan. Ini adalah pendekatan yang jauh lebih personal dan berorientasi pada penyelesaian sengketa.
Hakim Caprio: Ikon Keadilan yang Menginspirasi
Di sinilah kita kembali pada Hakim Caprio. Meskipun persidangannya masih berada dalam kerangka sistem peradilan formal, pendekatannya secara konsisten menunjukkan semangat keadilan restoratif.
Beliau tidak hanya melihat pelanggaran lalu lintas sebagai angka di atas kertas, tetapi sebagai hasil dari cerita dan kesulitan hidup seseorang. Ketika beliau bertanya kepada seorang ibu tentang kondisi keuangannya sebelum memutuskan besaran denda, beliau sedang mempraktikkan prinsip inti keadilan restoratif: memahami konteks dan mencari solusi yang manusiawi. Sikap Hakim Caprio yang mendengarkan cerita di balik pelanggaran adalah upaya untuk mengakui kemanusiaan semua pihak. Dengan melakukan ini, beliau mengubah ruang sidang dari arena penghakiman menjadi ruang dialog. Pelanggar tidak hanya merasa dihukum, tetapi juga didengar dan dipahami. Ini secara tidak langsung mendorong mereka untuk merefleksikan perbuatannya dengan cara yang berbeda. Filosofi hukum yang ditampilkannya seolah mengatakan bahwa keadilan sejati tidak hanya tentang menegakkan aturan, tetapi juga tentang menegakkan martabat manusia. Walaupun kasus yang ditangani Hakim Caprio umumnya adalah pelanggaran ringan, prinsipnya dapat diaplikasikan lebih luas. Ia menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan dalam sistem peradilan, melainkan kekuatan yang bisa menghasilkan kepatuhan yang lebih tulus terhadap hukum.
Membandingkan Dua Sisi Koin: Plus dan Minus
Kedua pendekatan ini, keadilan retributif dan keadilan restoratif, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Keduanya seperti dua sisi dari satu koin yang sama dalam upaya mencapai tatanan masyarakat yang adil.
Fokus Utama
Keadilan retributif berfokus pada masa lalu: perbuatan salah yang telah terjadi dan hukuman yang harus dijatuhkan. Keadilan restoratif, sebaliknya, berfokus pada masa depan: bagaimana memperbaiki kerusakan dan mencegah hal serupa terjadi lagi.
Yang satu melihat kejahatan sebagai pelanggaran hukum abstrak, yang lain melihatnya sebagai kerusakan hubungan konkret antar individu.
Peran Korban
Dalam sistem retributif, korban seringkali terpinggirkan. Mereka menjadi alat bukti negara. Keadilan restoratif justru menempatkan korban di pusat proses.
Mereka diberi suara, kekuatan, dan agensi untuk menentukan seperti apa pemulihan yang mereka butuhkan. Ini bisa menjadi proses yang sangat memberdayakan dan menyembuhkan bagi para korban.
Tujuan Akhir dan Efektivitas
Tujuan keadilan retributif adalah penjeraan dan pembalasan. Harapannya, hukuman berat akan membuat pelaku dan orang lain takut untuk melakukan kejahatan. Namun, data mengenai efektivitasnya seringkali beragam.
Tingkat residivisme (pelaku mengulangi kejahatan) di banyak negara yang menerapkan sistem ini masih tinggi. Di sisi lain, keadilan restoratif bertujuan untuk rekonsiliasi dan reintegrasi. Beberapa studi menunjukkan hasil yang menjanjikan. Sebuah meta-analisis yang diterbitkan oleh Kementerian Kehakiman Inggris pada tahun 2013 menemukan bahwa keadilan restoratif mampu mengurangi frekuensi pengulangan tindak pidana sebesar 14% dibandingkan dengan sistem konvensional. Data serupa dari berbagai program di seluruh dunia menunjukkan bahwa ketika pelaku benar-benar memahami dampak perbuatannya terhadap korban, kemungkinan mereka untuk berubah menjadi lebih besar.
Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia
Konsep ini bukan lagi sekadar wacana di Indonesia. Secara bertahap, prinsip keadilan restoratif mulai diintegrasikan ke dalam sistem peradilan nasional. Salah satu landasan hukum yang paling signifikan adalah Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini memberikan pedoman bagi polisi untuk mengupayakan penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana ringan. Contohnya mencakup kasus pencurian ringan, penganiayaan ringan, atau perselisihan antar tetangga. Melalui mediasi yang difasilitasi polisi, pelaku dan korban dipertemukan untuk mencari solusi damai, seperti ganti rugi dan permintaan maaf. Tujuannya adalah untuk memulihkan keadaan seperti semula tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang, mahal, dan seringkali justru memperburuk hubungan sosial. Mahkamah Agung juga telah mendorong penerapan pendekatan ini, terutama dalam kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum, sejalan dengan semangat yang diusung oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang mempromosikan program keadilan restoratif untuk anak.
Bukan Obat untuk Semua Penyakit
Tentu saja, penting untuk realistis. Keadilan restoratif bukanlah solusi ajaib untuk semua jenis kejahatan. Pendekatan ini paling efektif untuk kasus-kasus di mana ada korban yang jelas dan pelaku yang bersedia mengakui kesalahannya.
Untuk kejahatan serius seperti terorisme, pembunuhan berencana, atau kejahatan terorganisir skala besar, pilar keadilan retributif yang tegas tetap sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat luas dan memberikan efek gentar. Selain itu, prosesnya membutuhkan fasilitator yang terlatih dan partisipasi sukarela dari kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak bersedia atau jika ada ketidakseimbangan kekuatan yang signifikan antara korban dan pelaku, proses restoratif bisa jadi tidak adil atau bahkan berisiko menimbulkan trauma lebih lanjut bagi korban. Oleh karena itu, penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan konteks setiap kasus. Pada akhirnya, perdebatan antara keadilan retributif dan keadilan restoratif bukanlah tentang memilih salah satu dan membuang yang lain. Keduanya memiliki tempat dalam sebuah sistem peradilan yang matang. Apa yang ditunjukkan oleh fenomena Hakim Caprio adalah adanya kerinduan publik akan sistem hukum yang lebih manusiawi, yang tidak hanya menghukum tetapi juga menyembuhkan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan restoratif, sistem peradilan bisa menjadi lebih dari sekadar mekanisme penghukuman ia bisa menjadi alat untuk memperbaiki keretakan dalam tatanan sosial, satu kasus pada satu waktu.
Apa Reaksi Anda?






