Hyperfixation Sering Disalahpahami Inilah Fakta Gejala dan Penyebabnya

Oleh Ramones

Rabu, 27 Agustus 2025 - 16.20 WIB
Hyperfixation Sering Disalahpahami Inilah Fakta Gejala dan Penyebabnya
Fakta gejala dan penyebab hyperfixation (Foto oleh Kermen Tutkunova di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernah merasa sangat tenggelam dalam satu aktivitas sampai lupa waktu, makan, atau bahkan kebutuhan dasar seperti tidur? Fenomena ini dikenal sebagai hyperfixation.

Banyak yang mengira ini sekadar fokus mendalam atau bentuk passion, padahal gejala dan penyebabnya jauh lebih kompleks, khususnya jika kamu punya riwayat ADHD atau autisme.

Pemahaman yang keliru tentang hyperfixation justru bisa menambah stigma dan salah penanganan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di tengah tekanan kerja dan gaya hidup digital yang penuh distraksi.

Apa Itu Hyperfixation Sebenarnya?

Hyperfixation adalah kondisi ketika seseorang mengalami keterikatan intens pada satu hal, aktivitas, atau ide tertentu hingga mengabaikan aspek lain dalam hidupnya. Ini bukan sekadar fokus atau minat sesaat.

Seseorang dengan hyperfixation bisa menghabiskan berjam-jam, bahkan berhari-hari, mengerjakan hal yang sama tanpa merasa bosan. Menurut Verywell Mind, kondisi ini kerap ditemukan pada individu dengan neurodiversitas seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Autism Spectrum Disorder (ASD).

Namun, pada kenyataannya, siapapun bisa mengalaminya, terutama di tengah tekanan sosial dan pekerjaan yang menuntut output konsisten.

Perbedaan Hyperfixation dan Hyperfocus

Banyak orang mencampuradukkan istilah hyperfixation dengan hyperfocus. Padahal, keduanya berbeda. Hyperfocus adalah kemampuan untuk berkonsentrasi penuh pada suatu tugas dalam jangka waktu tertentu, biasanya masih bisa dikontrol dan diarahkan.

Sementara hyperfixation lebih bersifat kompulsif dan sulit dihentikan, bahkan ketika aktivitas itu mulai mengganggu kehidupan sehari-hari. Kondisi ini sering kali sulit diidentifikasi karena banyak juga yang menganggapnya sebagai “bakat” atau “kerja keras”.

Padahal, menurut ADDitude Magazine, hyperfixation justru bisa menjadi tanda gangguan mental yang mendasar, terutama jika seseorang mulai kehilangan kendali atas kebiasaan atau rutinitas lainnya.

Ciri-Ciri Hyperfixation yang Perlu Diwaspadai

  • Menghabiskan waktu berlebihan pada satu hal tanpa merasa bosan atau lelah.
  • Kesulitan beralih dari aktivitas yang sedang digemari, bahkan ketika sudah ada kewajiban lain.
  • Lupa makan, tidur, atau kebutuhan dasar lain karena terlalu asyik.
  • Menarik diri dari lingkungan sosial demi fokus pada satu topik atau aktivitas.
  • Mengalami kecemasan atau frustrasi jika tidak bisa melakukan aktivitas tersebut.
  • Sulit memahami perasaan dan kebutuhan orang lain saat sedang hyperfixation.
  • Produktivitas naik-turun drastis tergantung objek yang sedang menjadi fokus.

Data dari riset WHO menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar fase, melainkan bisa berulang dan memengaruhi kualitas hidup jika tidak dikenali sejak dini.

Ciri-ciri hyperfixation juga sering tumpang tindih dengan gejala ADHD, autisme, bahkan OCD.

Mengapa Hyperfixation Terjadi?

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami hyperfixation.

Beberapa di antaranya:

  • Neurodiversitas: Individu dengan ADHD atau autisme cenderung lebih mudah mengalami hyperfixation karena struktur otak dan mekanisme pemrosesan informasinya berbeda.
  • Lingkungan Digital: Paparan informasi yang berlebihan dan tuntutan multitasking di era digital membuat banyak orang mencari “pelarian” lewat satu aktivitas favorit.
  • Stres dan Tekanan Sosial: Menyibukkan diri dengan satu aktivitas sering dijadikan coping mechanism ketika menghadapi stres atau masalah emosional.
  • Kurangnya Dukungan Sosial: Ketika seseorang merasa tidak didukung atau tidak dipahami, mereka cenderung menarik diri dan fokus pada hal yang memberi rasa nyaman.

Menurut data dari Psyche, otak manusia secara alami mencari stimulasi yang menyenangkan atau menenangkan.

Pada individu dengan ADHD, sistem dopamin di otak bekerja secara berbeda sehingga mereka lebih mudah “terjebak” pada satu hal yang memicu rasa puas atau excitement.

Hyperfixation pada ADHD dan Autisme

Hyperfixation memang lebih sering ditemukan pada orang dengan ADHD atau autisme.

Studi yang dipublikasikan di National Institutes of Health mengungkapkan, sekitar 20-30% orang dengan ADHD melaporkan mengalami episode hyperfixation yang cukup intens. Sementara pada individu autistik, hyperfixation bisa muncul dalam bentuk obsesi pada topik tertentu, rutinitas, atau aktivitas yang memberikan rasa aman. Orang dewasa yang mengalami hyperfixation juga kerap kesulitan memahami perasaan atau pemikiran orang lain.

Hal ini membuat mereka mengalami hambatan dalam berempati dan membaur di lingkungan sosial. Akibatnya, relasi kerja, pertemanan, bahkan hubungan keluarga bisa terganggu jika hyperfixation tidak dikelola dengan baik.

Hyperfixation dan OCD: Apakah Sama?

Hyperfixation juga kerap “disalahkan” sebagai bentuk OCD (Obsessive Compulsive Disorder), padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar.

Pada OCD, obsesi biasanya berupa pikiran yang tidak diinginkan dan menimbulkan kecemasan, sedangkan pada hyperfixation, fokus intens justru memberi perasaan nyaman dan menyenangkan. Namun, baik OCD maupun hyperfixation bisa sama-sama mengganggu fungsi sehari-hari jika terjadi secara berlebihan.

Dampak Hyperfixation pada Produktivitas dan Kesehatan Mental

Ketika hyperfixation sedang “menyerang”, seseorang bisa sangat produktif di satu bidang, tapi mengabaikan tanggung jawab lain.

Misalnya, seorang profesional muda bisa sangat fokus menyelesaikan proyek hingga lupa mengurus kesehatan diri sendiri. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu kelelahan mental, burnout, dan gangguan hubungan sosial. Riset NIH menekankan pentingnya edukasi soal gejala dan mekanisme hyperfixation, terutama bagi yang punya riwayat ADHD.

Dengan pemahaman yang tepat, seseorang bisa menemukan cara sehat untuk mengelola hyperfixation tanpa kehilangan kendali atas hidupnya.

Cara Mengelola Hyperfixation dengan Sehat

Mengelola hyperfixation bukan berarti harus menghilangkannya sama sekali. Justru, jika diarahkan dengan benar, kondisi ini bisa menjadi kekuatan super untuk mencapai tujuan tertentu.

Berikut beberapa strategi yang bisa dicoba:

  • Buat Jadwal Terstruktur: Atur waktu khusus untuk aktivitas yang jadi objek hyperfixation, dan selingi dengan aktivitas lain.
  • Pasang Alarm atau Pengingat: Gunakan teknologi untuk mengingatkan kapan harus berhenti dan beralih ke tugas lain.
  • Libatkan Teman atau Keluarga: Minta dukungan dari orang terdekat untuk membantu tetap seimbang.
  • Latih Mindfulness: Teknik seperti meditasi atau pernapasan dalam bisa membantu kembali fokus ke “sekarang” dan menyadari kebutuhan tubuh.
  • Konsultasi dengan Profesional: Jika hyperfixation sudah mengganggu pekerjaan atau relasi sosial, jangan ragu mencari bantuan dari psikolog atau psikiater.

Hyperfixation di Era Digital dan Media Sosial

Era digital membuat fenomena hyperfixation semakin mudah ditemukan, terutama di kalangan profesional muda dan Gen-Z yang terbiasa multitasking.

Algoritma media sosial bahkan “memanjakan” otak dengan konten yang sesuai minat, sehingga seseorang bisa makin tenggelam dalam satu topik tanpa sadar waktu. Tantangannya, tidak semua konten atau aktivitas yang menjadi objek hyperfixation bermanfaat untuk jangka panjang.

Oleh karena itu, penting untuk tetap reflektif dan kritis dalam memilih aktivitas yang benar-benar membangun, bukan sekadar ikut tren atau FOMO.

Mengapa Sering Disalahpahami?

Banyak mitos beredar tentang hyperfixation, seperti anggapan bahwa ini tanda kecerdasan tinggi atau passion yang membara. Padahal, menurut Verywell Mind, hyperfixation bisa menjadi tanda adanya kebutuhan khusus dalam otak yang perlu dipahami dan dikelola.

Salah paham tentang hyperfixation juga bisa memperburuk stigma terhadap ADHD dan autisme, sehingga banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap “bermasalah”.

Langkah Awal untuk Memahami Diri Sendiri

Mengenali gejala hyperfixation adalah langkah pertama untuk memahami pola pikir dan kebiasaan diri.

Jangan ragu untuk melakukan refleksi: Apakah kamu sering merasa sulit lepas dari suatu aktivitas, bahkan ketika sudah berdampak pada aspek lain dalam hidup? Apakah kamu merasa kehilangan kontrol?

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi alarm awal sebelum hyperfixation menjadi masalah yang lebih besar.

Ketika Hyperfixation Menjadi Potensi Positif

Jika dikelola dengan sehat, hyperfixation bisa menjadi modal untuk belajar skill baru, menyelesaikan proyek besar, atau membangun karier. Banyak inovator dan kreator sukses karena mampu menyalurkan hyperfixation ke bidang yang mereka sukai.

Kuncinya adalah keseimbangan: kenali batasan, jaga kesehatan mental, dan jangan mengorbankan kebutuhan dasar demi satu tujuan saja. Tidak ada salahnya mencari insight atau tips dari komunitas yang memahami ADHD atau autisme. Banyak sumber daring, seperti ADDitude Magazine dan NIH, yang menyediakan edukasi berbasis sains dan pengalaman nyata.

Tiap orang punya cara berbeda dalam memahami dan mengelola pola pikirnya. Jika merasa overwhelmed atau bingung dengan kebiasaan yang tampak seperti hyperfixation, berbicara dengan tenaga profesional bisa sangat membantu menemukan solusi yang sesuai kebutuhan pribadi. Cara ini penting agar potensi diri tetap berkembang tanpa harus mengorbankan keseimbangan hidup dan kesehatan mental.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0