Pedestal Kosong di Museum yang Tak Boleh Dilihat Saat Terisi

VOXBLICK.COM - Hanya sedikit yang tahu tentang pedestal kosong di museum tua dekat pusat kota, sebuah artefak yang lebih sering dihindari daripada dikagumi. Ketika aku pertama kali diterima sebagai petugas malam di sana, para staf senior hanya berkata singkat, “Jangan pernah berada di dekat pedestal di ruang galeri ketiga setelah jam dua belas malam. Apapun yang terjadi, jangan lihat ketika ia terisi.” Aku tertawa kecil saat itu, mengira mereka hanya main-main dengan anak baru.
Malam-malam pertama berjalan biasa saja. Lorong-lorong sepi, suara jarum jam menggema, dan hanya aku serta kamera pengawas yang berjaga.
Namun, selalu ada sesuatu yang aneh: sebuah pedestal marmer putih berdiri sendirian di sudut ruangan, tak pernah diberi label, tak pernah ada benda yang dipajang di atasnya. Hanya secarik kain hitam yang kadang menutupinya. Aku penasaran, seperti ada daya tarik aneh yang membuatku ingin mendekat.

Larangan yang Tak Biasa
Suatu malam, aku menemukan daftar larangan yang ditempel di balik meja resepsionis, ditulis dengan tinta merah:
- Jangan mendekati pedestal kosong setelah tengah malam.
- Jika mendengar suara berbisik dari galeri ketiga, jangan dihiraukan.
- Jangan pernah, dalam keadaan apa pun, melihat pedestal saat ada benda di atasnya.
Mengapa pedestal kosong di museum ini begitu dijaga? Aku mulai mengajukan pertanyaan pada penjaga senior, Pak Wira. Ia hanya menatapku, matanya sayu, dan berkata pelan, “Kamu tak ingin tahu, Nak. Percayalah.”
Sebuah Malam yang Mengubah Segalanya
Rasa ingin tahuku memuncak saat malam itu aku menemukan kamera pengawas tiba-tiba mati. Lorong menuju galeri ketiga gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu tua.
Ketika aku mendekat, udara menjadi dingin, dan aku merasakan bulu kudukku berdiri. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara bisikan, seperti seseorang memanggil namaku.
Dengan langkah ragu, aku membuka pintu galeri ketiga. Di sana, di tengah-tengah ruangan, pedestal kosong itu... tidak lagi kosong. Sebuah benda hitam, mirip patung kecil yang tak berbentuk, tergeletak di atasnya.
Ruangan terasa lebih sunyi dari kematian. Aku ingat jelas larangan itu, tapi mataku tak bisa lepas dari benda itu. Aku terpaku, tubuhku tak bisa bergerak, seolah ada kekuatan yang memaksa untuk terus menatap.
Apa yang Kulihat di Atas Pedestal Kosong Itu
Ketika aku menatap lebih lama, patung itu mulai berubah bentuk. Sekilas, aku melihat wajah seseorangwajahku sendiri, namun dengan senyum mengerikan, mata kosong menatap balik ke arahku.
Suara bisikan menjadi semakin keras, menyusup ke pikiranku, mengulangi namaku berkali-kali. Aku mencoba berteriak, tapi suara seolah tercekik di tenggorokan.
Entah berapa lama aku berdiri di sana, namun tiba-tiba lampu ruangan padam. Dalam kegelapan total, aku merasa ada sesuatu yang dingin menyentuh bahuku, dan bisikan itu berubah menjadi jeritan tajam.
Aku terhuyung, berlari keluar ruangan, meninggalkan pedestal kosong yang kembali tertutup kain hitam. Nafasku memburu, peluh dingin membasahi tubuhku, dan aku bersumpah tak pernah ingin kembali ke galeri ketiga.
Bisikan yang Tak Pernah Pergi
Setelah malam itu, hidupku berubah. Setiap malam, bahkan di luar museum, aku kadang mendengar bisikan samar memanggil namaku.
Kadang, di cermin, aku menangkap bayangan wajahku sendiri tersenyum aneh, seperti patung di atas pedestal kosong di museum itu. Aku mulai takut pada malam, pada benda-benda yang tak berlabel, dan pada suara-suara yang hanya aku yang mendengar.
- Ada yang bilang pedestal itu hanya mitos.
- Ada yang percaya ia menyimpan sesuatu dari dunia lain.
- Namun aku tahu, pedestal kosong di museum itu benar-benar membawa kutukan bagi siapa pun yang melanggar larangannya.
Suatu malam, aku menerima pesan singkat di ponselku: “Galeri ketiga menunggumu. Lihatlah sekali lagi.” Aku tak pernah membalasnya.
Tapi sampai sekarang, aku masih merasa ada sesuatu yang mengikutikumungkin, sesuatu yang pernah kulihat di atas pedestal itu belum benar-benar selesai denganku.
Apa Reaksi Anda?






