Kencan Pertama yang Berujung Mencekam di Jalur Pendakian

Oleh VOXBLICK

Minggu, 12 Oktober 2025 - 01.20 WIB
Kencan Pertama yang Berujung Mencekam di Jalur Pendakian
Kencan pertama yang mencekam (Foto oleh Marek Piwnicki)

VOXBLICK.COM - Angin malam berdesir pelan, menusuk hingga ke tulang. Aku masih ingat jelas malam itumalam ketika kencan pertama berubah jadi pengalaman yang tak pernah ingin kuulangi. Nama laki-laki itu Dika, seseorang yang baru kukenal seminggu lalu lewat aplikasi kencan. Ia mengusulkan sesuatu yang "seru" untuk pertemuan pertama kami: hiking malam ke puncak Bukit Sembilan, jalur pendakian yang katanya memberi pemandangan kota yang menakjubkan. Aku ragu, tapi senyum dan cara bicaranya di chat terasa menenangkan. Aku pun mengiyakan ajakannya, tanpa tahu bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh berbeda dari ekspektasi.

Tanda-tanda Bahaya yang Tak Kusadari

Kami bertemu di kaki bukit, tepat saat matahari mulai tenggelam. Dika datang dengan jaket hitam tebal dan ransel kecil. Ia tak banyak bicara, hanya tersenyum tipis sambil menuntunku menaiki jalur yang semakin gelap.

Di awal perjalanan, aku sempat bertanya, "Kamu yakin ini aman? Bukannya lebih baik besok pagi saja?" Dika hanya menggeleng, "Percaya sama aku. Malam begini justru sepi, enak kok."

Kencan Pertama yang Berujung Mencekam di Jalur Pendakian
Kencan Pertama yang Berujung Mencekam di Jalur Pendakian (Foto oleh cottonbro studio)

Sepanjang jalur pendakian, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Dika sesekali berhenti dan menatap ke dalam gelap, seolah mendengar sesuatu yang tak bisa kudengar.

Tangannya kadang gemetar, dan aku melihat matanya menajam setiap kali ranting patah di kejauhan. Tak ada sinyal ponsel, hanya suara serangga dan langkah kaki kami yang makin pelan.

Malam yang Terasa Tak Berujung

Kami berjalan sekitar dua jam, tapi rasanya seperti seumur hidup. Aku beberapa kali minta untuk putar balik, tapi Dika menjawab dengan suara datar, "Sudah dekat. Sedikit lagi.

" Namun, setiap kali aku bertanya berapa jauh lagi, jawabannya selalu sama, seolah kami berjalan di lingkaran.

  • Aku mulai kehilangan orientasi lampu senter hanya menerangi beberapa langkah ke depan.
  • Bayangan pohon di kiri-kanan seolah bergerak, membentuk sosok-sosok aneh yang mengintai.
  • Dika semakin sering membisikkan nama seseorang, pelan, "Rina... Rina..."nama yang jelas bukan milikku.

Aku merinding. "Dika, kamu baik-baik saja?" tanyaku. Ia menoleh, wajahnya tiba-tiba tampak asing. "Rina... kamu kan Rina? Sudah lama aku cari kamu di sini." Aku mundur satu langkah, baru menyadari betapa gelap dan sunyinya malam itu.

Lalu, suara ranting patah terdengar di belakangkubukan dari kami berdua.

Antara Mimpi Buruk dan Kenyataan

Aku berlari, menabrak semak-semak, berusaha kembali ke jalur awal. Tapi setiap kali aku melirik ke belakang, Dika masih berdiri di tempat yang sama, menunduk, bergumam pada dirinya sendiri.

Aku menjerit, berharap ada yang mendengar, tapi hanya gema suaraku yang kembali.

Tiba-tiba, kabut turun, tebal dan dingin. Aku kehilangan jejak jalur. Senterku mati. Dalam gelap, aku mendengar suara langkah kakibukan satu, tapi banyak. Ada bisikan-bisikan lirih, suara tawa pelan yang menggema di antara pepohonan. "Rina...

sudah siap pulang?" suara itu terdengar dekat, tapi aku tak bisa melihat siapa-siapa. Dadaku sesak, napasku tercekat. Aku menutup mata, berharap semua ini cuma mimpi buruk.

Malam Tak Pernah Benar-Benar Usai

Entah berapa lama aku berjalan dalam gelap, menahan tangis dan ketakutan. Tiba-tiba, aku kembali menemukan jalur, samar-samar terlihat lampu kota di kejauhan.

Aku berlari sekuat tenaga menuruni bukit, hingga akhirnya tiba di tempat parkir yang kosong. Dika tak ada di sana, motornya pun hilang. Satu-satunya yang tertinggal hanyalah syal hitam yang basah, tergeletak di tanah berembun.

Aku menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Tapi di antara pepohonan, aku melihat sosok Dika berdiri, menunduk, masih membisikkan nama ituRina.

Aku buru-buru pergi, tak pernah lagi menerima ajakan hiking di kencan pertama, apalagi dengan seseorang yang penuh tanda bahaya.

Sampai hari ini, kadang aku masih bermimpi tentang malam itu. Kadang-kadang, suara bisikan itu muncul di telingaku, ketika aku sendirian di kamar. "Rina...

sudah siap pulang?" Dan setiap kali aku mendaki, aku selalu merasa ada mata yang mengawasi dari balik pepohonan, menungguku untuk kembali ke Bukit Sembilan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0