Sistem Presidensial vs Parlementer Mana yang Lebih Stabil?


Minggu, 24 Agustus 2025 - 16.50 WIB
Sistem Presidensial vs Parlementer Mana yang Lebih Stabil?
Sistem Presidensial vs Parlementer (Foto oleh Anh Tuan To di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernah bertanya-tanya kenapa di beberapa negara perdana menterinya bisa tiba-tiba lengser hanya karena mosi tidak percaya dari parlemen, sementara di Indonesia, presiden sepertinya punya posisi yang sangat kuat dan tidak bisa diganggu gugat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?

Jawabannya bukan karena politik semata, melainkan karena desain fundamental dari sistem pemerintahan yang kita anut: sistem presidensial. Di sinilah letak perbedaan krusial dengan negara yang memakai sistem parlementer, di mana mosi tidak percaya menjadi senjata utama parlemen untuk mengontrol pemerintah.

Memahami perbedaan ini sangat penting untuk mengerti dinamika politik dan stabilitas pemerintahan Indonesia.

Ini bukan sekadar istilah teknis dalam buku hukum tata negara, tetapi sebuah kerangka yang menentukan bagaimana kekuasaan eksekutif dijalankan, bagaimana DPR berfungsi, dan mengapa proses politik di negara kita berjalan seperti yang kita lihat hari ini.

Ketidakpahaman akan konsep dasar sistem presidensial seringkali memicu ekspektasi yang keliru terhadap peran DPR dalam mengawasi pemerintah.

Apa Sebenarnya Mosi Tidak Percaya Itu?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita samakan persepsi tentang apa itu mosi tidak percaya.

Pada dasarnya, mosi tidak percaya adalah sebuah prosedur parlementer formal yang digunakan oleh lembaga legislatif untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap kepala pemerintahan (biasanya perdana menteri) beserta kabinetnya. Jika mosi ini disetujui oleh mayoritas anggota parlemen, maka pemerintah secara konstitusional wajib mengundurkan diri.

Ini adalah ciri khas utama dari sistem parlementer.

Bayangkan sistem parlementer seperti sebuah tim, di mana perdana menteri adalah kapten yang dipilih dari dan oleh anggota tim (parlemen). Jika anggota tim merasa sang kapten tidak lagi mampu memimpin atau kebijakannya merugikan, mereka bisa berkumpul, melakukan pemungutan suara, dan menunjuk kapten baru. Proses inilah yang disebut mosi tidak percaya.

Mekanisme ini memastikan bahwa kekuasaan eksekutif selalu sejalan dan mendapat dukungan dari mayoritas legislatif. Tanpa dukungan itu, pemerintahan tidak bisa berjalan efektif.

Di negara seperti Inggris, Australia, atau Jepang, ancaman mosi tidak percaya membuat pemerintah harus terus berhati-hati dalam setiap kebijakannya agar tidak kehilangan dukungan parlemen.

Bedah Fundamental: Sistem Presidensial vs Sistem Parlementer

Perbedaan antara sistem presidensial dan sistem parlementer tidak hanya soal ada atau tidaknya mosi tidak percaya. Perbedaan ini mengakar pada cara kekuasaan dibagi dan dijalankan.

Ada tiga pilar utama yang membedakan keduanya secara fundamental.

Hubungan Eksekutif dan Legislatif

Dalam sistem parlementer, ada fusi atau penyatuan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Perdana menteri dan para menterinya biasanya juga merupakan anggota parlemen. Mereka duduk di parlemen, ikut dalam debat, dan secara langsung bertanggung jawab kepada parlemen. Pemerintah adalah 'panitia' dari parlemen.

Sebaliknya, sistem presidensial menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang tegas. Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif terpisah sepenuhnya dari lembaga legislatif (DPR). Presiden dan menterinya tidak boleh merangkap sebagai anggota DPR. Keduanya adalah dua cabang kekuasaan yang setara dan saling mengawasi (checks and balances).

Inilah alasan utama mengapa dalam pemerintahan Indonesia, seorang menteri yang berasal dari anggota DPR harus mengundurkan diri dari kursinya di parlemen.

Sumber Legitimasi Kekuasaan

Poin ini adalah kunci. Dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, baik presiden (eksekutif) maupun DPR (legislatif) sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang terpisah. Keduanya memiliki mandat langsung dari sumber yang sama, yaitu rakyat.

Presiden tidak berutang jabatan kepada DPR, begitu pula sebaliknya. Legitimasi mereka setara. Berbeda drastis dengan sistem parlementer, di mana rakyat hanya memilih anggota parlemen. Dari anggota parlemen terpilih itulah kemudian perdana menteri dan kabinetnya dibentuk. Artinya, kekuasaan eksekutif dalam sistem parlementer legitimasinya berasal dari legislatif.

Karena legislatif yang 'melahirkan' eksekutif, maka mereka juga punya kuasa untuk 'menghentikannya' melalui mosi tidak percaya.

Masa Jabatan Tetap vs Fleksibel

Karena presiden dalam sistem presidensial punya mandat langsung dari rakyat, ia memiliki masa jabatan yang tetap (fixed term), misalnya lima tahun di Indonesia. DPR tidak bisa memperpendek masa jabatan ini hanya karena tidak suka dengan kebijakan presiden.

Presiden hanya bisa diberhentikan di tengah jalan melalui proses yang luar biasa rumit dan berat yang disebut pemakzulan (impeachment), yang hanya bisa dilakukan jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat. Di sisi lain, masa jabatan perdana menteri dalam sistem parlementer bersifat fleksibel. Ia bisa memimpin selama partainya menguasai mayoritas di parlemen dan kinerjanya dianggap baik.

Namun, kapan saja dukungan itu hilang, ia bisa dijatuhkan lewat mosi tidak percaya, membuat stabilitas pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial cenderung lebih terjamin.

Konstitusi Berbicara: Landasan Hukum Sistem Presidensial Indonesia

Pilihan Indonesia untuk menganut sistem presidensial bukan tanpa alasan dan tertuang jelas dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama setelah amandemen.

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Ini menegaskan posisi presiden sebagai pemegang tunggal kekuasaan eksekutif.

Lebih penting lagi, Pasal 7A UUD 1945 mengatur satu-satunya mekanisme pemberhentian presiden, yaitu jika terbukti “melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Prosesnya pun sangat ketat, seperti yang diatur dalam Pasal 7B.

Usulan pemberhentian harus diajukan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK memutuskan presiden bersalah, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat menyelenggarakan sidang untuk memberhentikan presiden. Ini adalah jalur hukum, bukan jalur politik seperti mosi tidak percaya.

Seperti yang sering ditekankan oleh ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, setelah amandemen, sistem pemerintahan Indonesia secara tegas memperkuat ciri sistem presidensial murni, di mana presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya, bukan kepada MPR atau DPR.

Lalu, Bagaimana Cara DPR Mengawasi Presiden?

Jika DPR tidak punya mosi tidak percaya, apakah artinya presiden bisa bertindak sesuka hati tanpa pengawasan?

Tentu tidak. Sistem presidensial memiliki mekanisme pengawasan tersendiri yang disebut 'checks and balances'. DPR dibekali beberapa hak konstitusional untuk mengawasi jalannya pemerintahan Indonesia. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan kekuasaan eksekutif tidak absolut.

Hak Interpelasi, Angket, dan Menyatakan Pendapat

Ini adalah tiga senjata utama DPR. Hak Interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis.

Hak Angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hasil angket bisa berujung pada Hak Menyatakan Pendapat, yang bisa menjadi pintu masuk untuk proses pemakzulan jika ditemukan dugaan pelanggaran hukum oleh presiden.

Meskipun tidak seefektif mosi tidak percaya dalam menjatuhkan pemerintah, hak-hak ini menjadi alat penting bagi DPR untuk menekan dan mengoreksi kebijakan kekuasaan eksekutif.

Peran dalam Anggaran dan Legislasi

Pengawasan paling fundamental yang dimiliki DPR adalah melalui fungsi anggaran dan legislasi. Setiap rupiah anggaran negara (APBN) yang akan digunakan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Tanpa persetujuan DPR, pemerintah tidak bisa bergerak.

Begitu pula dalam pembuatan undang-undang, presiden tidak bisa membuatnya sendiri tanpa persetujuan bersama DPR. Proses ini memaksa adanya dialog dan kompromi politik antara cabang eksekutif dan legislatif. Inilah wujud nyata dari checks and balances dalam sistem presidensial yang diadopsi oleh pemerintahan Indonesia.

Stabilitas vs Fleksibilitas: Plus Minus Setiap Sistem

Setiap sistem pemerintahan tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Tidak ada sistem yang sempurna, dan pilihan suatu negara biasanya dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosial-politiknya. Sistem presidensial, seperti yang dianut oleh pemerintahan Indonesia, seringkali dipandang lebih unggul dalam hal stabilitas. Dengan masa jabatan presiden yang tetap, program-program pemerintah bisa berjalan lebih berkelanjutan tanpa dihantui ancaman jatuh di tengah jalan karena gejolak politik di parlemen.

Stabilitas ini dianggap penting bagi negara berkembang yang membutuhkan perencanaan jangka panjang.

Namun, kelemahan sistem presidensial adalah potensi terjadinya kebuntuan politik (gridlock) ketika presiden berasal dari partai yang berbeda dengan partai mayoritas di parlemen. Kebijakan pemerintah bisa macet karena tidak mendapat dukungan legislatif. Sebaliknya, sistem parlementer menawarkan fleksibilitas yang lebih tinggi.

Jika pemerintah dianggap gagal, parlemen bisa dengan cepat menggantinya melalui mosi tidak percaya tanpa harus menunggu pemilu berikutnya. Namun, risikonya adalah instabilitas. Pemerintahan bisa silih berganti dalam waktu singkat, seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa, yang tentunya mengganggu kesinambungan program.

Memahami bahwa DPR tidak memiliki mekanisme mosi tidak percaya bukanlah berarti DPR lemah.

Ini adalah konsekuensi logis dari pilihan Indonesia terhadap sistem presidensial yang bertumpu pada pemisahan kekuasaan dan mandat langsung dari rakyat. Fokus pengawasan DPR terletak pada proses legislasi, anggaran, dan penggunaan hak-hak konstitusionalnya, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan secara politik. Dengan demikian, dialektika antara pemerintah dan parlemen dalam sistem kita dirancang untuk mencari keseimbangan, bukan untuk saling menjatuhkan.

Tentu saja, efektivitas sistem ini sangat bergantung pada kematangan politik para aktornya dan kesadaran warga negara dalam mengawasi kedua lembaga tersebut. Harap diingat bahwa sistem politik adalah konstruksi yang kompleks dan penjelasannya dapat bervariasi tergantung pada interpretasi ahli.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0