Stop Toxic Positivity! Validasi Emosimu, Jangan Dipendam!


Minggu, 24 Agustus 2025 - 11.00 WIB
Stop Toxic Positivity! Validasi Emosimu, Jangan Dipendam!
Menolak emosi negatif dapat merusak kesehatan mental Foto oleh Pavel Danilyuk via Pexels.

VOXBLICK.COM - Pernahkah Anda merasa bersalah karena sedih, marah, atau kecewa? Seolah-olah Anda harus selalu tersenyum dan berpikir positif, bahkan saat dunia terasa runtuh? Jika iya, Anda mungkin pernah bersentuhan dengan fenomena toxic positivity.

Istilah ini merujuk pada keyakinan bahwa, apapun situasi sulit atau tragis yang dihadapi, seseorang harus tetap mempertahankan pola pikir positif.

Dalam praktiknya, toxic positivity berarti menolak emosi negatif secara berlebihan hingga akhirnya menekan atau mengabaikan perasaan yang sepenuhnya valid dan manusiawi.

Fenomena ini semakin sering dijumpai di era modern, terutama di tengah tekanan sosial dan ekspektasi lingkungan untuk selalu menampilkan citra bahagia. Banyak orang merasa terpaksa menutupi luka batin dengan senyuman palsu, bahkan kepada diri sendiri.

Seringkali, nasihat-nasihat positif yang terkesan manis justru menjadi beban tambahan bagi mereka yang sedang terluka secara emosional.

Memahami Toxic Positivity: Antara Harapan dan Penolakan Emosi



Manusiawi jika seseorang merasa kecewa, sedih, atau marah. Rasa kecewa, misalnya, bisa muncul karena melakukan kesalahan, dan itu wajar. Setiap orang pasti pernah membuat kesalahan dan mengalami penurunan semangat atau kejenuhan (quora.com).

Namun, toxic positivity mendorong individu untuk menekan respons alami ini, menggantikannya dengan tuntutan untuk selalu “berpikir positif” dan “melihat sisi baiknya”, terlepas dari seberapa berat beban yang dirasakan.

Secara psikologis, penolakan terhadap emosi negatif bisa menciptakan jurang antara apa yang dirasakan dan apa yang ditampilkan ke dunia luar. Hal ini menyebabkan seseorang kesulitan mengenali kebutuhan emosionalnya sendiri.

Penelitian psikologi menunjukkan bahwa menerima seluruh spektrum emosi, baik suka maupun duka, adalah kunci kesehatan mental yang seimbang (psychologytoday.com).

Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?



Toxic positivity bukan sekadar anjuran untuk berpikir positif secara berlebihan.

Ia membawa sejumlah risiko nyata terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial, di antaranya:


  • Menekan Emosi yang Valid:

    Emosi negatif seperti kesedihan dan kekecewaan adalah bagian alami dari kehidupan. Jika ditekan terus-menerus, perasaan tersebut justru bisa menumpuk dan memicu masalah lebih besar, seperti kecemasan dan depresi. Menolak emosi negatif sama saja dengan menolak bagian dari diri sendiri.

    Proses menolak emosi ini, jika berlangsung lama, bisa mengakibatkan stres kronis yang berdampak pada kesehatan fisik, seperti sakit kepala, gangguan tidur, bahkan penyakit jantung (klikdokter.com).

  • Membuat Orang Merasa Bersalah dan Terisolasi:

    Saat seseorang sedang berjuang, mendengar kalimat “Lihat sisi baiknya!” atau “Berpikir positif saja!” justru bisa membuat mereka merasa tidak dimengerti.

    Emosi yang dianggap ‘tidak positif’ menjadi sumber rasa bersalah dan pada akhirnya menimbulkan isolasi emosional. Pengalaman personal menunjukkan, ketika seseorang dipaksa untuk selalu bahagia, mereka cenderung menarik diri dan merasa sendirian dalam menghadapi masalah.

    Hal ini juga rentan menyebabkan burnout emosional, terutama jika terjadi berulang dalam lingkungan kerja atau keluarga.

  • Menghambat Proses Penyembuhan:

    Emosi negatif seringkali merupakan tanda adanya sesuatu yang perlu diatasi. Menekan perasaan ini hanya akan menunda proses pemulihan emosional dan menghambat pertumbuhan pribadi. Misalnya, orang yang kehilangan orang tercinta perlu melalui tahapan berduka.

    Jika ruang berduka ini dibatasi oleh tuntutan untuk selalu tersenyum, proses healing menjadi tidak tuntas dan mudah menimbulkan luka batin berkepanjangan (halodoc.com).

  • Merusak Hubungan Interpersonal:

    Ketika seseorang merasa emosinya tidak divalidasi, mereka cenderung menarik diri dan mencari dukungan di tempat lain. Relasi yang sehat membutuhkan ruang untuk mendengar dan menerima emosi, bukan menolaknya.

    Dalam jangka panjang, hubungan bisa menjadi renggang karena kurangnya komunikasi emosional yang jujur.

    Banyak kasus menunjukkan, pasangan atau sahabat yang selalu menuntut “positif” tanpa empati, akhirnya kehilangan kedekatan (kompas.com).




Contoh-Contoh Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari



Di kehidupan sehari-hari, toxic positivity mudah ditemukan dalam bentuk:

  • Mengucapkan “Lihat sisi baiknya!” kepada seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan.

  • Menyuruh orang yang sedang berduka untuk “Berpikir positif saja!”

  • Mengatakan “Semua terjadi karena suatu alasan!” pada korban tragedi.

  • Menghindari diskusi tentang perasaan negatif.

  • Merasa bersalah karena merasa sedih atau marah.

  • Menyembunyikan emosi negatif dari orang lain.




Semua bentuk ini, tanpa disadari, dapat memperparah beban emosional seseorang.

Contoh lain yang sering terjadi yaitu saat seseorang mengalami kegagalan, teman atau keluarga langsung berkata, “Kamu pasti bisa lebih baik lain kali, jangan sedih!” Padahal, kadang seseorang hanya ingin didengar dan diberi ruang untuk mengekspresikan kesedihan.

Di lingkungan kerja, seringkali karyawan diminta selalu profesional dan tidak menunjukkan perasaan lelah atau kecewa. Padahal, menekan emosi terus-menerus bisa berdampak buruk pada produktivitas dan kesehatan mental tim.

Di dunia digital, banyak figur publik yang memamerkan kehidupan sempurna, sehingga menimbulkan ilusi bahwa hanya emosi positif yang pantas dibagikan dan dirasakan.

Akibatnya, orang-orang yang mengalami kegagalan atau kesedihan merasa malu untuk membagikan ceritanya, takut dianggap lemah atau kurang bersyukur.

Validasi Emosi: Kunci Kesehatan Mental yang Lebih Baik



Alih-alih menekan emosi negatif, memvalidasi emosi menjadi langkah penting. Validasi emosi berarti mengakui dan menerima perasaan sendiri maupun orang lain, tanpa menghakimi atau buru-buru memperbaikinya.

Ini tidak sama dengan membenarkan perilaku tidak sehat, tetapi lebih pada menerima bahwa setiap emosi adalah bagian dari pengalaman manusia yang wajar.

Bagaimana cara memvalidasi emosi?


  • Dengarkan dengan penuh perhatian: Fokus pada cerita dan perspektif orang lain tanpa interupsi. Luangkan waktu dan jangan terburu-buru memberi tanggapan.

    Terkadang, kehadiran dan ketulusan lebih berarti daripada solusi cepat.

  • Akui emosi mereka: Ucapkan, “Aku mengerti kamu merasa sedih” atau “Wajar jika kamu marah dalam keadaan ini.” Kalimat sederhana seperti ini dapat membuat orang merasa dihargai dan diterima.

    Pengakuan ini menjadi fondasi kepercayaan dalam hubungan emosional.

  • Hindari nasihat yang tidak diminta: Terkadang yang dibutuhkan hanya didengar, bukan diselesaikan masalahnya. Memberikan solusi tanpa diminta justru membuat orang merasa diabaikan perasaannya. Biarkan mereka menentukan sendiri kapan siap menerima nasihat.

  • Tawarkan dukungan: Berikan bantuan emosional atau praktis sesuai kebutuhan.

    Tanyakan, “Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” atau “Kamu butuh ditemani?” Dukungan konkret seperti menemani, membantu pekerjaan rumah, atau sekadar hadir bisa sangat berarti.

  • Bersikap sabar: Proses penyembuhan tidak instan dan membutuhkan ketekunan. Jangan memaksakan seseorang untuk segera pulih atau melupakan kesedihannya.

    Setiap orang punya ritme penyembuhan yang berbeda.




Empati adalah inti dari validasi emosi, yaitu menghubungkan diri dengan perasaan orang lain, bukan sekadar memperbaiki masalah mereka. Dengan empati, seseorang dapat membangun kepercayaan dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental.

Banyak ahli psikologi menyarankan penerapan emotional validation dalam pola asuh dan relasi sosial untuk memperkuat ketahanan emosional individu (Wikipedia).

Positivitas Sehat vs Toxic Positivity



Penting membedakan antara positivitas sehat dan toxic positivity. Positivitas sehat adalah kemampuan melihat sisi baik sebuah situasi sambil tetap mengakui dan menerima emosi negatif yang muncul.

Harapan dan optimisme tetap ada, namun tidak dengan cara menekan perasaan yang valid.

Sebaliknya, toxic positivity adalah penolakan emosi negatif dan pemaksaan pikiran positif secara tidak realistis, bahkan ketika hal itu justru memperburuk keadaan.

Ini adalah bentuk penghindaran dari realitas dan ketidakmauan menghadapi percakapan sulit.

Positivitas sehat mendorong ketahanan dan pertumbuhan, sedangkan toxic positivity justru menghambatnya.

Dalam praktiknya, seseorang yang menerapkan positivitas sehat akan berkata, “Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya kamu bisa melewatinya, dan tidak apa-apa jika kamu butuh waktu untuk bersedih.” Sementara toxic positivity akan berkata, “Jangan bersedih, selalu ada hikmah di balik semua ini.”

Positivitas sehat juga memberi ruang bagi refleksi dan pembelajaran dari pengalaman buruk.

Setiap kegagalan diterima sebagai bagian dari proses bertumbuh, bukan sesuatu yang harus segera dilupakan atau disangkal. Dengan demikian, individu belajar untuk lebih resilien dan percaya diri menghadapi tantangan ke depan (cnnindonesia.com).

Dampak Toxic Positivity di Media Sosial



Media sosial menjadi lahan subur bagi toxic positivity.

Banyak orang hanya membagikan sisi terbaik hidup mereka, membangun ilusi kesempurnaan yang jauh dari realita. Bagi yang sedang berjuang, paparan ini bisa meningkatkan perasaan iri, rendah diri, dan tekanan untuk selalu tampak bahagia.

Selain itu, kutipan motivasi yang sekilas tampak menyemangati, seringkali justru meremehkan kedalaman pengalaman emosional orang lain.

Akibatnya, banyak pengguna media sosial yang merasa tidak mampu memenuhi standar kebahagiaan yang dipamerkan.

Tekanan untuk selalu tampil bahagia di media sosial bahkan melahirkan istilah “happiness pressure” atau “tekanan kebahagiaan”. Banyak yang berlomba menampilkan foto liburan, prestasi, dan kehidupan cinta sempurna, meski di balik layar mereka sedang berjuang menghadapi masalah pribadi.

Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memunculkan konten-konten positif dan menyembunyikan narasi kesedihan.

Faktanya, penelitian menemukan bahwa konsumsi berlebihan media sosial dapat memperburuk gejala depresi dan kecemasan, terutama jika pengguna membandingkan hidupnya dengan orang lain (bbc.com).

Terlalu sering melihat “kesempurnaan” di dunia maya membuat banyak orang merasa tidak cukup baik, tidak layak bahagia, atau gagal sebagai manusia.

Mengatasi Toxic Positivity dalam Diri Sendiri dan Orang Lain



Menghindari jebakan toxic positivity menuntut kesadaran dan perubahan pola pikir. Berikut beberapa langkah konkret yang dapat diambil:


  1. Sadari Emosi Anda:

    Luangkan waktu untuk mengenali dan memahami perasaan Anda.

    Jangan buru-buru menekan atau menolaknya. Setiap emosi yang muncul adalah sinyal dari tubuh dan pikiran Anda akan suatu kebutuhan atau peristiwa yang terjadi. Cobalah untuk menulis jurnal atau berbicara dengan orang yang dipercaya tentang apa yang Anda rasakan.

    Dengan begitu, Anda bisa lebih mengenal diri sendiri.

  1. Beri Diri Anda Izin untuk Merasa:

    Tidak perlu merasa bersalah atas emosi negatif. Izinkan diri Anda untuk merasakan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan. Ingat, tidak ada emosi yang salah. Dengan membiarkan diri merasakan, Anda belajar untuk menerima dan melatih ketahanan mental.

    Jika sulit, Anda bisa memulai dengan bernapas dalam-dalam dan mengakui perasaan tersebut dalam hati.

  1. Hindari Kalimat-Kalimat Toxic Positivity:

    Perhatikan ucapan ketika menanggapi masalah orang lain. Kalimat seperti “Berpikir positif saja!” seringkali tidak membantu.

    Gantilah dengan kalimat yang lebih empatik seperti, “Aku di sini kalau kamu butuh cerita.” Dengan begitu, Anda menunjukkan bahwa Anda peduli dan siap mendengarkan tanpa menghakimi.

  1. Dengarkan dengan Empati:

    Berikan ruang bagi orang lain untuk berbagi tanpa interupsi atau penilaian. Dengarkan dengan penuh perhatian, dan jangan terburu-buru menawarkan solusi.

    Terkadang, kehadiran Anda saja sudah sangat berarti bagi mereka yang sedang berjuang.

  1. Tawarkan Dukungan Tulus:

    Dukungan emosional dan bantuan praktis sangat berarti dalam proses pemulihan seseorang. Misalnya, menawarkan untuk menemani, membantu pekerjaan, atau sekadar menanyakan kabar secara rutin.

    Dukungan kecil namun konsisten dapat memberikan rasa aman dan dihargai.

  1. Cari Bantuan Profesional:

    Jika merasa kesulitan menghadapi emosi sendiri atau membantu orang lain, jangan ragu mencari bantuan dari konselor atau terapis (lemon8-app.com). Bantuan profesional bisa memberikan insight yang tepat dan strategi yang sesuai dengan kebutuhan Anda.

    Saat ini, banyak layanan konseling daring yang mudah diakses dan terjangkau.




Pentingnya Menciptakan Ruang Aman untuk Emosi



Menciptakan ruang aman bagi ekspresi emosi sangat krusial untuk kesehatan mental. Ruang aman adalah lingkungan di mana setiap orang bisa mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi atau ditolak.

Baik di rumah, tempat kerja, sekolah, atau komunitas, ruang seperti ini tercipta melalui kesadaran, empati, dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan.

Ruang aman tidak hanya bermanfaat untuk individu, tetapi juga bagi kelompok. Dalam keluarga, misalnya, suasana terbuka untuk berbagi perasaan dapat memperkuat ikatan antaranggota dan mencegah konflik tersembunyi.

Di tempat kerja, budaya yang menghargai ekspresi emosi membantu mencegah burnout dan meningkatkan produktivitas tim.

Sekolah yang menyediakan ruang aman bagi siswa untuk bercerita tentang tekanan akademik atau bullying, terbukti mampu menurunkan angka stres dan kecemasan di kalangan pelajar (tribunnews.com).

Untuk menciptakan ruang aman, penting mengedepankan komunikasi yang jujur, keterbukaan menerima kritik, serta tidak menertawakan atau menghakimi perasaan orang lain.

Dengan begitu, setiap individu merasa diterima dan dihargai apa adanya, bukan karena pencitraan semu.

Merangkul Semua Emosi: Jalan Menuju Kehidupan yang Lebih Sehat



Pada akhirnya, toxic positivity adalah mitos yang berbahaya. Semua emosi, baik positif maupun negatif, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Menekan atau mengabaikan emosi negatif hanya akan memperburuk masalah dan menunda proses penyembuhan.

Alih-alih memaksakan kebahagiaan semu, penting untuk memberikan ruang bagi diri sendiri dan orang lain untuk merasakan, memahami, serta memproses setiap emosi yang muncul.

Setiap individu berhak atas emosi yang mereka rasakan, dan tidak perlu merasa malu atau bersalah karenanya. Memproses emosi dengan sehat akan meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan, dan membangun ketahanan mental menghadapi tantangan.

Perjalanan menerima dan memahami emosi memang tidak mudah, namun merupakan langkah penting menuju kebahagiaan dan pertumbuhan sejati.

Dengan memprioritaskan validasi emosi, empati, dan dukungan yang tulus, kehidupan menjadi lebih sehat, bahagia, dan bermakna. Setiap individu memiliki perjalanan emosional yang unik. Jika Anda merasa kesulitan, jangan sungkan mencari bantuan dari profesional.

Mengakui dan memproses emosi adalah langkah berani menuju pemulihan dan pertumbuhan pribadi. Jadikan setiap emosi sebagai guru, bukan musuh. Dengan demikian, Anda membangun pondasi kehidupan yang utuh, jujur, dan penuh makna (alodokter.com).

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0