Catatan Kelam dari Bencana Ekskavasi Mesir yang Terlupakan

Oleh VOXBLICK

Sabtu, 01 November 2025 - 03.50 WIB
Catatan Kelam dari Bencana Ekskavasi Mesir yang Terlupakan
Catatan bencana ekskavasi Mesir (Foto oleh ClickerHappy)

VOXBLICK.COM - Debu halus gurun masih terasa di kerongkonganku ketika aku menuliskan catatan ini. Bayangan malam itu, di tengah reruntuhan Mesir kuno, tak pernah benar-benar pergi dari pikiranku. Aku, Dr. Samuel Rachman, arkeolog yang seharusnya menyingkap sejarah, kini justru dihantui oleh masa lalu yang menolak digali.

Pada musim panas 1924, aku memimpin ekspedisi kecil ke sebuah situs yang nyaris terlupakan di tepi Sungai Nil. Nama aslinya nyaris tak tercatat, hanya segelintir hieroglif samar di peta lusuh.

Tak ada petunjuk jelas, hanya bisikan tentang kejatuhan mendadak yang menimpa para pendahulu yang pernah berani masuk ke sana.

Langkah Pertama ke Dalam Kegelapan

Hari pertama penggalian, suasana terasa ganjil. Udara panas, tapi angin sejuk aneh kerap berhembus dari celah batu. Asistenku, Farida, berulang kali mengeluh soal suara-suara seperti bisikan dari balik dinding.

Aku menertawakannya, menyalahkan fatamorgana dan lelah. Namun, saat kami menemukan pintu batu besar yang tertutup rapat dengan simbol-simbol tergores kasar, perasaan tidak nyaman itu berubah menjadi ketakutan yang nyata.

Catatan Kelam dari Bencana Ekskavasi Mesir yang Terlupakan
Catatan Kelam dari Bencana Ekskavasi Mesir yang Terlupakan (Foto oleh Marek Piwnicki)

Malam itu, setelah pintu berhasil kami buka, salah satu porter menghilang. Hanya jejak kaki yang tiba-tiba berhenti di depan lorong gelap, seolah ia menguap begitu saja.

Farida menangis, meminta kami berhenti, tapi rasa penasaran lebih besar dari rasa takut. Aku memutuskan untuk melanjutkan penggalian.

Catatan di Dinding dan Bisikan Tak Kasat Mata

Keesokan harinya, kami menemukan ruang pemakaman yang dipenuhi relief anehwajah manusia yang ditarik panjang, mata melotot ke arah langit-langit. Bau anyir menusuk hidung, dan entah kenapa, suhu di dalam ruangan itu lebih dingin dari luar.

Kami menyusun daftar penemuan:

  • Topeng batu dengan ekspresi meringis, seperti menahan teriakan.
  • Gulungan papirus yang hancur ketika disentuh, seolah menolak untuk dibaca.
  • Sebuah meja persembahan dengan noda merah tua yang membeku di permukaannya.

Farida berbisik, “Mereka tidak ingin kita di sini.” Aku pura-pura tidak mendengar, padahal suara di dalam kepalaku pun mulai ikut berbisik. Malam-malam berikutnya, suara langkah kaki menggema di lorong saat semua terlelap.

Setiap pagi, jumlah kami berkurang satu demi satu. Tak ada jejak, hanya perasaan ditonton dan rasa panik tak beralasan.

Kengerian yang Merayap Diam-Diam

Pada malam ketiga, aku terbangun oleh suara isak tangis, samar namun nyata. Aku menyalakan lentera dan berjalan ke loronghanya untuk menemukan dinding yang tadinya kosong, kini penuh coretan tangan berdarah.

Nama-nama kami tercantum di sana, satu per satu, dengan garis dicoret di atas nama mereka yang hilang. Hanya namaku dan Farida yang tersisa tanpa garis.

Farida memelukku, tubuhnya bergetar hebat. “Mereka datang untuk kita,” bisiknya. Dalam cahaya lentera yang bergetar, aku melihat bayangan panjang merayap di dinding, bergerak tanpa suara.

Aku berlari, menarik Farida ke luar lorong, tapi langkah kami terasa berat, seperti menginjak pasir hisap. Suara di belakang kami makin kerastawa, ratapan, dan jeritan bersahut-sahutan.

Akhir yang Tak Pernah Benar-Benar Usai

Pagi menyapa dengan keheningan yang menakutkan. Hanya aku yang tersisa di tenda, pakaian Farida tergeletak di tanah, seolah ia menguap di udara. Di luar, reruntuhan itu tampak biasa saja, nyaris tak ada jejak tragedi.

Tapi ketika aku membuka catatan lapangan, ada tambahan tulisan yang bukan milikkudengan tinta merah, terbaca samar:

  • “Jangan pernah kembali.”
  • “Tidak ada yang benar-benar pergi.”

Sejak hari itu, tak ada yang percaya dengan kisahku. Situs itu kembali dilupakan, tertutup pasir dan waktu.

Namun setiap malam, saat gelap mulai turun, aku masih mendengar bisikan dari dindingdan nama-nama kami, yang perlahan-lahan dicoret satu per satu.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0