Kisah Mengerikan Kabin Terpencil di Hutan Angker
VOXBLICK.COM - Malam itu, kegelapan menelan kami bulat-bulat. Hujan deras yang tak henti-hentinya mengguyur sejak sore telah memadamkan semangat petualangan kami di tengah rimba yang tak dikenal. Kompas kami rusak, senter mulai meredup, dan harapan untuk menemukan jalan pulang sebelum subuh kian menipis. Dingin merayap ke tulang, dan setiap desau angin terdengar seperti bisikan ancaman. Saat itulah, di tengah keputusasaan yang mencekik, kami melihatnya: sebuah siluet samar di antara pepohonan lebat, sebuah kabin terpencil.
Awalnya, kami mengira itu adalah berkah. Sebuah kabin tua, entah milik siapa, yang berdiri tegak meski terlihat lapuk dimakan usia. Pikir kami, ini adalah tempat berlindung sempurna dari badai. Kami berempataku, Riko, Maya, dan Danibergegas mendekat, napas terengah-engah. Bau lumut dan tanah basah menyengat, bercampur dengan aroma aneh yang sulit diidentifikasi, seperti bau sesuatu yang sudah lama mati dan terkunci. Sebuah kabin di hutan angker, kami berbisik dalam hati, mencoba menertawakan ketakutan yang mulai merayap.
Pintu yang Tak Terkunci
Pintu kayu yang berat itu ternyata tidak terkunci. Kami mendorongnya perlahan, menghasilkan lenguhan panjang yang memecah kesunyian. Di dalamnya, kegelapan pekat menyambut kami.
Setelah senter Dani berhasil menyala, kami melihat sebuah ruangan utama yang dipenuhi debu tebal dan sarang laba-laba. Perabotan kuno, selimut yang compang-camping, dan perapian yang dingin menjadi saksi bisu waktu yang tak terhitung. Ada sesuatu yang salah, sebuah perasaan yang tidak nyaman, seperti kami telah melangkah ke dalam tempat yang seharusnya tidak disentuh.
“Lumayan juga,” kata Riko, mencoba memecah ketegangan, tapi suaranya terdengar terlalu keras dan bergetar. Maya hanya diam, memeluk dirinya sendiri, matanya menyapu setiap sudut ruangan seolah mencari sesuatu.
Dani mulai menyalakan api di perapian, berharap kehangatan bisa mengusir hawa dingin yang menusuk dan juga kegelisahan yang mulai tumbuh. Aku sendiri merasa bulu kudukku berdiri. Bukan karena dingin, tapi karena sensasi diawasi yang begitu kuat.
Bisikan di Antara Dinding
Malam semakin larut. Api di perapian menari-nari, melemparkan bayangan aneh ke dinding.
Kami mencoba mengobrol, tapi percakapan kami seringkali terhenti oleh keheningan yang tiba-tiba, atau suara-suara kecil yang datang dari luar, atau bahkan dari dalam kabin itu sendiri. Pertama, itu hanya suara ranting jatuh. Lalu, ketukan samar dari lantai atas. Kami mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya tikus atau angin yang bermain-main dengan struktur bangunan yang tua.
“Kalian dengar itu?” bisik Maya, tangannya mencengkeram lengan Dani. Kami semua menegang. Sebuah bisikan, sangat samar, seperti nama yang dipanggil dari balik dinding. Bukan nama kami, tapi seperti gumaman doa atau mantra yang sangat kuno.
Dani segera meraih senternya dan mengarahkannya ke sudut ruangan. Tidak ada apa-apa. Hanya bayangan yang menari.
Riko, yang biasanya paling berani, kali ini terlihat pucat. “Mungkin kita harus tidur saja. Kita terlalu lelah,” katanya, tapi matanya terus melirik ke arah pintu yang mengarah ke lorong gelap di sisi kiri ruangan.
Lorong itu terasa seperti jurang yang siap menelan.
Lorong Menuju Kengerian
Tak ada yang benar-benar bisa tidur. Setiap suara diperbesar oleh imajinasi kami yang ketakutan. Sekitar pukul dua pagi, sebuah erangan panjang dan pelan terdengar dari lorong itu. Itu bukan suara angin.
Itu adalah suara yang dalam, seperti seseorang yang sedang berjuang menahan rasa sakit. Riko, dengan keberanian yang entah datang dari mana, bangkit. “Aku akan memeriksanya,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
“Jangan, Riko!” aku berbisik. “Biarkan saja!”
Tapi Riko sudah melangkah. Cahaya senternya menembus kegelapan, menyingkap dinding kayu yang usang dan beberapa pintu tertutup. Dia berhenti di depan pintu terakhir di ujung lorong.
Pintu itu terlihat lebih tua, lebih gelap, dan seolah-olah mengundang. Tiba-tiba, suara erangan itu terdengar lagi, lebih dekat, seolah-olah berasal dari balik pintu itu.
Riko mengulurkan tangan, ragu-ragu. “Ada apa di sini?” gumamnya. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, gagang itu berputar sendiri. Pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan celah hitam pekat.
Dari celah itu, embusan udara dingin yang menusuk keluar, membawa serta aroma busuk yang tak tertahankan.
Jerat Teror Tak Berujung
Kami melihat Riko tersentak. Dia mundur selangkah, senternya jatuh ke lantai, sinarnya berputar-putar liar. Matanya membelalak ketakutan, bibirnya bergetar tanpa suara.
Sebelum kami sempat bertanya, sebelum kami sempat bergerak, sebuah bayangan hitam pekat melesat keluar dari balik pintu. Bayangan itu bukan seperti manusia, bukan seperti binatang. Itu adalah gumpalan kegelapan yang bergerak, tanpa bentuk, tanpa suara, namun kehadirannya begitu menekan.
Bayangan itu melilit Riko, menyeretnya ke dalam kegelapan di balik pintu. Kami mendengar jeritan Riko yang terputus, sebuah suara yang tak akan pernah kami lupakan, disusul oleh suara pintu yang terbanting menutup dengan keras.
Kabin itu sunyi kembali, seolah tak pernah ada apa-apa. Hanya senter Riko yang tergeletak di lantai, sinarnya berkedip-kedip lemah.
Kami bertiga terpaku, napas tercekat. Aku menatap Maya dan Dani, mata mereka dipenuhi kengerian yang sama denganku. Kami tahu, ini bukan hanya sekadar tempat berlindung. Ini adalah jerat teror tak berujung. Kami mencoba lari, tapi pintu depan terkunci rapat, seolah-olah baru saja dikunci dari luar. Jendela-jendela tertutup rapat, kayu-kayunya membusuk, tak bisa dibuka.
Suara erangan itu mulai terdengar lagi, kali ini dari arah dinding di sebelah kami. Lebih dekat. Lebih jelas. Sebuah bisikan menyeruak dari lantai atas, memanggil nama kami satu per satu. Kisah mengerikan kabin terpencil ini baru saja dimulai. Kami terjebak. Dan entah apa yang menunggu kami di sudut gelap berikutnya, tapi satu hal yang pasti: mimpi buruk yang menghantui ini tidak akan berakhir sampai kabin ini mendapatkan apa yang diinginkannya dari kami.
Di tengah kegelapan yang pekat, kami mendengar langkah kaki pelan menuruni tangga dari lantai atas. Setiap langkah terasa seperti palu yang menghantam jantung kami. Kami saling berpandangan, tahu bahwa kami adalah yang berikutnya.
Dan aku sadar, Riko tidak diculik. Dia hanya menjadi bagian dari kabin ini, sama seperti kami akan segera menjadi.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0