Tatapan Kosong Anak-Anak Itu Mengikuti Setiap Langkahmu

Oleh VOXBLICK

Jumat, 24 Oktober 2025 - 04.20 WIB
Tatapan Kosong Anak-Anak Itu Mengikuti Setiap Langkahmu
Tatapan kosong anak-anak misterius (Foto oleh omar alnahi)

VOXBLICK.COM - Udara sore itu seharusnya menenangkan. Aku baru saja pindah ke pinggiran kota, mencari kedamaian dari hiruk pikuk Jakarta. Rumah kecil dengan halaman depan yang rimbun, ideal untuk menenangkan jiwa. Namun, kedamaian itu hanya bertahan sampai aku melihat mereka. Sekelompok anak kecil, mungkin sekitar enam atau tujuh orang, berdiri diam di seberang jalan, tepat di bawah pohon beringin tua. Mereka tidak bermain, tidak berbicara. Hanya berdiri. Dan menatap.

Awalnya, aku pikir itu hanya kebetulan, atau mungkin mereka penasaran dengan tetangga baru. Tapi keesokan harinya, saat aku menyirami tanaman di taman belakang, aku merasakan lagi tatapan dingin itu. Mereka ada di sana, di balik pagar pembatas, lima pasang mata tanpa ekspresi menatap lurus ke arahku. Tidak ada senyum, tidak ada kedipan. Hanya kehampaan yang mengusik. Sebuah ancaman tak terucap mulai merayapi benakku.

Tatapan Kosong Anak-Anak Itu Mengikuti Setiap Langkahmu
Tatapan Kosong Anak-Anak Itu Mengikuti Setiap Langkahmu (Foto oleh Max Fischer)

Setiap hari setelah itu, fenomena tatapan kosong anak-anak itu semakin intens. Mereka tidak pernah mendekat, tidak pernah bersuara, hanya selalu ada. Di taman, di jendela dapur, bahkan sesekali aku bersumpah melihat siluet kecil mereka di ujung jalan saat aku pulang kerja. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengikuti setiap langkahmu, sebuah bayangan tak berwujud yang menempel erat. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku bahwa itu hanya imajinasiku, efek samping dari stres pindahan. Namun, sensasi diperhatikan itu terlalu nyata untuk diabaikan.

Bayangan di Sudut Mata

Paranoia mulai menggerogoti. Aku mulai menarik tirai lebih awal, menghindari jendela, dan bahkan enggan keluar rumah kecuali benar-benar perlu. Setiap kali aku melirik ke luar, selalu ada satu atau dua pasang mata itu, menatap tanpa berkedip. Mereka tidak pernah bermain seperti anak-anak normal. Tidak ada tawa, tidak ada tangisan, tidak ada suara bola memantul. Hanya keheningan yang mematikan dan jejak ketakutan yang mereka tinggalkan. Aku mencoba berbicara dengan tetangga lama, Pak Budi, yang sudah puluhan tahun tinggal di sini. Ketika aku menyinggung tentang anak-anak di bawah pohon beringin, wajahnya langsung memucat.

"Anak-anak? Di sini?" tanyanya, suaranya bergetar. "Tidak ada anak-anak di jalan ini, Nak. Sudah lama. Sejak..." Dia tidak melanjutkan, hanya menggelengkan kepala dan buru-buru masuk ke rumahnya. Reaksinya justru semakin memperkuat pengalaman mengerikan yang aku alami. Jadi, siapa mereka? Dan mengapa hanya aku yang melihat mereka?

Bisikan Tanpa Suara

Malam hari menjadi lebih buruk. Keheningan rumahku terasa berat, dipenuhi oleh keberadaan yang tidak terlihat. Aku mulai mendengar hal-hal. Bisikan samar yang seolah memanggil namaku, namun menghilang saat aku mencoba mendengarkan.

Langkah kaki kecil di lantai atas, padahal aku tinggal sendirian. Aku mencoba mencari penjelasan logis untuk setiap kejadian:

  • Suara bisikan: Mungkin hanya angin yang masuk melalui celah jendela yang tidak tertutup rapat.
  • Langkah kaki: Bisa jadi tikus atau hewan lain di loteng, meskipun aku belum pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya.
  • Bayangan: Kelelahan dan kurang tidur bisa membuat mata menipu.

Namun, setiap kali aku mencoba rasionalisasi, aku akan melihatnya lagi. Sebuah pantulan di kaca jendela yang gelap, siluet kecil berdiri di balik pohon mangga di halaman belakang, selalu dengan tatapan kosong yang tak pernah berubah. Mereka adalah hantu, atau sesuatu yang lebih buruk, yang entah mengapa memilihku sebagai target.

Jejak Kaki Tak Berwujud

Ketakutanku mencapai puncaknya suatu malam. Aku terbangun karena hawa dingin yang menusuk, padahal AC tidak menyala. Jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku membuka mata perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan. Dan kemudian aku melihatnya. Mereka. Berdiri di sekeliling tempat tidurku. Tujuh pasang mata tanpa emosi, tatapan kosong itu kini begitu dekat, memenuhiku dengan ketakutan tak terucap yang melumpuhkan. Mereka tidak mengeluarkan suara, tidak bergerak, hanya menatapku.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Tubuhku kaku, terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata. Lalu, salah satu dari mereka, seorang anak perempuan kecil dengan rambut panjang terurai, mengangkat tangan mungilnya.

Jari telunjuknya yang pucat menunjuk ke arah cermin di dinding kamarku. Dengan sisa-sisa keberanianku, aku mengalihkan pandangan ke cermin. Di sana, di pantulan yang buram, aku melihatnya.

Bukan wajahku yang pucat pasi karena ketakutan. Bukan mataku yang memohon pertolongan. Melainkan sepasang mata kosong yang sama, persis seperti mereka. Dan bibirku, entah bagaimana, tersenyum tipis. Senyum yang bukan milikku. Aku mencoba menggerakkan wajahku, tapi itu tidak merespons. Aku hanya bisa menatap pantulan diriku yang kini menjadi salah satu dari mereka, sementara tatapan kosong anak-anak itu mengikuti setiap langkahku, atau lebih tepatnya, setiap kedipan mataku yang kini telah mati.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0