Cerita Jembatan Merah & Gedung Internatio yang Mengubah Arah Pertempuran Surabaya!

Oleh VOXBLICK

Jumat, 22 Agustus 2025 - 11.45 WIB
Cerita Jembatan Merah & Gedung Internatio yang Mengubah Arah Pertempuran Surabaya!
Peran Strategis Jembatan Merah (Foto oleh Lu Quang Do di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Surabaya, akhir Oktober 1945. Udara kota ini terasa berat, sarat dengan euforia kemerdekaan yang baru seumur jagung sekaligus ketegangan yang merayap.

Di tengah pusaran sejarah itu, sebuah area kecil yang terdiri dari jembatan baja berwarna merah dan sebuah gedung megah bernama Internatio, menjelma menjadi panggung utama dari salah satu drama paling heroik dalam sejarah bangsa. Kawasan Jembatan Merah bukan sekadar jalur penghubung; ia adalah urat nadi ekonomi dan pusat administrasi yang vital.

Siapa pun yang menguasainya, secara de facto memegang kendali atas jantung kota Surabaya. Inilah alasan mengapa peran strategis kawasan ini menjadi begitu krusial saat pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby mendarat. Pasukan Inggris yang datang dengan dalih melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang, nyatanya membawa agenda tersembunyi NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Ketegangan pun tak terelakkan. Gedung Internatio, dengan arsitekturnya yang kokoh dan lokasinya yang dominan di ujung Jembatan Merah, segera diambil alih oleh pasukan Mallaby dan dijadikan markas besar. Dari jendela-jendela gedung inilah, Jenderal Mallaby dan pasukannya bisa mengawasi setiap pergerakan di sekitar Jembatan Merah, menjadikannya benteng pertahanan sekaligus menara pengawas.

Bagi para pejuang Surabaya, penguasaan Gedung Internatio oleh Inggris adalah sebuah penghinaan dan ancaman langsung. Perebutan kembali area ini menjadi simbol perlawanan terhadap kembalinya kolonialisme. Inilah awal mula dari rangkaian peristiwa yang akan mencapai puncaknya dalam Pertempuran Surabaya.

Gedung Internatio: Benteng Sekutu di Jantung Perlawanan

Memahami peran strategis Gedung Internatio adalah kunci untuk mengerti skala pertempuran yang terjadi.

Gedung ini, yang terletak di Willemsplein (sekarang Jembatan Merah Plaza), merupakan pusat kegiatan dagang internasional sebelum perang. Strukturnya yang solid dari beton bertulang menjadikannya benteng alami yang sulit ditembus. Ketika Brigade ke-49 di bawah komando Jenderal Mallaby menjadikannya markas, mereka mengubah pusat ekonomi menjadi pusat militer.

Dari sini, mereka bisa mengontrol akses keluar masuk dari pelabuhan Tanjung Perak ke pusat kota. Jembatan Merah adalah gerbangnya, dan Gedung Internatio adalah penjaganya. Bagi arek-arek Suroboyo dan laskar pejuang, termasuk barisan Hizbullah yang semangatnya berkobar pasca-dikumandangkannya Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy'ari, merebut kembali Gedung Internatio adalah sebuah keharusan taktis.

Resolusi Jihad yang menyerukan bahwa membela tanah air dari penjajah adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) bagi setiap Muslim, telah menyuntikkan keberanian luar biasa. Ribuan santri dan pemuda bergerak ke Surabaya, siap mati demi mempertahankan kemerdekaan. Target utama mereka jelas: melumpuhkan pusat komando Inggris di Gedung Internatio dan merebut kembali kontrol atas Jembatan Merah.

Pertempuran di sekitar area ini bukanlah pertempuran biasa; ini adalah upaya memotong kepala ular. Selama Gedung Internatio berdiri sebagai markas Sekutu, perlawanan di seluruh kota akan sulit dikoordinasikan.

Peran strategis gedung ini membuatnya menjadi magnet bagi serangan-serangan paling nekat dari para pejuang Indonesia.

Api yang Tersulut: Insiden 30 Oktober 1945 dan Tewasnya Jenderal Mallaby

Tanggal 27 hingga 29 Oktober 1945, Surabaya menjadi neraka. Pertempuran sporadis meletus di seluruh kota. Para pejuang Indonesia, dengan persenjataan seadanya namun dengan semangat yang menyala-nyala, berhasil memukul mundur dan mengepung pos-pos pertahanan Inggris.

Puncaknya, pasukan Jenderal Mallaby terkepung di dalam Gedung Internatio. Situasi menjadi sangat genting bagi pihak Inggris. Melihat kondisi ini, Soekarno, Hatta, dan Amir Sjarifuddin terbang ke Surabaya untuk menengahi gencatan senjata. Pada 30 Oktober 1945, sebuah kesepakatan gencatan senjata berhasil dicapai. Namun, api di tingkat akar rumput sudah terlalu besar untuk dipadamkan dengan secarik kertas perjanjian.

Sore harinya, Jenderal Mallaby berkeliling kota dengan mobil Buick untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata. Ketika rombongannya melintasi Jembatan Merah dan mendekati Gedung Internatio, suasana kembali memanas. Terjadi kesalahpahaman antara pejuang Indonesia dan pasukan Gurkha yang menjaga gedung. Baku tembak pun tak terhindarkan. Di tengah kekacauan itulah, Jenderal Mallaby tewas. Terdapat berbagai versi mengenai penyebab kematiannya.

Ada yang menyebut ia tewas karena tembakan dari pejuang Indonesia. Versi lain, yang didukung beberapa saksi sejarah seperti Muhammad Yasin, salah satu komandan Polisi Istimewa, menyatakan bahwa setelah baku tembak, sebuah granat dilemparkan ke mobilnya, menyebabkan mobil meledak dan menewaskan jenderal tersebut. Hingga kini, kematian Jenderal Mallaby tetap menjadi misteri yang menyelimuti sejarah Pertempuran Surabaya.

Namun, satu hal yang pasti: tewasnya seorang jenderal di depan markas besarnya, Gedung Internatio, adalah percikan bensin yang menyiram api yang sudah berkobar. Peristiwa di Jembatan Merah ini menjadi justifikasi bagi Inggris untuk mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945, yang menuntut seluruh pejuang Indonesia menyerahkan senjata.

Ultimatum yang dengan tegas ditolak dan dijawab dengan perlawanan total pada pagi hari 10 November 1945.

Analisis Peta Taktis: Jembatan Merah Sebagai Zona Pembantaian

Jika kita melihat peta taktis pertempuran di sektor Jembatan Merah, kita akan melihat sebuah desain zona pertempuran yang mematikan. Gedung Internatio memberikan posisi menembak yang superior bagi pasukan Inggris.

Mereka bisa menempatkan penembak jitu dan senapan mesin di jendela-jendela atas, menguasai seluruh area terbuka di sekitar jembatan. Jembatan Merah itu sendiri menjadi sebuah 'killing zone' atau area pembantaian. Siapapun yang mencoba menyeberanginya dari arah utara maupun selatan akan menjadi sasaran empuk. Namun, para pejuang Indonesia tidak kalah cerdik.

Mereka memanfaatkan gang-gang sempit, bangunan-bangunan tua, dan selokan di sekitar Jembatan Merah untuk melakukan serangan gerilya. Mereka tidak menghadapi Inggris secara frontal di area terbuka, melainkan dengan taktik 'pukul dan lari' (hit and run). Peran strategis Jembatan Merah sebagai satu-satunya penghubung utama di area itu justru menjadi kelemahannya.

Para pejuang memfokuskan serangan untuk mengisolasi pasukan di Gedung Internatio dengan memutus akses logistik dan bantuan yang melewati jembatan. Pertempuran di kawasan ini adalah adu cerdik antara kekuatan militer konvensional yang bertahan di sebuah benteng modern melawan semangat perlawanan gerilya yang memanfaatkan setiap jengkal medan yang mereka kenal baik.

Pertempuran Surabaya, khususnya di area ini, menunjukkan bahwa penguasaan medan dan semangat juang bisa mengimbangi keunggulan teknologi persenjataan. Kronologi pertempuran ini menunjukkan betapa krusialnya penguasaan titik-titik strategis seperti Jembatan Merah dalam perang kota. Peristiwa di sekitar Jembatan Merah dan Gedung Internatio bukan hanya sebuah episode dalam Pertempuran Surabaya. Ia adalah mikrokosmos dari perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri.

Di sanalah arogansi kekuatan kolonial berhadapan langsung dengan keberanian tanpa batas dari sebuah bangsa yang menolak untuk dijajah kembali. Kematian Jenderal Mallaby dan pertempuran hebat yang mengikutinya mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia: kemerdekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan atau direbut kembali dengan mudah.

Harga yang harus dibayar sangatlah mahal, diukur dengan darah para pahlawan yang tumpah di atas aspal dan di bawah bayang-bayang Gedung Internatio. Kawasan Jembatan Merah selamanya terukir dalam memori kolektif bangsa sebagai simbol perlawanan, titik di mana negosiasi berakhir dan perjuangan bersenjata dimulai dengan skala penuh.

Peran strategis lokasi ini dalam Pertempuran Surabaya menjadi bukti bahwa dalam perang, geografi dan simbolisme memiliki kekuatan yang sama besarnya dengan senjata itu sendiri. Informasi yang disajikan dalam artikel ini diolah dari berbagai sumber catatan sejarah yang terverifikasi. Interpretasi atas peristiwa sejarah dapat bervariasi, dan pembaca dianjurkan untuk mendalami lebih lanjut dari berbagai perspektif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0