Dampak Algoritma Media Sosial terhadap Persepsi dan Pendapat Kita

VOXBLICK.COM - Setiap pagi, jutaan orang di Indonesia memulai hari dengan ritual yang sama: membuka smartphone. Layar yang menyala menampilkan linimasa yang terasa begitu personal, seolah dirancang khusus untuk kita. Kenyataannya, memang begitu.
Di balik layar itu, bekerja sebuah sistem cerdas yang tak kenal lelah, yaitu algoritma media sosial.
Ini bukan sekadar teknologi, melainkan arsitek utama yang membentuk gelembung realitas kita dan secara signifikan mempengaruhi opini publik di era modern.
Sederhananya, algoritma adalah seperangkat aturan yang digunakan platform media digital seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan Facebook untuk menentukan konten apa yang akan Anda lihat. Tujuannya satu: membuat Anda bertahan di platform selama mungkin. Caranya?
Dengan menyajikan konten yang paling mungkin memancing reaksi Anda, baik itu suka, komentar, atau bagikan. Algoritma media sosial mempelajari setiap klik, setiap video yang Anda tonton hingga selesai, dan setiap akun yang Anda ikuti. Data ini kemudian digunakan untuk membangun profil digital Anda dan menyodorkan lebih banyak konten serupa.
Di sinilah 'gelembung filter' (filter bubble) dan 'ruang gema' (echo chamber) mulai terbentuk. Anda hanya melihat apa yang ingin Anda lihat, atau lebih tepatnya, apa yang algoritma pikir ingin Anda lihat. Opini Anda terus menerus diperkuat, sementara pandangan yang berlawanan perlahan menghilang dari linimasa.
Inilah mekanisme dasar dari pengaruh media sosial yang begitu kuat dalam membentuk persepsi.
Pedang Bermata Dua: Kekuatan dan Ancaman Media Digital
Kehadiran media digital dalam kehidupan kita ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa kekuatan yang luar biasa untuk kebaikan.
Di sisi lain, ia menyimpan ancaman serius jika tidak dikelola dengan bijak, terutama dalam perannya membentuk opini publik.
Demokrasi Informasi dan Gerakan Sosial
Tak bisa dipungkiri, media digital telah mendemokratisasi arus informasi. Jika dulu media massa konvensional menjadi satu-satunya penjaga gerbang informasi, kini setiap individu dengan koneksi internet bisa menjadi penyiar.
Ini melahirkan jurnalisme warga (citizen journalism) dan memungkinkan suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar. Gerakan sosial berskala global seperti #MeToo atau kampanye lingkungan lokal bisa mendapatkan momentum dengan cepat berkat kekuatan viral dari pengaruh media sosial.
Platform ini menjadi alat koordinasi dan mobilisasi massa yang efektif, memberikan kekuatan kepada masyarakat sipil untuk menuntut perubahan dan transparansi.
Tsunami Informasi Hoaks dan Disinformasi
Namun, di sisi gelapnya, kemudahan berbagi informasi ini menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi hoaks.
Disinformasi (informasi salah yang sengaja dibuat untuk menipu) dan misinformasi (informasi salah yang disebar tanpa niat jahat) menyebar seperti api liar di ekosistem media digital. Sifatnya yang seringkali sensasional dan membangkitkan emosi membuatnya lebih menarik bagi audiens.
Sebuah studi oleh para peneliti di MIT yang diterbitkan dalam jurnal Science menemukan bahwa berita bohong 70% lebih mungkin untuk di-retweet daripada berita yang benar. Informasi hoaks ini dirancang untuk memanipulasi opini publik, seringkali dengan tujuan politik atau ekonomi.
Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara rutin melaporkan ratusan hingga ribuan temuan hoaks setiap bulannya, menunjukkan betapa masifnya masalah ini.
Polarisasi Ekstrem dan Erosi Kepercayaan
Gabungan antara algoritma media sosial yang menciptakan ruang gema dan maraknya informasi hoaks melahirkan ancaman yang lebih dalam: polarisasi masyarakat.
Ketika kita hanya terpapar pada pandangan yang serupa dengan kita, kita mulai melihat mereka yang berbeda pendapat bukan lagi sebagai sesama warga dengan perspektif lain, tetapi sebagai 'musuh'. Diskusi publik yang sehat tergantikan oleh caci maki. Pew Research Center dalam berbagai risetnya telah menunjukkan korelasi kuat antara penggunaan media sosial yang intens dengan meningkatnya polarisasi politik.
Kepercayaan terhadap institusi, termasuk media arus utama, pemerintah, dan bahkan sains, perlahan tergerus karena setiap orang memiliki 'kebenaran' versi linimasa mereka sendiri.
Inilah dampak jangka panjang dari pengaruh media sosial yang paling mengkhawatirkan di era modern.
Studi Kasus Nyata: Pesta Demokrasi di Medan Perang Digital
Tidak ada panggung yang lebih jelas untuk melihat bagaimana media digital membentuk opini publik selain saat perhelatan politik seperti pemilihan umum.
Di Indonesia, pemilu tidak lagi hanya tentang kampanye di dunia nyata, tetapi juga pertempuran sengit di dunia maya. Tim sukses kandidat kini wajib memiliki divisi siber yang bertugas mengelola narasi di berbagai platform.
Mereka menggunakan berbagai taktik, mulai dari iklan bertarget mikro yang pesannya disesuaikan dengan profil psikografis audiens, hingga penggunaan 'buzzer' atau 'influencer' untuk memperkuat pesan dan menyerang lawan.
Konten-konten emosional, meme, dan potongan video pendek menjadi senjata utama untuk mempengaruhi sentimen pemilih. Informasi hoaks seringkali digunakan secara sistematis untuk mendegradasi citra lawan politik. Opini publik tidak lagi terbentuk melalui debat gagasan yang mendalam, melainkan melalui repetisi narasi dan banjir informasi, baik yang akurat maupun yang palsu.
Fenomena ini menunjukkan betapa krusialnya peran media digital dalam menentukan arah politik sebuah negara di era modern.
Membangun Benteng Pertahanan Diri: Urgensi Literasi Digital
Menghadapi gempuran informasi dan kekuatan algoritma media sosial yang tak terlihat, kita tidak sepenuhnya tak berdaya. Senjata utama kita adalah literasi digital.
Ini bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan gawai, tetapi kemampuan untuk berpikir kritis terhadap setiap informasi yang kita konsumsi dan bagikan.
Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), sering menekankan bahwa literasi digital adalah tentang membangun pola pikir kritis. Ini adalah kemampuan untuk berhenti sejenak sebelum menekan tombol 'share'. Ini adalah kebiasaan untuk selalu bertanya: Siapa sumber informasi ini?
Apa buktinya? Apakah ada media lain yang melaporkan hal yang sama? Membangun literasi digital adalah sebuah keharusan di era modern.
Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan untuk meningkatkan literasi digital antara lain:
Terapkan Metode SIFT
Metode yang dipopulerkan oleh ahli literasi digital Mike Caulfield ini sangat praktis:
- Stop: Berhenti.
Jangan langsung percaya atau berbagi.
- Investigate the source: Selidiki siapa sumbernya.
Apakah media yang kredibel atau situs web yang tidak jelas?
- Find better coverage: Cari pemberitaan lain dari sumber yang lebih terpercaya mengenai topik yang sama.
- Trace claims to the original context: Lacak klaim, kutipan, atau foto kembali ke sumber aslinya untuk memastikan tidak dipelintir.
Diversifikasi 'Asupan' Informasi Anda
Secara sadar, keluarlah dari gelembung filter Anda.
Ikuti akun atau baca media yang memiliki sudut pandang berbeda. Ini mungkin terasa tidak nyaman pada awalnya, tetapi sangat penting untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan seimbang mengenai suatu isu.
Algoritma media sosial mungkin tidak akan menyukai ini, tetapi pikiran Anda akan berterima kasih.
Kenali Jebakan Bias Kognitif
Pahami bahwa kita semua rentan terhadap bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mengonfirmasi keyakinan kita yang sudah ada. Sadari kecenderungan ini saat Anda merasa sangat setuju atau sangat marah terhadap suatu berita.
Emosi yang kuat seringkali menjadi tanda bahaya bahwa pemikiran kritis kita sedang nonaktif. Penting untuk dipahami bahwa platform media digital terus mengembangkan algoritmanya, sehingga taktik manipulasi dan dampaknya bisa berubah seiring waktu, menuntut kita untuk terus belajar.
Pada akhirnya, teknologi media digital hanyalah alat. Ia bisa menjadi megafon untuk kebenaran dan keadilan, atau bisa menjadi senjata untuk perpecahan dan kebohongan.
Arahnya sangat bergantung pada penggunanya. Dalam banjir informasi di era modern ini, tanggung jawab terbesar terletak pada diri kita masing-masing. Kemampuan untuk menyaring, memverifikasi, dan berpikir secara mandiri bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keterampilan bertahan hidup yang esensial. Mengendalikan apa yang kita konsumsi di dunia digital adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa kita yang mengendalikan pikiran kita, bukan sebaliknya.
Apa Reaksi Anda?






