Kenapa Presiden Tak Bisa Membekukan DPR?

VOXBLICK.COM - Untuk memahami betapa berbahayanya gagasan pembekuan DPR, kita harus kembali ke fondasi negara: Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia secara tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan atau Trias Politica, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang yang saling mengawasi: eksekutif (Presiden dan pemerintahannya), legislatif (DPR, DPD, MPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
Sistem ini, yang dikenal sebagai 'checks and balances', dirancang untuk mencegah satu cabang kekuasaan menjadi terlalu dominan dan bertindak sewenang-wenang. Pembekuan DPR oleh eksekutif secara sepihak adalah pelanggaran langsung terhadap prinsip fundamental ini. Menurut Konstitusi Indonesia, tidak ada satu pun pasal yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk membubarkan atau membekukan DPR.
Sebaliknya, UUD 1945 justru mengatur mekanisme yang jelas di mana DPR dapat mengawasi Presiden. Pasal 7A dan 7B UUD 1945 memberikan DPR kekuatan untuk memulai proses pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat. Ini menunjukkan bahwa alur pengawasan berjalan dari legislatif ke eksekutif, bukan sebaliknya.
Pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK) Indonesia, Bivitri Susanti, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa setiap tindakan eksekutif yang melumpuhkan fungsi legislatif akan menciptakan krisis konstitusional.
Tindakan seperti pembekuan DPR akan dianggap sebagai kudeta konstitusional, karena secara efektif menghancurkan keseimbangan kekuasaan yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan sebuah serangan terhadap jantung demokrasi itu sendiri, yang pada akhirnya akan memicu krisis politik yang tak terhindarkan.
Skenario Politik yang Mungkin Terjadi
Jika skenario pembekuan DPR yang mustahil ini dipaksakan, Indonesia akan terjun bebas ke dalam krisis politik multidimensional dengan konsekuensi yang mengerikan.
Rangkaian peristiwa yang terjadi akan bergerak cepat dan sulit dikendalikan.
Krisis Konstitusional dan Reaksi Lembaga Negara
Langkah pertama yang paling menentukan datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai penjaga konstitusi, MK kemungkinan besar akan segera mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa tindakan pembekuan DPR adalah inkonstitusional dan tidak sah. Putusan ini akan menjadi dasar hukum bagi perlawanan terhadap eksekutif.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah eksekutif akan mematuhi putusan MK? Jika tidak, maka negara secara resmi masuk ke dalam krisis kepatuhan hukum, di mana lembaga tertinggi negara saling berhadapan. Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA) juga akan berada di bawah tekanan untuk bersikap. Sikap netralitas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan menjadi kunci.
Konstitusi Indonesia mengamanatkan TNI dan Polri untuk setia kepada negara dan konstitusi, bukan kepada individu atau rezim yang berkuasa. Jika mereka berpihak pada konstitusi dan menolak perintah yang inkonstitusional, maka kekuasaan eksekutif akan sangat terisolasi.
Namun, jika terjadi perpecahan di tubuh aparat keamanan, risiko konflik horizontal dan kekerasan akan meningkat secara drastis, menyeret negara ke dalam skenario politik yang paling gelap.
Perlawanan Politik dan Gerakan Masyarakat
Seluruh partai politik yang memiliki perwakilan di DPR, terlepas dari afiliasi koalisi mereka, kemungkinan besar akan bersatu untuk melawan.
Mereka akan menolak pembekuan DPR dan kemungkinan akan terus mengadakan sidang di lokasi alternatif, menyatakan bahwa pemerintahan eksekutif telah kehilangan legitimasinya. Ini akan menciptakan dualisme kepemimpinan yang berbahaya. Reaksi publik tidak bisa diremehkan. Organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan serikat buruh akan turun ke jalan dalam demonstrasi massal menuntut pemulihan demokrasi dan penegakan Konstitusi Indonesia.
Mengingat sejarah pergerakan rakyat di Indonesia, seperti pada tahun 1998, potensi mobilisasi massa sangat besar. Eskalasi protes dapat melumpuhkan kota-kota besar dan meningkatkan tekanan pada pemerintah. Situasi ini menjadi sangat rentan terhadap provokasi yang bisa memicu kerusuhan sosial, menempatkan keamanan warga sipil dalam risiko besar.
Perlawanan ini akan menjadi ujian nyata bagi denyut nadi demokrasi di masyarakat.
Isolasi Internasional
Komunitas internasional tidak akan tinggal diam menyaksikan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia runtuh. Negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa akan mengeluarkan kecaman keras.
Ancaman sanksi ekonomi, pembekuan aset pejabat di luar negeri, dan penangguhan kerja sama internasional adalah langkah-langkah yang sangat mungkin diambil. Lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan IMF akan menangguhkan pinjaman dan bantuan, melihat adanya ketidakpastian politik yang ekstrem. Indonesia akan terisolasi secara diplomatik, merusak citra dan pengaruh yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Investor asing akan menarik modal mereka, dan kredibilitas Indonesia di panggung global akan hancur lebur.
Dampak Domino: Ekonomi dan Kehidupan Sehari-hari
Krisis politik akibat pembekuan DPR tidak hanya terjadi di ruang-ruang kekuasaan di Jakarta.
Dampaknya akan merambat cepat ke sektor ekonomi dan langsung terasa di tingkat rumah tangga, memengaruhi kehidupan setiap warga negara.
Runtuhnya Kepercayaan Investor
Pasar keuangan adalah yang pertama kali bereaksi terhadap ketidakpastian. Begitu berita pembekuan DPR menyebar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan anjlok.
Investor, baik domestik maupun asing, akan menjual aset mereka secara masif untuk menghindari kerugian lebih lanjut, sebuah fenomena yang dikenal sebagai capital flight. Aksi jual ini akan menyebabkan nilai tukar Rupiah terjun bebas terhadap dolar AS.
Dampak ketidakstabilan politik terhadap ekonomi selalu negatif, dan pelemahan Rupiah akan secara langsung memicu inflasi karena harga barang-barang impor, termasuk bahan baku industri dan bahan pangan, akan meroket. Suku bunga acuan kemungkinan akan dinaikkan secara drastis untuk menahan laju pelemahan Rupiah, namun langkah ini justru akan mencekik sektor riil karena biaya pinjaman menjadi sangat mahal.
Pertumbuhan ekonomi akan terhenti, bahkan berbalik menjadi kontraksi, membuka jalan bagi resesi yang dalam. Ini adalah dampak ekonomi langsung dari krisis politik yang parah.
Kebijakan Publik Macet Total
Fungsi vital DPR adalah menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tanpa persetujuan DPR, pemerintah tidak memiliki dasar hukum untuk membelanjakan uang negara.
Ini berarti gaji aparatur sipil negara, TNI, dan Polri bisa tertunda. Proyek-proyek infrastruktur strategis akan berhenti total. Program bantuan sosial, subsidi energi (BBM dan listrik), dan layanan kesehatan publik akan terancam dihentikan. Negara akan lumpuh karena pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya. Selain itu, semua rancangan undang-undang yang sedang dibahas, termasuk yang vital untuk investasi dan reformasi, akan terbengkalai.
Lingkaran setan ini, di mana krisis politik menyebabkan kelumpuhan kebijakan yang memperburuk dampak ekonomi, akan sangat sulit dipatahkan.
Ancaman PHK Massal dan Kenaikan Kemiskinan
Ketika ekonomi memasuki resesi, perusahaan-perusahaan akan menjadi korban pertama. Permintaan yang menurun dan biaya operasional yang membengkak akibat inflasi akan memaksa mereka untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
Angka pengangguran akan melonjak tajam, dan daya beli masyarakat akan tergerus habis. Tingkat kemiskinan akan meningkat drastis. Situasi ini, dikombinasikan dengan kemarahan politik, menciptakan kondisi yang sangat matang untuk kerusuhan sosial dan penjarahan, mengancam stabilitas dan keamanan di seluruh negeri. Dampak ekonomi dari pembekuan DPR pada akhirnya akan dirasakan paling berat oleh masyarakat lapisan bawah.
Perlu diingat, analisis ini adalah sebuah simulasi hipotetis berdasarkan kerangka Konstitusi Indonesia dan teori politik untuk memahami betapa rapuhnya tatanan demokrasi jika pilar-pilarnya, seperti prinsip checks and balances, digoyahkan. Skenario pembekuan DPR adalah sebuah langkah mundur yang akan membawa Indonesia kembali ke era kegelapan otoritarianisme, menghapus semua kemajuan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Lembaga legislatif, dengan segala kekurangannya, adalah pilar esensial yang memastikan adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan suara rakyat tetap didengar. Menghilangkannya sama saja dengan meruntuhkan rumah bangsa itu sendiri, di mana dampak ekonomi dan sosialnya akan meninggalkan luka yang sangat dalam bagi generasi mendatang.
Apa Reaksi Anda?






