Ancaman 'Job-pocalypse' Gen Z: Perusahaan Global Pilih AI daripada Karyawan Baru

Oleh VOXBLICK

Senin, 20 Oktober 2025 - 09.45 WIB
Ancaman 'Job-pocalypse' Gen Z: Perusahaan Global Pilih AI daripada Karyawan Baru
Gen Z, AI, dan 'Job-pocalypse' (Foto oleh Ron Lach)

VOXBLICK.COM - Dunia kerja lagi heboh nih, dan kabar buruknya, Gen Z jadi sorotan utama. Bukannya dapat sambutan hangat di pasar kerja, mereka malah dihadapkan pada ancaman yang disebut job-pocalypse. Kenapa bisa begini? Gampang saja: perusahaan-perusahaan global sekarang lebih memilih kecerdasan buatan (AI) daripada merekrut karyawan baru, terutama yang masih minim pengalaman.

Fenomena ini bukan isapan jempol belaka. Laporan terbaru dari berbagai lembaga riset, seperti yang diungkap oleh World Economic Forum, menunjukkan bahwa otomatisasi dan adopsi AI memang mengubah lanskap pekerjaan secara drastis.

Perusahaan melihat AI sebagai solusi yang lebih efisien, konsisten, dan seringkali lebih hemat biaya untuk menjalankan tugas-tugas operasional. Ini tentu saja jadi pukulan telak bagi Gen Z yang baru lulus atau sedang mencari pijakan pertama di dunia profesional.

Ancaman Job-pocalypse Gen Z: Perusahaan Global Pilih AI daripada Karyawan Baru
Ancaman Job-pocalypse Gen Z: Perusahaan Global Pilih AI daripada Karyawan Baru (Foto oleh Tara Winstead)

Kenapa Perusahaan Lebih Suka AI?

Ada beberapa alasan kuat di balik keputusan perusahaan global ini untuk berinvestasi lebih banyak pada AI daripada menambah karyawan baru. Bukan cuma soal tren, tapi juga perhitungan bisnis yang matang:

  • Efisiensi dan Akurasi Tinggi: AI bisa mengerjakan tugas repetitif, analisis data, hingga layanan pelanggan dengan kecepatan dan akurasi yang jauh melampaui kemampuan manusia. Minimnya kesalahan berarti minimnya biaya perbaikan.
  • Ketersediaan 24/7: Robot atau sistem AI tidak butuh istirahat, cuti, atau liburan. Mereka bisa beroperasi non-stop, memastikan layanan dan produksi tidak terganggu.
  • Penghematan Biaya Jangka Panjang: Meskipun investasi awal untuk AI bisa besar, biaya operasional jangka panjang (gaji, tunjangan, pelatihan) jauh lebih rendah dibandingkan mempekerjakan banyak karyawan.
  • Skalabilitas Cepat: Ketika perusahaan butuh memperluas operasional, menambah kapasitas AI jauh lebih cepat dan mudah daripada merekrut, melatih, dan mengintegrasikan karyawan baru.
  • Pengambilan Keputusan Berbasis Data: AI bisa menganalisis Big Data untuk memberikan wawasan yang lebih dalam, membantu manajemen membuat keputusan strategis yang lebih tepat.

Ini bukan berarti perusahaan anti-manusia, tapi mereka sedang mengoptimalkan sumber daya untuk tetap kompetitif di pasar yang makin ketat. Dampaknya, tentu saja, langsung terasa di pasar kerja Gen Z.

Dampak Nyata bagi Gen Z

Jadi, apa artinya semua ini bagi Gen Z? Ini bukan sekadar tantangan kecil, melainkan ancaman serius yang bisa mengubah peta karier mereka secara fundamental. Beberapa dampaknya antara lain:

  • Persaingan Makin Ketat: Lowongan untuk posisi entry-level yang biasanya jadi gerbang awal Gen Z kini berkurang drastis karena digantikan otomatisasi. Ini membuat persaingan untuk posisi yang tersisa jadi sangat sengit.
  • Kesenjangan Keterampilan (Skill Gap): Banyak Gen Z yang lulus dengan bekal pendidikan tradisional mungkin tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan tuntutan era AI. Keterampilan seperti pemrograman AI, analisis data tingkat lanjut, atau manajemen sistem otomatisasi jadi sangat dicari.
  • Penurunan Daya Tawar: Dengan banyaknya pelamar dan sedikitnya lowongan, daya tawar Gen Z untuk mendapatkan gaji atau posisi yang baik bisa menurun.
  • Pergeseran Jenis Pekerjaan: Pekerjaan yang bersifat repetitif dan berbasis aturan akan semakin terancam. Gen Z perlu mengasah keterampilan yang lebih manusiawi seperti kreativitas, pemikiran kritis, empati, dan kemampuan adaptasi.

Menurut sebuah survei dari PwC, sekitar 40% pekerjaan di seluruh dunia berpotensi diotomatisasi dalam 15 tahun ke depan. Angka ini tentu saja mengkhawatirkan, terutama bagi generasi yang baru akan memasuki puncak kariernya.

Bagaimana Gen Z Bisa Bertahan dan Berkembang?

Ancaman job-pocalypse ini memang nyata, tapi bukan berarti Gen Z harus pasrah. Ada banyak cara untuk beradaptasi dan bahkan mengambil keuntungan dari pergeseran ini. Kuncinya adalah proaktif dan terus belajar:

  1. Menguasai Keterampilan Digital dan AI: Ini bukan lagi pilihan, tapi kewajiban. Mempelajari dasar-dasar AI, machine learning, analisis data, atau setidaknya cara berinteraksi secara efektif dengan AI akan sangat membantu.
  2. Fokus pada Soft Skills: Keterampilan seperti komunikasi, kolaborasi, pemecahan masalah, kreativitas, dan adaptasi adalah hal-hal yang sulit digantikan oleh AI. Ini akan menjadi pembeda utama.
  3. Pembelajaran Seumur Hidup (Lifelong Learning): Pasar kerja akan terus berubah. Gen Z harus memiliki mentalitas pembelajar seumur hidup, siap untuk terus meng-upgrade diri dan mempelajari hal baru.
  4. Membangun Jaringan (Networking): Koneksi pribadi dan profesional tetap penting. Jaringan bisa membuka pintu kesempatan yang mungkin tidak tersedia melalui jalur formal.
  5. Menciptakan Peluang Sendiri: Jangan hanya menunggu lowongan. Gen Z bisa memanfaatkan teknologi untuk berwirausaha, menjadi freelancer, atau menciptakan nilai baru di pasar. Platform digital sangat mendukung hal ini.

Pemerintah dan lembaga pendidikan juga punya peran besar di sini.

Kurikulum harus diperbarui agar relevan dengan kebutuhan industri masa depan, dan program pelatihan ulang (reskilling) atau peningkatan keterampilan (upskilling) harus lebih mudah diakses oleh Gen Z.

Jadi, ancaman job-pocalypse bagi Gen Z ini memang serius, dengan perusahaan global pilih AI daripada karyawan baru. Namun, ini juga merupakan panggilan untuk berinovasi dan beradaptasi. Masa depan pekerjaan mungkin tidak lagi sama, tapi dengan persiapan yang tepat, Gen Z bisa mengubah tantangan ini menjadi peluang besar untuk menciptakan karier yang lebih relevan dan bermakna di era AI.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0