AI Medis Bikin Penentuan Kesalahan Makin Sulit, Kata Para Ahli
VOXBLICK.COM - Penggunaan kecerdasan buatan (AI) di sektor kesehatan memang lagi gencar-gencarnya. Dari bantu diagnosis penyakit, nyari obat baru, sampai bantu operasi, AI seolah jadi pahlawan baru. Tapi, di balik semua janji manisnya, ada satu kekhawatiran besar yang mulai bikin para ahli pusing tujuh keliling: gimana kalau AI ini bikin kesalahan? Dan yang lebih bikin bingung lagi, siapa yang bakal disalahkan kalau terjadi malpraktik medis yang melibatkan AI?
Para ahli dari berbagai bidang, mulai dari hukum, etika medis, sampai teknologi, sepakat kalau kehadiran AI medis ini bakal mempersulit banget penentuan tanggung jawab.
Bayangkan, kalau dulu kesalahan medis biasanya jelas siapa pelakunyadokter, perawat, atau rumah sakitsekarang dengan AI, garisnya jadi samar-samar.
Kenapa Penentuan Tanggung Jawab Jadi Ribet?
Masalah utamanya terletak pada kompleksitas cara kerja AI, terutama yang sering disebut "black box problem." Begini penjelasannya:
- Algoritma yang Rumit: Sistem AI modern, khususnya yang pakai machine learning atau deep learning, itu algoritmanya super kompleks. Mereka belajar dari jutaan data dan kadang bikin keputusan dengan cara yang bahkan penciptanya sendiri sulit jelaskan secara tuntas. Ini beda banget sama program komputer biasa yang alurnya jelas.
- Data Latih yang Bias: AI itu pintar karena dilatih pakai data. Nah, kalau data latihnya ada bias, entah itu bias demografi, ras, atau jenis kelamin, hasilnya bisa jadi salah dan merugikan pasien tertentu. Siapa yang salah kalau data latihnya bermasalah? Penyuplai data? Pengembang AI?
- Banyak Pihak Terlibat: Dalam satu kasus AI medis, ada banyak pihak yang terlibat: pengembang AI, penyedia data, rumah sakit yang membeli dan mengimplementasikan AI, sampai dokter yang menggunakan AI tersebut. Kalau ada kesalahan, siapa yang paling bertanggung jawab?
- Peran Dokter: Dokter masih punya peran penting dalam menginterpretasikan hasil AI. Tapi, seberapa besar tanggung jawab dokter jika mereka mengikuti rekomendasi AI yang ternyata salah? Apakah mereka harus selalu meragukan AI? Ini menimbulkan dilema etis dan profesional.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Asosiasi Hukum Medis Internasional menyebutkan bahwa lebih dari 65% pengacara yang menangani kasus malpraktik medis merasa kesulitan mengidentifikasi sumber kesalahan pada kasus yang melibatkan teknologi AI. Ini menunjukkan betapa rumitnya isu ini di lapangan.
Dampak ke Pasien dan Sistem Hukum
Buat pasien, kondisi ini jelas merugikan. Kalau mereka jadi korban kesalahan AI, proses hukum untuk mencari keadilan bisa jadi sangat berliku.
Bayangkan harus membuktikan bahwa algoritma AI lah yang salah, bukan dokter yang menggunakannya, atau data yang dipakai untuk melatih AI yang tidak akurat. Ini bisa memakan waktu, biaya, dan energi yang luar biasa.
Bagi sistem hukum, ini adalah tantangan besar. Undang-undang dan regulasi yang ada sekarang umumnya dibentuk di era pra-AI.
Konsep seperti "kelalaian" (negligence) atau "tanggung jawab produk" (product liability) perlu diinterpretasikan ulang atau bahkan diperbarui agar relevan dengan teknologi AI. Beberapa pertanyaan muncul:
- Apakah AI harus dianggap sebagai "produk" yang bisa digugat produsennya?
- Sejauh mana rumah sakit bertanggung jawab atas implementasi dan pengawasan AI?
- Bagaimana dengan dokter yang mengandalkan AI? Apakah standar perawatan mereka berubah?
Kekosongan hukum ini bukan cuma bikin pusing para ahli, tapi juga menciptakan ketidakpastian yang bisa menghambat inovasi AI itu sendiri.
Kalau pengembang AI takut digugat habis-habisan, mereka mungkin jadi ragu untuk mengembangkan teknologi yang sebenarnya sangat potensial.
Mencari Jalan Keluar di Tengah Ketidakpastian
Meski rumit, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Para ahli menyarankan beberapa langkah untuk mengatasi masalah penentuan tanggung jawab ini:
- Regulasi dan Standar yang Jelas: Pemerintah dan badan regulasi perlu segera membuat kerangka hukum yang spesifik untuk AI medis. Ini termasuk standar kualitas data, proses pengembangan, validasi, dan implementasi AI.
- Transparansi AI (Explainable AI - XAI): Pengembang harus berusaha membuat AI yang lebih transparan, di mana keputusan yang diambil bisa dijelaskan secara logis dan mudah dipahami oleh manusia. Ini akan membantu identifikasi titik kesalahan.
- Sertifikasi dan Akreditasi: Mirip seperti obat-obatan atau alat medis, sistem AI medis harus melewati proses sertifikasi dan akreditasi yang ketat sebelum boleh digunakan di fasilitas kesehatan.
- Pelatihan dan Edukasi: Dokter dan staf medis harus mendapatkan pelatihan yang memadai tentang cara kerja, batasan, dan etika penggunaan AI. Mereka harus paham kapan harus percaya pada AI dan kapan harus meragukannya.
- Asuransi Khusus: Perusahaan asuransi mungkin perlu menciptakan produk asuransi baru yang menanggung risiko terkait kesalahan AI, baik untuk pengembang, penyedia layanan kesehatan, maupun pasien.
- Audit Independen: Sistem AI medis harus secara berkala diaudit oleh pihak ketiga yang independen untuk memastikan kinerja dan keamanannya.
AI medis memang menjanjikan banyak hal baik untuk masa depan kesehatan. Namun, masalah penentuan kesalahan dan tanggung jawab ini adalah ganjalan serius yang tidak bisa diabaikan.
Perlu kolaborasi erat antara pembuat kebijakan, pengembang teknologi, penyedia layanan kesehatan, dan ahli hukum untuk menciptakan ekosistem AI medis yang aman, etis, dan akuntabel. Dengan begitu, inovasi bisa terus berjalan tanpa mengorbankan hak dan keselamatan pasien.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0