Buku Harian Mendiang Sahabatku Mengungkap Kisah Kelam yang Menghantui
VOXBLICK.COM - Kepergian Maya adalah luka menganga yang tak pernah bisa kututup. Ia pergi mendadak, tanpa peringatan, meninggalkan kekosongan yang menyesakkan. Seminggu setelah pemakamannya yang diselimuti kabut kesedihan, aku memberanikan diri membereskan kamarnya. Setiap sentuhan pada barang-barang miliknya terasa seperti sengatan listrik, membangkitkan kenangan yang seharusnya bisa membahagiakan, namun kini hanya menyisakan perih. Di bawah tumpukan sketsa dan buku-buku usang, sebuah buku bersampul kulit tua dengan kunci gembok kecil menarik perhatianku. Buku harian mendiang sahabatku.
Aku tahu, membaca buku harian orang lain adalah pelanggaran privasi yang tak termaafkan. Tapi ini Maya. Sahabatku.
Dan ada sesuatu dalam tatapan terakhirnya yang tak pernah bisa kulupakan &ndash ketakutan yang dalam, seolah ia ingin mengatakan sesuatu, namun terbungkam. Rasa ingin tahu, bercampur dengan kebutuhan untuk memahami, mendorong tanganku membuka gembok usang itu. Halaman-halaman kuning kecoklatan membentang, dipenuhi tulisan tangan Maya yang rapi namun kini terasa asing, menyimpan rahasia yang mungkin tak pernah ia ingin kubaca.
Bisikan di Balik Dinding Kamar
Entri-entri awal berbicara tentang hal-hal biasa: kuliah, kencan yang gagal, impian-impian masa depan. Namun, di pertengahan buku, nada mulai berubah.
Ada paragraf-paragraf yang menyinggung tentang perasaan diawasi, bisikan samar di malam hari, dan bayangan yang bergerak di sudut mata. Awalnya, aku menganggapnya sebagai imajinasi Maya yang memang sering kali berlebihan, atau mungkin stres karena skripsinya. Tapi kemudian, ia menuliskan tentang sebuah kisah kelam yang ia dengar dari neneknya, tentang sebuah entitas yang memakan kesedihan. Entitas yang katanya hanya muncul pada mereka yang hatinya dipenuhi duka dan penyesalan mendalam.
Jejak Kegelapan yang Menghantui
Maya mulai mendokumentasikan kejadian-kejadian aneh yang semakin intens. Lampu berkedip tanpa sebab, suara langkah kaki di lantai atas padahal ia sendirian di rumah, dan bau aneh seperti tanah basah yang muncul tiba-tiba di kamarnya.
Yang paling mengerikan adalah ketika ia menulis tentang mimpi buruk yang berulang, di mana ia selalu terbangun dengan rasa tercekik dan melihat bayangan hitam pekat berdiri di samping tempat tidurnya, mengawasinya. Ia mulai percaya bahwa ada sesuatu yang mengikutinya, sesuatu yang tertarik pada kesedihan dan rasa bersalah yang ia rasakan. Dalam satu entri, ia bahkan menyebutkan sebuah perjanjian yang ia buat tanpa sadar, mencoba menukarkan kesedihannya dengan harapan palsu yang kini terasa seperti jebakan.
Ketika Mimpi Menjadi Nyata
Ketegangan dalam tulisannya semakin terasa. Ada halaman yang coret-coretannya begitu kacau, nyaris tidak terbaca, seolah ia menulis dalam kepanikan yang luar biasa.
Ia menginginkanku, bunyi salah satu baris yang masih bisa kubaca, Ia ingin mengambil semua yang kumiliki, jiwaku, hidupku. Ia mulai merasa energinya terkuras, tubuhnya sering sakit tanpa alasan medis, dan pikirannya dipenuhi paranoia. Ada beberapa halaman yang kosong, diikuti oleh entri yang ditulis dengan tinta yang berbeda, seolah ditulis tergesa-gesa di tengah malam yang gelap, dengan tangan gemetar. Aku melihatnya di cermin. Wajahku, tapi bukan aku. Matanya kosong, menghisap semua cahaya. Ini bukan aku lagi. Kematian mendadak Maya, yang dokter sebut sebagai serangan jantung, kini terasa begitu janggal. Apakah ini bukan sekadar penyakit? Apakah ini ulah entitas yang ia tulis?
Bayangan di Sudut Mataku
Aku menutup buku harian itu, jantungku berdegup kencang, berpacu seperti genderang perang. Udara di kamarku terasa dingin, menusuk hingga ke tulang, seolah ada sesuatu yang mengawasiku dari bayangan.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya khayalanku, efek dari membaca cerita horor yang ditulis sahabatku. Tapi kemudian, aku mendengar bisikan. Samar, seperti suara angin yang membawa desah napas, namun jelas menyebut namaku. Aku menoleh cepat ke sudut ruangan, dan untuk sepersekian detik, aku bersumpah melihat bayangan hitam pekat itu, sama persis seperti yang Maya gambarkan dalam buku hariannya. Rasa dingin merayapi tulang punggungku, dan aku menyadari bahwa membaca buku harian mendiang sahabatku mungkin adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kisah kelam itu, yang seharusnya terkubur bersamanya, kini telah menemukan inang baru. Aku adalah inang itu. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata, aku melihat bayangan itu, dan suara bisikan itu semakin jelas, semakin dekat. Pagi harinya, aku terbangun dengan rasa tercekik, dan di samping tempat tidurku, di lantai, tergeletak sebuah buku. Buku harian mendiang sahabatku yang sudah kukunci rapat di laci meja.
Aku menatap buku itu, lalu ke arah cermin di dinding. Wajahku pucat, mataku sembab karena kurang tidur. Namun ada sesuatu yang berbeda. Sebuah bayangan samar, seperti kabut tipis, terlihat di balik pantulan diriku.
Sebuah senyuman kecil, dingin, terbentuk di sudut bibirku yang bukan senyumanku. Aku merasakan dinginnya kehadiran itu, merayap masuk ke dalam diriku, seolah ia telah menemukan tempat tinggal baru. Aku adalah saksi terakhir dari kisah kelam yang menghantui, dan kini, aku adalah bagian darinya. Dan bisikan itu, ia terus memanggilku, membisikkan janji-janji kosong, menarikku lebih dalam ke jurang kegelapan yang sama dengan Maya. Aku tahu, aku tidak bisa lari. Aku tidak akan pernah bisa lari. Karena bagaimana bisa aku lari dari diriku sendiri?
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0