Horor Jalanan Malam! Sopir Truk Diberi Tiga Aturan Melawan Entitas

VOXBLICK.COM - Deru mesin diesel adalah satu-satunya teman setia di tengah keheningan yang memekakkan. Jalanan lintas provinsi, membentang panjang seperti urat nadi yang tak berujung di bawah selimut malam yang pekat. Aku, seorang sopir truk yang sudah makan asam garam aspal, mengira sudah melihat segalanya. Dari kabut tebal yang menipu mata hingga binatang liar yang melintas tiba-tiba. Namun, malam itu, di kilometer ke sekian dari entah di mana, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Sebuah hawa dingin merayap dari balik jok kulit, bukan dingin AC, melainkan dingin yang menusuk tulang rusuk, seolah ada mata yang mengawasi dari kegelapan di luar sana.
Awalnya, aku mengabaikannya. Mungkin hanya kelelahan, efek kopi pahit yang sudah tak mempan lagi. Tapi kemudian, pantulan di kaca spion mulai bermain-main.
Sekilas, seperti bayangan tinggi kurus melintas di antara pepohonan yang gelap gulita di pinggir jalan. Aku mengerjap, menggosok mata, dan bayangan itu lenyap. Jantungku berdebar lebih cepat, namun aku berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi. Sampai sebuah suara parau, seperti bisikan yang tersaring dari frekuensi radio CB yang kacau, menyapa.
"Bravo satu, ini Echo lima. Anda tidak sendirian di sana, kawan. Dengar baik-baik, atau malam ini akan jadi yang terakhir." Suara itu serak, dipenuhi statis, namun setiap kata terasa seperti es yang menetes di sarafku.
Aku mencoba membalas, "Echo lima, ini Bravo satu. Ada apa, sobat? Jalurmu bersih?" Tidak ada jawaban. Hanya desisan. Dan kemudian, suara itu kembali, lebih jelas, lebih mendesak, seolah berbicara langsung ke telingaku, bukan melalui radio.

Peringatan dari Frekuensi Misterius
Suara di radio CB itu tidak peduli dengan pertanyaanku. Ia langsung pada intinya, memberikan serangkaian instruksi yang aneh, yang terasa seperti sebuah mantra kuno daripada pesan darurat biasa. "Ada tiga aturan, Bravo satu.
Tiga aturan yang harus kau patuhi jika ingin melihat matahari esok. Mereka ada di sana, di jalanan sepi ini, menunggu kelalaian. Mereka adalah entitas yang tidak punya nama, hanya lapar."
Aku mencengkeram kemudi, keringat dingin membasahi pelipis. Ini bukan lelucon. Nada suaranya terlalu serius, terlalu putus asa. Dan di saat itu juga, sekelebat bayangan hitam pekat melintas di samping trukku, tepat di jendela samping pengemudi.
Hanya sepersekian detik, namun aku bisa melihatnya: bentuk humanoid yang tinggi, kurus, dengan mata yang bersinar merah menyala di tengah kegelapan. Jantungku berpacu seperti ingin meloncat keluar dari dada. Aku tahu, apa pun itu, ini nyata. Ini adalah horor jalanan malam yang sesungguhnya.
Suara itu melanjutkan, lebih tenang sekarang, seolah tahu aku sudah ketakutan setengah mati dan siap mendengarkan. "Aturan pertama: Jangan pernah melihat langsung ke bayangan itu. Jika ia muncul di sampingmu, tatap lurus ke depan.
Jangan berkedip, jangan menoleh. Anggap ia tidak ada. Mereka benci diakui."
Bayangan itu masih ada di sana, di luar jendela, bergerak sejajar dengan trukku yang melaju kencang. Aku bisa merasakannya, keberadaannya yang dingin dan menekan.
Dengan sekuat tenaga, aku memaksa mataku tetap terpaku pada garis aspal di depanku, pada cahaya lampu jauh yang menembus kegelapan. Aku menggigit bibirku hingga terasa asin, menahan diri untuk tidak melirik. Aturan pertama. Jangan melihat.
Tiga Aturan Melawan Entitas
Suara di CB itu jeda sejenak, seolah memberiku waktu untuk mencerna kengerian yang baru saja terjadi. Kemudian, ia melanjutkan dengan aturan kedua. "Aturan kedua: Jangan pernah berhenti. Apa pun yang terjadi, jangan pernah menghentikan trukmu.
Mereka akan mencoba menggodamu, menakutimu untuk berhenti. Suara anak kecil menangis, wanita berteriak, ban pecah, lampu mati. Itu semua tipuan. Tetaplah melaju. Kecepatan adalah perisaimu."
Baru saja suara itu selesai, radio CB-ku mulai mengeluarkan suara aneh. Bukan statis, melainkan seperti suara tangisan bayi yang samar, kemudian berubah menjadi jeritan perempuan yang melengking.
Lampu indikator di dasbor mulai berkedip-kedip tidak karuan, dan aku bersumpah mendengar suara ‘desis’ dari ban belakang, seolah ada sesuatu yang mengirisnya. Aku tahu itu tipuan. Aku tahu. Tapi insting untuk berhenti dan memeriksa begitu kuat, begitu memohon. Aku memejamkan mata sesaat, menggenggam kemudi lebih erat, dan menginjak gas lebih dalam. Trukku meraung, melaju kencang, menembus ilusi suara dan cahaya yang menakutkan itu.
"Aturan ketiga," suara itu berbisik, kini terdengar sangat dekat, seolah ia duduk di kursi penumpang di sampingku. "Jika mereka berhasil masuk ke dalam kabin, jangan pernah berbicara. Jangan membuat suara apa pun.
Bahkan napasmu pun jangan sampai terdengar. Jika kau berbicara, kau mengakui keberadaan mereka, dan saat itu, kau adalah milik mereka. Diam adalah satu-satunya perlawananmu."
Aturan ketiga itu membuat bulu kudukku berdiri. Masuk ke dalam kabin? Bagaimana mungkin? Pintu terkunci rapat, jendela tertutup. Namun, saat aku memikirkan itu, sebuah sentuhan dingin seperti jari yang panjang dan kurus menyentuh bahu kiriku.
Aku hampir menjerit. Aku hampir menoleh. Tapi aku ingat. Jangan berbicara. Jangan membuat suara. Aku menahan napas, otot-ototku menegang. Aku bisa merasakan keberadaannya di belakangku, dingin dan menghimpit. Bau tanah basah dan besi berkarat memenuhi kabin. Aku hanya bisa mengemudi, menatap jalan di depan, berdoa agar malam ini segera berakhir.
Malam yang Tak Berujung
Sejak malam itu, setiap perjalanan malam di jalanan sepi menjadi medan perang. Aku selalu waspada, mataku terpaku ke depan, telingaku peka terhadap setiap desisan di radio CB. Bayangan itu, entitas tanpa nama itu, sering muncul.
Kadang di samping truk, kadang melesat di depan, bahkan sesekali aku merasakan sentuhannya di bahu atau rambutku. Setiap kali itu terjadi, tiga aturan itu terngiang-ngiang di benakku, menjadi satu-satunya jaminan nyawaku.
Aku sudah melewati banyak malam, dan aku masih hidup. Namun, harga yang harus kubayar adalah kewarasan. Aku tidak bisa lagi tidur nyenyak. Setiap suara kecil membuatku terlonjak. Aku selalu merasa diawasi, bahkan di siang bolong.
Aku tahu mereka belum pergi. Mereka hanya menunggu. Menunggu satu saja kesalahan, satu saja kelalaian, satu saja lengah dari kepatuhan pada tiga aturan itu.
Malam ini, aku kembali di jalan yang sama. Lampu jauh membelah kegelapan. Radio CB-ku sunyi. Terlalu sunyi. Dan kemudian, aku melihatnya lagi. Bayangan itu, tinggi dan kurus, muncul di samping trukku, bergerak sejajar.
Kali ini, ia tidak menoleh, tetapi aku bisa merasakan pandangannya menembus kaca, langsung ke dalam diriku. Aku tatap lurus ke depan, mencengkeram kemudi. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Di kaca spion, di antara pantulan lampu belakang, aku melihat pantulan lain. Pantulan sebuah truk, persis seperti milikku, melaju di belakangku. Dan di kursi pengemudi truk itu, aku melihat diriku sendiri, dengan mata merah menyala, tersenyum sinis. Di radio CB-ku yang sunyi, sebuah suara parau terdengar, bukan dari luar, melainkan dari dalam kepalaku: "Bravo satu, ini Echo lima. Kau sudah melanggar aturan, kawan. Kau melihatku."
Apa Reaksi Anda?






