Jangan Pernah Masuk Rumah Sempurna di Tengah Hutan

VOXBLICK.COM - Hutan itu selalu punya caranya sendiri untuk memanggil. Bukan dengan suara gemerisik daun yang biasa, tapi dengan bisikan-bisikan halus yang menyelusup ke dalam benak, menjanjikan rahasia, atau mungkin, sebuah petaka. Kami, tiga sekawan yang selalu haus akan petualangan, merasa terpanggil olehnya. Kami telah mendengar banyak kisah, legenda urban yang beredar di kalangan pendaki dan pemburu lokal. Namun, satu cerita selalu menonjol, sebuah peringatan yang diucapkan dengan nada bergetar: "Jangan pernah masuk rumah sempurna di tengah hutan."
Perjalanan kami dimulai dengan semangat membara, menembus belantara yang semakin lama semakin pekat. Pepohonan menjulang tinggi seolah ingin menyentuh langit, akarnya melilit tanah seperti urat-urat raksasa.
Udara lembap dan berat, dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Setiap langkah membawa kami lebih dalam, menjauh dari peradaban, menjauh dari segala yang kami kenal. Bisikan tentang rumah itu mulai terasa nyata. Beberapa menyebutnya sebagai jebakan, yang lain mengklaim itu adalah tempat bersemayamnya entitas kuno, sesuatu yang bukan dari dunia kita. Rasa penasaran kami bercampur dengan kecemasan yang perlahan merayap.

Penampakan yang Mustahil
Dan kemudian, kami melihatnya. Bukan melalui celah pepohonan yang merenggang, melainkan seolah hutan itu sendiri sengaja membuka tirainya. Sebuah rumah. Bukan gubuk reyot yang kami harapkan di tengah hutan belantara. Ini adalah sebuah rumah sempurna.
Catnya masih baru, berwarna krem lembut yang kontras dengan hijaunya lumut di sekelilingnya. Jendela-jendela kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari sore yang menembus kanopi hutan. Tamannya rapi, bunga-bunga bermekaran seolah baru saja disiram, tanpa sedikit pun daun kering atau ranting patah. Di tengah belantara yang begitu liar dan tak tersentuh, rumah ini adalah sebuah anomali yang mencolok, sebuah ilusi yang terlalu nyata untuk dipercaya. Terisolasi dari dunia luar, ia berdiri tegak, memancarkan aura yang aneh, mengundang sekaligus menakutkan.
Kami mendekat perlahan, langkah kaki kami teredam oleh lapisan tebal dedaunan kering. Udara di sekitar rumah itu terasa berbeda, dingin dan membeku, seolah waktu berhenti di sana.
Tidak ada suara burung, tidak ada dengungan serangga, hanya keheningan yang memekakkan telinga. Kesempurnaan itu sendiri terasa seperti ancaman. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang fundamental tidak pada tempatnya. Rian, yang biasanya paling berani, menelan ludah. "Ini... tidak mungkin," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Aku mengangguk, jantungku berdegup kencang. Kami mencoba pintu depan. Tidak terkunci. Sebuah undangan terbuka, atau mungkin, sebuah perangkap.
Keheningan yang Membekukan
Melangkah masuk, kami disambut oleh keheningan yang lebih berat dari yang kami rasakan di luar. Interior rumah itu juga sama menakjubkannya dengan eksteriornya. Furnitur kayu jati tertata rapi, tidak ada debu sedikit pun.
Vas bunga di meja ruang tamu berisi bunga lili putih yang masih segar, memancarkan aroma manis yang menusuk indra. Di atas meja kopi, ada secangkir teh yang masih mengepulkan uap tipis, seolah baru saja ditinggalkan beberapa saat yang lalu. Terlalu sempurna, terlalu siap. Siapa yang tinggal di sini? Mengapa semua begitu... siap? Rumah ini terasa seperti dihidupkan, namun pada saat yang sama, terasa kosong, tanpa jiwa.
Kami berpencar, memeriksa setiap ruangan. Dapur bersih mengkilap, kamar tidur rapi dengan seprai terlipat sempurna, kamar mandi berkilau tanpa noda. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang biasa.
Tidak ada baju kotor, tidak ada piring bekas pakai, tidak ada jejak kaki di lantai yang mengkilap. Kisah-kisah menyeramkan yang kami dengar mulai terasa bukan lagi sekadar bualan. Ini bukan rumah kosong. Ini rumah yang menunggu. Menunggu siapa? Atau, apa yang menanti kami di dalamnya?
Cermin yang Berbisik
Di salah satu kamar tidur utama, kami menemukan cermin antik berukuran besar dengan bingkai ukiran rumit. Aku mendekat, melihat pantulanku sendiri yang pucat di permukaannya. Di belakangku, Rian dan Angga berdiri membeku.
Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut mataku, sebuah bayangan tipis yang menghilang secepat ia muncul. Aku menoleh, tidak ada apa-apa di belakangku. Hanya dinding kamar yang kosong. Rian, yang berdiri di sampingku, meraih lenganku dengan cengkeraman dingin. "Kau melihatnya juga?" bisiknya, matanya melebar. "Di cermin... ada sesuatu di belakangku."
Aku menatap cermin itu lagi. Pantulan kami bertiga terlihat jelas. Tapi kali ini, aku melihatnya. Di belakang Rian, di kedalaman pantulan cermin, ada sebuah siluet samar, nyaris transparan, berdiri tegak. Itu bukan pantulan kami.
Itu adalah sosok yang tinggi dan kurus, dengan mata gelap tak berdasar yang seolah menatap langsung ke dalam jiwaku. Sosok itu tidak ada di ruangan fisik kami, hanya di cermin. Ketakutan murni mencengkeramku, membuatku tak bisa bergerak, tak bisa berteriak. Jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di dadaku.
Saat kami bertiga terpaku, menatap kengerian di dalam cermin, kesempurnaan rumah itu mulai retak. Sebuah bisikan samar, hampir tak terdengar, mulai terdengar dari dinding, dari lantai, dari udara di sekitar kami. Itu bukan angin.
Itu adalah rumah itu sendiri, bernapas. Secangkir teh di meja ruang tamu, yang tadinya mengepulkan uap, perlahan, sangat perlahan, bergeser beberapa milimeter. Lalu, pintu depan yang kami biarkan sedikit terbuka, perlahan namun pasti, berayun menutup. Suara ‘klik’ pelan terdengar, seolah kuncinya terkunci. Kami tidak pernah melihat pintu itu memiliki kunci. Dan kami tidak pernah lagi melihat dunia luar.
Apa Reaksi Anda?






