Rahasia Mengerikan di Jalan Raya yang Tak Pernah Ada

VOXBLICK.COM - Roda trukku berderak pelan, menembus kabut malam yang menebal di jalan raya itu. Lampu-lampu depan menyorot aspal retak, sementara radio di dasbor hanya mengeluarkan desis statis. Malam itu, aku dan tiga sopir lain – Pak Darto, Yadi, dan si pendiam bernama Roy – menerima rute aneh dari kantor: “Lewatkan Jalan Raya 17, jangan berhenti sampai pelabuhan.” Katanya, itu jalur tercepat, tapi tak ada yang pernah mendengar nama jalan itu sebelumnya.
Aku menoleh ke kaca spion, melihat lampu-lampu truk mereka mengikutiku rapat. Malam semakin pekat, dan hawa dingin merayap masuk meski jendela sudah rapat tertutup.
Di luar, hutan di kiri kanan terasa terlalu gelap, seolah menahan sesuatu yang tak ingin kami lihat. Jalanan terasa asing, padahal aku sopir berpengalaman. Tak ada papan nama, tak ada lampu jalan – hanya garis putih yang seakan memudar di balik kabut.

Perjalanan Tanpa Ujung di Jalan Raya Misterius
Waktu terasa melambat. Aku melirik jam tangan, jarumnya tetap di angka dua belas. “Pak Darto, ada yang aneh nggak sih?” tanyaku lewat radio. Suaranya terdengar gemetar, “Aku rasa kita muter-muter di tempat yang sama, le.
” Roy menimpali, “Jangan berhenti. Jangan lihat ke cermin.” Ucapan Roy membuat bulu kudukku berdiri. Siapa yang mengajarinya berkata begitu?
Kabut makin tebal. Jalanan yang tadinya lurus, tiba-tiba berbelok tajam tanpa tanda. Aku nyaris menabrak pohon besar di pinggir jalan. Di kaca, aku menangkap bayangan samar di antara pepohonan.
Ada sosok-sosok berdiri diam, seolah menatap truk kami berlalu. Nafasku tercekat. Aku mencoba fokus ke depan, tapi suara-suara bisik lirih mulai terdengar dari kabin belakang.
Rahasia Rekan-Rekan di Balik Stir
Setiap sopir membawa rahasia. Aku tahu Pak Darto pernah mengalami kecelakaan di rute yang sama, tapi katanya tak pernah ada jalan seperti ini. Yadi, si kocak, kini membisu.
Radio menyalakan suara beratnya, “Kalau ada yang manggil nama kalian, jangan jawab.” Kami semua terdiam. Hanya Roy yang tetap tenang, tatapannya kosong menatap aspal gelap.
- Pak Darto: Pernah kehilangan penumpang di malam hujan, tak pernah ditemukan.
- Yadi: Sering melihat bayangan di belakang truk, katanya itu penumpang gelap.
- Roy: Tak pernah bicara tentang masa lalunya, tapi selalu tahu lebih dulu tentang bahaya.
Entah siapa yang memulai, tapi suara tawa lirih tiba-tiba terdengar di radio, bukan suara kami. Aku menoleh ke spion, dan melihat siluet duduk di kursi belakang kabin. Aku tahu kabinku kosong sejak berangkat. Nafasku memburu.
Bayangan di Kaca Spion
Jalan raya misterius itu terus saja seperti tak berujung. Aku mencoba menekan pedal gas, tapi semakin cepat aku melaju, semakin jauh jalanan terbentang. Di kejauhan, lampu merah menyala, padahal tak ada persimpangan.
Radio kembali berbunyi, suara perempuan memanggil namaku dengan lirih. “Jangan jawab,” suara Roy mengingatkan. Tanganku gemetar di atas setir.
Kami akhirnya berhenti. Bukan karena ingin, tapi truk-truk kami mendadak mogok bersamaan. Kabut turun lebih pekat, menelan suara mesin dan cahaya lampu. Di luar kaca, sosok-sosok putih mulai mendekat, berbaris di sepanjang jalan.
Wajah mereka kabur, tapi matanya menatap tajam ke arah kami.
Pak Darto mengetuk jendela, matanya merah. “Kita nggak akan pernah keluar dari sini, kan?” Yadi menangis, sementara Roy tersenyum aneh. Aku menutup mata, berharap semua ini mimpi buruk.
Tapi suara bisikan di telingaku makin keras, seolah menuntut sesuatu yang tak pernah aku pahami.
Jalan Raya yang Tak Pernah Ada
Pagi tak kunjung datang. Handphone kami mati. Tak ada sinyal. Kami terjebak di tengah jalan raya yang tak pernah ada, bersama rahasia yang tak pernah bisa kami buang. Di luar, suara langkah perlahan semakin mendekat ke pintu kabin.
Aku berani bersumpah, suara itu membawa bau tanah basah dan bisikan kenangan yang ingin dilupakan.
Di antara kabut, aku melihat Roy keluar dari truk tanpa ragu, berjalan ke arah sosok-sosok itu. Ia menoleh ke arah kami, tersenyum tipis, lalu menghilang begitu saja. Pintu trukku tiba-tiba terbuka, dan udara dingin menyapu wajahku.
Aku ingin berteriak, tapi suara itu menahan di tenggorokan.
Katanya, tak seorang pun pernah keluar dari Jalan Raya 17. Tapi malam itu, aku tahu, kami bukan yang pertama – dan bukan yang terakhir.
Apa Reaksi Anda?






