Mereka Berhasil Mematikan Rasa Lapar Tapi Kini Tak Ada yang Makan

Oleh VOXBLICK

Senin, 13 Oktober 2025 - 04.45 WIB
Mereka Berhasil Mematikan Rasa Lapar Tapi Kini Tak Ada yang Makan
Eksperimen hilangkan rasa lapar (Foto oleh Zak Chapman)

VOXBLICK.COM - Aku masih ingat aroma roti panggang setiap pagi di Kota Lestari, sebelum semuanya berubah. Dulu, suara perut keroncongan adalah tanda kehidupantanda bahwa tubuh butuh asupan, bahwa hari harus dijalani dengan semangat. Tapi sejak para ilmuwan di kota ini menemukan cara mematikan rasa lapar, segala ritual makan pagi, siang, dan malam menguap begitu saja. Awalnya, kami merasa diberkati. Beban mencari makan hilang, waktu luang bertambah. Tapi siapa sangka, kenyamanan itu berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah kami bayangkan.

Kota Lestari kini sunyi. Pabrik makanan tutup, aroma sedap dari dapur-dapur warga menghilang. Anak-anak tak lagi merengek minta camilan. Kami hanya duduk, diam, dan menatap kosong ke luar jendela, seolah menanti sesuatu yang tak jelas.

Aku, Andra, seorang pekerja kantoran, mulai merasakan ada yang salah ketika satu per satu rekan di lantai kerjaku tak lagi muncul. Awalnya, kabar mereka pindah kota. Lalu, rumor-rumor aneh beredarmereka menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa pamit.

Mereka Berhasil Mematikan Rasa Lapar Tapi Kini Tak Ada yang Makan
Mereka Berhasil Mematikan Rasa Lapar Tapi Kini Tak Ada yang Makan (Foto oleh Erik Mclean)

Hari-hari Tanpa Rasa Lapar

Setiap pagi, aku bangun tanpa keinginan untuk sarapan. Tak ada dorongan untuk membuka kulkas atau memasak. Tubuhku terasa ringan tapi aneh, seperti berjalan dengan autopilot.

Ibuku yang dulu sering memasak gulai kesukaanku, kini hanya duduk menatap kosong ke luar jendela. Kami hampir tak pernah berbicara soal makanan.

Semua orang di kota ini menjadi seperti bayangan dari dirinya sendiri. Mereka:

  • Tidak pernah mengeluh lapar
  • Tidak tertarik pada makanan apa pun
  • Mulai kehilangan minat pada hal-hal kecil yang dulu membahagiakan

Kami berusaha menjalani hidup seperti biasa, tapi suasana kota perlahan berubah jadi mencekam. Tidak ada suara gelak tawa dari warung makan, tidak ada aroma bumbu yang menguar di jalanan.

Hanya sunyi dan tatapan kosong di setiap sudut kota, seolah ada sesuatu yang diam-diam mengintai kami semua.

Menghilang Satu per Satu

Pada malam-malam tertentu, aku mendengar suara langkah kaki di lorong apartemen. Suara itu berat, pelan, dan selalu berhenti di depan pintu tetanggaku. Esok paginya, pintu itu terbuka, lampu menyala, tapi sang penghuni sudah tak ada.

Barang-barang mereka masih utuh, dompet dan telepon genggam tertinggal. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Hanya sepasang sandal yang tertata rapi di depan pintu.

Warga mulai berbisik soal “Bayangan Kelaparan”sebuah siluet hitam yang muncul di malam hari, mencari korban yang terlalu lama menahan lapar.

Tapi bukankah kami semua sudah tidak lapar lagi? Bukankah itu tujuan eksperimen ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, membuatku sulit tidur setiap malam.

Dialog Terakhir

Suatu malam, aku memberanikan diri bertanya pada ibuku saat kami duduk berdua di ruang tamu yang remang.

“Bu, apa Ibu tidak merasa ada yang aneh sejak kita tak pernah lapar?”
Ibuku tak menjawab, hanya menatapku dengan mata sayu.


“Andra, kadang sesuatu yang dihilangkan dari diri manusia justru yang paling berbahaya…”
“Apa maksud Ibu?”
Ia hanya tersenyum tipis, lalu menoleh ke jendela. “Dengarkan. Malam ini, jangan buka pintu, berapa kali pun ada yang mengetuk.”

Dan malam itu, pintu apartemen kami digedor perlahan. Suara napas berat terdengar jelas, seperti seseorang yang sangat lapar. Tapi aku tahu, jika aku buka pintu itu, aku tidak akan pernah kembali.

Aku duduk diam, menahan napas, berharap sosok itu pergi. Namun, suara langkah kaki justru semakin mendekat… dan tiba-tiba…

Tak Ada yang Makan, Tak Ada yang Kembali

Hari-hari berlalu, semakin sedikit orang yang tersisa. Kota Lestari kini lebih sepi daripada kuburan. Mereka yang mencoba meninggalkan kota, tak pernah sampai ke tujuan. Aku dan ibuku hanya menghitung hari, menunggu giliran.

Rasa lapar memang telah mati, tapi kini kami tahu, ada sesuatu yang lebih buas dari rasa lapar sedang menunggu kami di balik pintu.

Suatu malam, aku terbangun mendengar suara ibuku menangis pelan. Saat aku mencarinya, hanya ada jejak langkah menuju pintu yang terbuka sedikit. Aku lihat sekelebat bayangan hitam melintas cepat, lalu sunyi kembali.

Aku menutup pintu dengan tangan gemetar, menyadari aku kini benar-benar sendirian di kota ini.

Dan malam ini, pintu apartemenku kembali diketuk. Suaranya lebih pelan, lebih sabar, seolah tahu aku tak punya tempat lagi untuk bersembunyi.

Aku menahan napas, menutup matatapi pintu itu perlahan terbuka sendiri, seolah mengundang sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang dari kota ini. Di balik pintu, hanya ada kegelapan dan suara perut keroncongan yang tak pernah benar-benar mati…

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0