Misteri Kesurupan Massal di Indonesia Antara Histeria dan Gangguan Gaib

VOXBLICK.COM - Suasana pagi di sebuah sekolah menengah atas di Jawa Tengah terasa normal, hingga sebuah jeritan melengking memecah keheningan dari sudut koridor lantai dua. Satu siswi jatuh ke lantai, tubuhnya kejang dengan tatapan kosong. Dalam hitungan menit, jeritan itu menular.
Satu per satu, siswi lain di sekitarnya mulai menunjukkan gejala serupa, menangis, berteriak, dan meracau dengan bahasa yang tak dimengerti. Guru-guru panik, para siswa berlarian ketakutan, dan sekolah yang tadinya tenang berubah menjadi panggung drama horor.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai kesurupan massal, bukanlah adegan dalam film, melainkan sebuah realitas kelam yang berulang kali terjadi di berbagai penjuru Indonesia, dari pabrik garmen yang padat hingga institusi pendidikan yang terhormat. Peristiwa ini menjadi sebuah misteri Indonesia yang terus menghantui, memaksa kita bertanya, apa yang sebenarnya terjadi di balik tatapan kosong dan jeritan histeris itu?
Jejak Kelam yang Terus Berulang: Panggung Kesurupan Massal di Nusantara
Kisah kesurupan massal bukanlah hal baru di Indonesia. Catatan sejarah dan arsip berita menunjukkan bahwa fenomena ini telah menjadi bagian dari lanskap sosial dan budaya selama beberapa dekade, jika tidak lebih lama.Pabrik-pabrik di kawasan industri sering menjadi lokasi utama, di mana para pekerja, mayoritas perempuan muda, tiba-tiba mengalami trance secara bersamaan. Sekolah, terutama asrama, juga menjadi titik panas yang sering dilaporkan. Pola yang berulang ini menciptakan semacam legenda urban modern, sebuah narasi yang ditakuti sekaligus dinanti.
Setiap kali terjadi, berita menyebar dengan cepat, diperkuat oleh media sosial, menciptakan gelombang kepanikan dan rasa ingin tahu. Ini bukan sekadar cerita hantu, melainkan sebuah krisis nyata yang melumpuhkan aktivitas dan meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya.
Fenomena ini begitu mengakar sehingga sering kali dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya lokal, di mana batas antara dunia nyata dan dunia gaib terasa begitu tipis.
Kisah-kisah ini diwariskan dari mulut ke mulut, membangun sebuah narasi kolektif bahwa ada kekuatan tak kasat mata yang bisa mengambil alih kendali kapan saja, terutama di tempat-tempat yang dianggap 'angker' atau saat norma sosial dilanggar.
Di Balik Jeritan: Analisis dari Lensa Psikologi
Sementara masyarakat sering kali langsung menyimpulkan adanya campur tangan makhluk halus, para ahli psikologi menawarkan penjelasan yang berakar pada kondisi kejiwaan manusia. Dari sudut pandang psikologis, kesurupan massal sering kali diidentifikasi sebagai bentuk Mass Psychogenic Illness (MPI) atau yang lebih dikenal sebagai histeria kolektif.Ini adalah fenomena di mana sekelompok orang secara bersamaan menunjukkan gejala fisik atau emosional yang sama, meskipun tidak ada penyebab medis yang jelas. Gejala ini menyebar dengan cepat melalui sugesti dan penularan sosial dalam lingkungan yang tertutup dan penuh tekanan.
Histeria Kolektif dan Akumulasi Stres
Lingkungan seperti pabrik dengan jam kerja panjang, upah rendah, dan tekanan target yang tinggi, atau sekolah dengan tuntutan akademis yang berat, menjadi lahan subur bagi berkembangnya histeria kolektif. Menurut Galang Lufityanto, S.Psi., M.A., Ph.D., seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), fenomena ini sering kali dipicu oleh stres yang terakumulasi.Dalam wawancaranya yang dipublikasikan di situs resmi UGM, ia menjelaskan bahwa ketika seseorang berada di bawah tekanan berat dan tidak memiliki mekanisme pelepasan yang sehat, tubuh dan pikiran dapat merespons secara ekstrem. Individu pertama yang mengalami gejala, yang mungkin memiliki kerentanan psikologis tertentu, bertindak sebagai pemicu.
Jeritan atau perilaku anehnya menjadi sinyal bahaya bagi orang lain di sekitarnya yang juga merasakan tekanan serupa. Ini adalah bentuk ledakan emosi yang tak terkendali, sebuah katarsis massal dari tekanan batin yang selama ini terpendam. Aspek kesehatan mental menjadi kunci untuk memahami mengapa beberapa kelompok lebih rentan terhadap fenomena psikologis ini.
Peran Media dan Efek Domino Sosial
Penularan histeria kolektif dipercepat oleh apa yang disebut sebagai efek domino atau penularan sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang sangat mudah dipengaruhi oleh perilaku orang lain, terutama dalam situasi yang ambigu dan menakutkan. Ketika satu orang berteriak, orang lain yang sudah berada dalam kondisi cemas akan secara tidak sadar meniru reaksi tersebut.Media, baik tradisional maupun sosial, juga memainkan peran penting. Peliputan yang sensasional dan dramatis dapat memperkuat keyakinan bahwa peristiwa tersebut disebabkan oleh kekuatan supranatural, yang pada gilirannya meningkatkan kecemasan di komunitas lain dan membuat mereka lebih rentan mengalami hal serupa.
Narasi gaib yang disebarkan luas menciptakan ekspektasi budaya, di mana 'kesurupan' menjadi kerangka yang diterima untuk mengekspresikan tekanan psikologis yang ekstrem. Dengan demikian, fenomena psikologis ini bukan hanya soal individu, tetapi juga dinamika kelompok dan pengaruh lingkungan sosial yang lebih luas.
Gema Dunia Gaib: Sudut Pandang Spiritual dan Budaya
Terlepas dari penjelasan ilmiah yang kuat, sudut pandang spiritual dan budaya tetap menjadi interpretasi dominan di tengah masyarakat Indonesia. Bagi banyak orang, kesurupan massal adalah bukti nyata dari eksistensi dunia gaib yang hidup berdampingan dengan manusia.Keyakinan ini tidak muncul dari ruang hampa, melainkan berakar kuat pada sistem kepercayaan animisme dan dinamisme pra-Islam yang masih berpengaruh hingga kini, yang kemudian berakulturasi dengan ajaran agama-agama besar.
Ketika Batas Alam Terganggu
Dari sudut pandang spiritual, kesurupan massal terjadi ketika 'penghuni' tak kasat mata dari suatu tempat merasa terganggu oleh aktivitas manusia.Pembangunan gedung baru, penebangan pohon besar, atau perilaku tidak sopan di lokasi yang dianggap keramat sering kali disebut sebagai pemicu. Dalam kerangka ini, roh atau jin memasuki tubuh manusia yang 'kosong' atau lemah secara spiritual sebagai bentuk teguran atau balas dendam.
Penanganannya pun tidak melibatkan psikolog, melainkan pemuka agama, dukun, atau 'orang pintar' yang melakukan ritual pengusiran (ruqyah atau eksorsisme) untuk menenangkan entitas gaib dan memulihkan keseimbangan. Interpretasi ini memberikan rasa kontrol dan pemahaman dalam situasi yang kacau. Menyalahkan entitas gaib lebih mudah diterima daripada menghadapi masalah kompleks seperti kondisi kerja yang buruk atau tekanan kesehatan mental.
Ini adalah bagian dari budaya lokal yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap misteri Indonesia.
Teriakan yang Tak Terdengar: Sebuah Protes Sosial?
Beberapa antropolog dan sosiolog menawarkan perspektif yang menjembatani antara penjelasan psikologis dan budaya. Mereka melihat kesurupan massal, terutama di kalangan perempuan pekerja pabrik, sebagai bentuk perlawanan simbolis yang tidak disadari.Dalam budaya patriarki di mana suara perempuan sering kali dibungkam, 'kesurupan' menjadi satu-satunya cara yang dapat diterima secara sosial untuk mengekspresikan penderitaan, protes terhadap eksploitasi, dan penolakan terhadap kondisi kerja yang tidak manusiawi. Antropolog Aihwa Ong, dalam studinya tentang pekerja pabrik di Malaysia, menggambarkannya sebagai "bahasa perlawanan" dari kelompok yang tidak berdaya.
Saat kesurupan, seorang perempuan bisa berteriak, mengumpat, dan menantang otoritas (seperti mandor pabrik) tanpa harus menanggung konsekuensi sosial, karena tindakannya dianggap bukan berasal dari dirinya sendiri. Dengan demikian, fenomena psikologis ini juga memiliki dimensi sosial-politik yang mendalam, sebuah teriakan kolektif dari mereka yang suaranya tak pernah didengar.
Studi Kasus: Saat Sekolah dan Pabrik Menjadi Panggung
Bayangkan sebuah pabrik garmen di pinggiran Jakarta. Ribuan pekerja, mayoritas perempuan muda dari desa, duduk berjejer di bawah lampu neon yang berdengung. Mereka bekerja mengejar target produksi yang mustahil dengan upah minim. Suatu siang, seorang pekerja bernama Siti tiba-tiba pingsan.Ketika sadar, ia mulai berbicara dengan suara serak dan berat, mengaku sebagai 'penunggu' pabrik yang marah karena tempatnya diusik. Dalam sekejap, kepanikan menyebar. Rekan di sebelahnya mulai menangis histeris, diikuti oleh puluhan lainnya di barisan yang sama. Produksi berhenti total. Manajemen memanggil seorang ustadz untuk memimpin doa bersama. Setelah beberapa jam yang menegangkan, situasi mereda, namun ketakutan tetap membekas.
Kasus seperti ini adalah pola umum dari kesurupan massal. Pemicunya sering kali sepele, seperti bau aneh, penampakan bayangan, atau sekadar satu orang yang kelelahan. Namun, dalam lingkungan yang sudah matang dengan stres dan kecemasan, pemicu kecil ini cukup untuk menyulut api histeria kolektif.
Narasi gaib menyediakan penjelasan yang siap pakai, sementara akar masalahnya, yaitu kondisi kerja yang eksploitatif, sering kali terabaikan. Ini adalah cerminan dari bagaimana misteri Indonesia sering kali berkelindan dengan isu-isu sosial yang nyata.
Mencari Titik Temu: Dialog Antara Sains dan Iman
Jadi, apakah kesurupan massal murni fenomena psikologis ataukah sebuah peristiwa spiritual?Mempertentangkan keduanya mungkin bukan pendekatan yang paling bijaksana. Realitasnya, bagi individu yang mengalaminya, pengalaman itu terasa sangat nyata. Rasa sakit, ketakutan, dan perasaan kehilangan kontrol bukanlah ilusi. Pendekatan yang lebih holistik mulai dipertimbangkan, di mana sains dan spiritualitas tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.
Seorang psikolog mungkin dapat membantu individu mengelola stres dan trauma pasca-peristiwa, sementara seorang pemimpin spiritual dapat memberikan ketenangan dan pemulihan iman sesuai dengan sistem kepercayaan yang dianut. Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh antropolog medis seperti Robert Lemelson, menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks budaya dalam menangani gangguan mental.
Karyanya, termasuk dalam film dokumenter seperti "Shadows and Sunlight", menyoroti bagaimana pengalaman psikologis diekspresikan dan dipahami secara berbeda di Bali dibandingkan dengan di Barat. Penting untuk diingat bahwa setiap kasus memiliki konteks unik, dan interpretasi atas fenomena ini bisa sangat bervariasi tergantung pada latar belakang individu dan komunitas.
Mengabaikan sudut pandang spiritual sama saja dengan mengabaikan realitas yang dihayati oleh jutaan orang, sementara menolak penjelasan ilmiah berarti menutup mata terhadap faktor-faktor pemicu yang sebenarnya bisa diatasi, seperti perbaikan kondisi kerja dan dukungan kesehatan mental. Fenomena kesurupan massal akan terus menjadi salah satu misteri Indonesia yang paling memikat sekaligus meresahkan.
Ia adalah cermin dari masyarakat kita, sebuah panggung di mana tekanan psikologis, ketidakadilan sosial, dan keyakinan spiritual yang mendalam bertemu dalam sebuah ledakan dramatis.
Daripada hanya terpaku pada pertanyaan 'nyata atau tidak', mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan adalah: 'Pesan apa yang coba disampaikan oleh jeritan-jeritan ini?' Mungkin di balik setiap episode kesurupan massal, ada kisah tentang stres yang tak terucap, beban hidup yang terlalu berat, dan kebutuhan mendesak akan empati serta perubahan.
Memahaminya bukan berarti menghilangkan misterinya, tetapi memberi kita kesempatan untuk melihat manusia di balik 'monster' yang merasukinya, dan mungkin, menemukan solusi yang lebih manusiawi daripada sekadar ritual pengusiran.
Apa Reaksi Anda?






