Penerbangan Terkutuk Bosnia Kisah Kehilangan Mencekam di Angkasa

VOXBLICK.COM - Malam itu, dinginnya udara Bosnia menusuk tulang, namun hatiku hangat. Istriku, Elara, memeluk erat putra kami, Emir, yang tertidur pulas di pangkuannya. Kami di bandara, siap untuk penerbangan yang seharusnya membawa kami menuju masa depan yang lebih cerah, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang kelam. Sebuah penerbangan dari Sarajevo menuju suatu tempat yang tak perlu kusebutkan, karena tempat itu kini hanya ada dalam mimpi burukku. Aku masih bisa merasakan hembusan napas Elara di leherku, aroma parfumnya yang lembut, dan bobot Emir yang mungil. Semua terasa begitu nyata, begitu hidup, hingga kini. Jika saja aku tahu, jika saja aku bisa memutar waktu, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di pesawat itu. Penerbangan Terkutuk Bosnia, begitulah aku menyebutnya sekarang, sebuah kisah kehilangan mencekam yang mengoyak jiwaku.
Ada sesuatu yang aneh sejak kami tiba di gerbang. Suasana hening yang tidak wajar, bahkan untuk jam selarut itu. Para penumpang lain tampak murung, seolah membawa beban tak kasat mata.
Pramugari yang menyambut kami di pintu pesawat memiliki senyum yang terlalu lebar, terlalu kaku, seperti topeng. Matanya kosong. Aku mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya kelelahanku. Elara menggenggam tanganku, merasakan kegelisahanku. "Tidak apa-apa, sayang," bisiknya, "Kita akan segera sampai." Namun, suaranya sendiri terdengar ragu, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Begitu kami duduk, aku merasa dingin yang aneh, menembus jaketku. Bukan dingin AC, tapi dingin yang lebih dalam, yang merayap dari lantai kabin. Emir menggeliat dalam tidurnya, seolah merasakan hal yang sama.
Aku mencoba menenangkan diri, memejamkan mata sejenak, membayangkan tawa Emir saat kami tiba. Namun, setiap kali aku melakukannya, bayangan itu buyar, digantikan oleh bisikan-bisikan samar yang seolah datang dari balik dinding pesawat. Bisikan-bisikan itu bukan dalam bahasa yang kukenal, tapi nadanya sarat dengan kesedihan, atau mungkin, kemarahan. Penerbangan ini mulai terasa seperti sebuah perangkap, bukan sebuah perjalanan.

Saat Malam Menelan Cahaya
Mesin pesawat menderu, roda-roda terangkat dari landasan. Cahaya kota Sarajevo perlahan mengecil di bawah kami, digantikan oleh kegelapan pekat langit malam.
Di ketinggian, bisikan-bisikan itu semakin jelas, seolah ada banyak suara yang saling bertindihan. Aku menoleh ke Elara, wajahnya pucat. "Kau dengar itu?" tanyanya, suaranya bergetar. Aku mengangguk, mencoba meyakinkannya bahwa itu mungkin hanya suara mesin atau angin. Tapi kami berdua tahu itu bukan. Lalu, tiba-tiba, lampu kabin berkedip-kedip liar, sebelum padam sepenuhnya. Jeritan tertahan terdengar dari beberapa penumpang. Kegelapan menyelimuti kami, hanya menyisakan cahaya redup dari lampu darurat yang berkelap-kelip menyeramkan.
Dalam kegelapan itu, aku meraih tangan Elara, mencoba meraba-raba Emir. Tangan Elara dingin, gemetar. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat. "Emir?" bisiknya, panik. Aku mencoba menjawab, tapi tenggorokanku tercekat.
Lalu, kurasakan sebuah tarikan yang kuat, bukan pada diriku, tapi seolah-olah sesuatu ditarik menjauh dariku. Sebuah hembusan angin dingin yang menusuk, seolah-olah jendela terbuka di ketinggian ribuan kaki. Aku berteriak, memanggil nama Elara, nama Emir. Kegelapan itu terasa begitu padat, begitu menekan. Ketika lampu kembali menyala, hanya beberapa detik kemudian, dunia yang kukenal telah runtuh. Kursi di sampingku kosong. Sabuk pengaman Elara terlepas, seolah ia baru saja berdiri. Selimut yang tadi menyelimuti Emir tergeletak di lantai, dingin dan kosong. Mereka tidak ada. Istri dan anakku, lenyap.
Misteri yang Menggigit Jiwa
Kepanikan meledak. Aku berteriak, menunjuk kursi kosong. Pramugari berlarian, mencoba menenangkan penumpang yang lain. Tapi tidak ada yang percaya padaku.
Mereka bilang aku berhalusinasi, bahwa Elara dan Emir pasti pergi ke toilet atau ke bagian lain pesawat. Tapi aku tahu, aku tahu mereka tidak. Bagaimana mungkin dua orang bisa menghilang begitu saja di dalam kabin pesawat yang tertutup rapat, di tengah penerbangan? Tidak ada pintu yang terbuka, tidak ada turbulensi yang ekstrem. Hanya kegelapan sesaat, hembusan angin dingin, dan kemudian kekosongan. Misteri tak terpecahkan ini menggigit jiwaku, setiap hari, setiap malam.
Pencarian dilakukan. Setiap sudut pesawat diperiksa. Tidak ada jejak. Tidak ada petunjuk. Pihak berwenang mengklaim tidak ada bukti apa pun. Tidak ada penumpang yang melihat Elara atau Emir meninggalkan kursi mereka.
Rekaman CCTV (jika ada) entah kenapa tidak menunjukkan apa-apa di saat kritis itu. Mereka menyimpulkan bahwa aku mungkin mengalami stres pasca-trauma, atau kelelahan ekstrem. Bahkan ada yang berani menyebutku gila. Tapi aku tahu apa yang kulihat, atau lebih tepatnya, apa yang tidak kulihat setelah lampu kembali menyala. Teror menghantui setiap sudut pikiranku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa mereka? Penerbangan yang mengubah segalanya itu telah mencabut segalanya dariku.
Bayangan yang Tak Pernah Pergi
Sejak malam terkutuk itu, hidupku adalah neraka. Setiap suara angin, setiap kedipan lampu, setiap bayangan yang melintas, mengingatkanku pada hilangnya mereka.
Aku sering terbangun di tengah malam, mendengar bisikan-bisikan yang sama, bisikan dari pesawat itu. Kadang, aku merasa Elara dan Emir ada di dekatku, aroma parfum Elara yang samar, atau tawa kecil Emir yang hanya bisa kudengar dalam keheningan. Orang-orang menyuruhku move on, mencari penutupan. Tapi bagaimana bisa ada penutupan ketika tidak ada jawaban? Kisah kehilangan mencekam ini bukan hanya tentang apa yang terjadi di angkasa, tapi juga tentang apa yang terjadi pada diriku setelahnya.
Aku tahu, banyak yang tak percaya. Mereka menganggap ini hanya cerita mengerikan dari Bosnia, sebuah urban legend yang lahir dari kesedihan. Tapi aku tahu kebenarannya. Aku merasakannya.
Dan terkadang, di malam yang paling gelap, ketika aku sendirian, aku melihatnya. Bukan hantu, bukan bayangan. Tapi seringai di wajah pramugari itu, yang terlalu lebar, terlalu kaku, terpantul di cermin. Dan di belakangnya, di kejauhan, dua sosok kecil yang melambai, perlahan menghilang ke dalam kegelapan. Mereka tidak pergi, mereka hanya diambil. Dan aku tahu, suatu hari nanti, bisikan-bisikan itu akan datang lagi, dan mungkin, aku akan menjadi yang berikutnya. Siapkah Anda menghadapi kebenaran di balik hilangnya mereka? Aku tidak. Tapi aku tidak punya pilihan.
Apa Reaksi Anda?






