Langkah Kaki Keenam, Teror Tak Terlihat Mengikuti di Hutan

Oleh VOXBLICK

Selasa, 21 Oktober 2025 - 00.55 WIB
Langkah Kaki Keenam, Teror Tak Terlihat Mengikuti di Hutan
Langkah keenam menghantui pendaki. (Foto oleh Rachel Claire)

VOXBLICK.COM - Aroma tanah basah dan daun-daun kering segera menyambut kami begitu kami melangkah masuk ke dalam rerimbunan hutan. Lima pasang mata penuh semangat, lima pasung ransel yang berisi bekal dan harapan, siap menaklukkan jalur pendakian Gunung Merapi yang terkenal menantang. Aku, bersama Arya, Bima, Citra, dan Dewi, adalah tim petualang yang sudah sering menjelajah. Kali ini, kami memilih jalur yang jarang dilalui, mencari ketenangan dan tantangan yang berbeda.

Pagi itu cerah, kicauan burung menjadi orkestra alami yang mengiringi setiap langkah kaki kami. Obrolan ringan dan tawa riang memenuhi udara, memecah kesunyian hutan yang masih terasa bersahabat.

Kami berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk mengagumi keindahan alam atau sekadar mengambil napas. Namun, seiring waktu, senja mulai merayap, membawa serta dingin yang menusuk dan bayang-bayang panjang yang menari-nari di antara pepohonan.

Langkah Kaki Keenam, Teror Tak Terlihat Mengikuti di Hutan
Langkah Kaki Keenam, Teror Tak Terlihat Mengikuti di Hutan (Foto oleh Tobi)

Bisikan Hutan dan Sebuah Kejanggalan

Ketika kami mulai mencari tempat untuk mendirikan tenda, sebuah keanehan mulai terasa. Aku mendengar sesuatu. Bukan suara angin, bukan gemerisik daun yang diinjak binatang, melainkan suara langkah kaki.

Langkah yang berat, teratur, persis seperti langkah manusia. Awalnya, aku mengira itu salah satu dari kami, mungkin Arya yang berjalan sedikit di belakang. Tapi ketika aku menoleh, Arya persis di sampingku, sibuk membuka tali ranselnya.

"Kalian dengar itu?" tanyaku, mencoba terdengar santai, namun ada nada gelisah yang tak bisa kututupi. Bima mendongak. "Dengar apa? Cuma suara jangkrik, kan?" Dewi mengangguk. "Iya, kenapa, Rio?" Aku menggeleng. "Bukan. Seperti ada... langkah kaki.

" Citra tertawa kecil. "Mungkin kamu terlalu lelah, Rio. Hutan ini memang bisa bikin imajinasi liar."

Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanya efek kelelahan atau mungkin angin yang mempermainkan dedaunan. Kami mendirikan tenda, menyalakan api unggun, dan menikmati makan malam sederhana.

Cerita-cerita lucu mulai mengalir, mencoba mengusir dingin dan kegelapan yang perlahan menyelimuti kami. Namun, di antara tawa dan obrolan, aku kembali mendengarnya. Kali ini lebih jelas. Satu... dua... tiga... empat... lima... dan... enam. Enam langkah kaki. Kami berlima. Lalu siapa yang keenam?

Teror Tak Terlihat yang Mengikuti

Malam itu, tidurku tidak nyenyak. Setiap kali aku hampir terlelap, suara itu kembali. Langkah kaki keenam. Ia terdengar dari luar tenda, mengelilingi kami, seolah-olah sebuah entitas tak terlihat sedang mengawasi.

Aku menahan napas, berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi suara itu nyata, ritmis, dan semakin mendekat. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri, jantungku berdegup kencang.

Pagi harinya, wajah kami semua terlihat lesu. Arya, yang biasanya paling ceria, tampak murung. "Kalian dengar sesuatu semalam?" tanyanya, suaranya pelan. Kami saling pandang. Dewi mengangguk pelan. "Suara langkah kaki," bisiknya.

"Seperti ada yang berjalan di sekitar tenda kita." Bima menghela napas. "Aku kira cuma aku yang dengar. Aku hitung, ada enam langkah. Tapi kita kan cuma berlima."

Kini kami semua merasakan hal yang sama. Ketakutan yang samar-samar semalam kini berubah menjadi kecemasan yang nyata. Kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan.

Setiap langkah kaki yang kami ayunkan kini terasa berat, disertai rasa was-was. Suara langkah kaki keenam itu tidak pernah hilang. Ia mengikuti kami, persis di belakang, terkadang di samping, seolah-olah ia adalah bagian dari rombongan kami.

Desa Terpencil dan Kisah yang Mencekam

Kami mempercepat langkah, berharap bisa mencapai desa terdekat sebelum gelap kembali. Hutan terasa semakin pekat, aura mistisnya semakin kuat. Setiap bayangan seolah menyembunyikan sesuatu, setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak jelas.

Ketika kami akhirnya tiba di sebuah desa terpencil di kaki gunung, napas kami terengah-engah, namun rasa lega membanjiri kami.

Di sebuah warung sederhana, kami memesan teh hangat dan mencoba menenangkan diri. Seorang nenek tua pemilik warung, dengan tatapan mata yang dalam, memperhatikan kami. "Kalian dari hutan itu, ya?" tanyanya, suaranya serak. Kami mengangguk.

"Hutan itu... tidak suka keramaian," lanjutnya pelan. "Terutama jika ada yang mencoba mengganggu ketenangan penghuninya." "Penghuni?" tanya Citra, ragu-ragu. Nenek itu mengangguk. "Ada yang bilang, itu adalah arwah pendaki yang tersesat. Mereka mencari teman untuk menemani mereka selamanya. Mereka akan mengikuti, langkah demi langkah, sampai menemukan celah."

Kami terdiam, teh hangat di tangan terasa dingin. Kisah nyata dari nenek itu seolah mengkonfirmasi teror tak terlihat yang kami alami. Langkah kaki keenam itu... bukanlah imajinasi.

Jejak yang Tak Pernah Hilang

Kami memutuskan untuk tidak kembali ke hutan, memilih jalur yang lebih aman untuk pulang. Namun, perjalanan pulang kami tidak terasa lebih ringan. Setiap dari kami masih bisa merasakan keberadaan itu.

Suara langkah kaki keenam itu tidak hilang begitu saja ketika kami meninggalkan hutan belantara. Ia masih ada, di belakang kami, di samping kami, bahkan ketika kami sudah berada di jalan raya yang ramai.

Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya trauma, sisa-sisa ketakutan dari pengalaman di hutan. Tapi bagaimana menjelaskan ketika aku sedang sendirian di rumah, dan aku mendengar suara langkah kaki itu lagi? Satu... dua... tiga... empat... lima..

. dan... enam. Keenam. Persis di belakangku. Aku menoleh, tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu terus mengikuti, setiap kali aku melangkah. Ia tidak pernah pergi. Ia ada di sini, bersamaku, sekarang.

Mungkin ia tidak mencari teman untuk di hutan. Mungkin ia mencari teman untuk di mana pun aku berada. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, atau kapan langkah kaki keenam itu akan berhenti hanya menjadi suara.

Yang jelas, teror tak terlihat ini telah menjadi bagian dari hidupku, sebuah bayangan abadi yang menghantui setiap jejak yang kutorehkan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0