Teror Suara Malam, Ketika 'Snap Scrape Thud' Menghantui Rumah

VOXBLICK.COM - Kegelapan malam selalu memiliki rahasianya sendiri. Bagi sebagian orang, ia adalah selimut kedamaian bagi yang lain, kanvas bagi imajinasi terliar. Namun, bagiku, ia adalah panggung. Panggung bagi teror suara malam yang paling mengerikan, sebuah simfoni bisikan dari kegelapan yang tak pernah bisa kujelaskan. Ini bukan sekadar suara rumah yang berderit atau angin yang menderu. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih pribadi, jauh lebih mengancam, sebuah pola yang berulang: Snap Scrape Thud.
Awalnya, aku mengabaikannya. Sebuah "snap" kecil, seperti ranting kering yang patah di halaman belakang, atau mungkin engsel pintu yang menua. Kemudian, sebuah "scrape" samar, seolah sesuatu terseret di atas permukaan kasar, mungkin dahan pohon yang bergesekan dengan dinding. Dan akhirnya, "thud" yang pelan namun pasti, seperti jatuhnya buah busuk dari pohon, atau benda tumpul yang membentur tanah lembap. Malam pertama, aku meyakinkan diriku bahwa itu hanya imajinasiku, kelelahan setelah hari yang panjang, atau sekadar misteri kecil yang tak berarti dari rumah tua ini.
Namun, suara-suara itu tidak berhenti. Mereka datang setiap malam, dengan interval yang tidak menentu, namun selalu mengikuti urutan yang sama: snap, scrape, thud. Mereka menjadi soundtrack menakutkan bagi kesendirianku. Setiap kali kegelapan menyelimuti, aku merasa bisikan teror itu mulai mengintai, perlahan membangun ketegangan yang menyesakkan di dadaku. Rumah yang dulunya adalah tempat perlindunganku, kini terasa seperti sangkar yang perlahan mengecil, dindingnya menekan, dan setiap bayangan menari dengan potensi ancaman.

Ritual Malam yang Menyesakkan
Aku mulai mengembangkan rutinitas baru. Setelah mematikan lampu, alih-alih langsung tidur, aku akan berbaring di tempat tidur, tegang, menunggu. Menunggu "snap" pertama yang akan merobek kesunyian. Jantungku berdebar kencang setiap kali mendengar suara itu. Kemudian datang "scrape", yang selalu terasa lebih dekat dari yang sebelumnya, seolah sesuatu sedang diseret perlahan melintasi lantai kayu di suatu tempat, atau mungkin di luar jendela kamarku. Dan akhirnya, "thud" – sebuah dentuman yang lebih berat, lebih final, seolah menandai akhir dari sebuah tindakan yang tak terlihat.
Malam demi malam, pola itu berulang. Tidak ada yang pernah tahu betapa melelahkannya menunggu teror yang kau tahu akan datang, namun tidak pernah bisa kau lihat. Rasa kantukku terkalahkan oleh adrenalin. Mataku seringkali bengkak karena kurang tidur, dan lingkaran hitam di bawahnya menjadi saksi bisu dari teror suara malam yang tak berkesudahan ini. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya tikus, atau rakun, atau mungkin hanya rumah tua ini yang berbicara. Namun, hatiku tahu, jauh di lubuk sanubari, bahwa ini lebih dari sekadar aktivitas hewan pengerat atau pergeseran fondasi. Ini adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang memiliki tujuan.
Mencari Jejak di Antara Bayangan
Keputusasaan mendorongku untuk bertindak. Aku mulai melakukan inspeksi. Setiap pagi, dengan senter di tangan dan bulu kuduk yang masih merinding dari malam sebelumnya, aku akan memeriksa setiap sudut rumah. Aku mulai dari taman belakang, mencari ranting patah atau jejak kaki aneh. Nihil. Lalu ke loteng, mencari tanda-tanda hewan pengerat atau kerusakan atap. Tidak ada. Aku memeriksa ruang bawah tanah yang lembap, setiap celah di fondasi, setiap jendela yang mungkin longgar. Aku bahkan memasang kamera gerak kecil di beberapa titik, berharap menangkap pelaku tak kasat mata dari Snap Scrape Thud ini.
Namun, rekaman kamera selalu kosong, taman tetap rapi, dan rumah tetap sunyi tanpa jejak apapun yang bisa menjelaskan suara-suara itu. Frustrasiku tumbuh menjadi ketakutan yang mendalam. Bagaimana mungkin sesuatu bisa begitu nyata, begitu konsisten, namun tidak meninggalkan bukti fisik sama sekali? Apakah aku gila? Apakah rumah ini benar-benar menghantui rumah ini, ataukah itu hanya pikiran-pikiran gelapku sendiri yang berwujud suara?
Bisikan Teror yang Semakin Dekat
Suatu malam, teror itu mencapai puncaknya. "Snap" itu terdengar tepat di bawah jendela kamarku, begitu jelas seolah seseorang mematahkan sesuatu di sana.
"Scrape" itu mengikuti, terdengar seperti gesekan kuku-kuku panjang di dinding luar, bergerak perlahan ke arah pintu belakang. Dan "thud"... kali ini, itu bukan lagi dentuman pelan. Itu adalah sebuah "BRAK!" yang menggelegar, seolah sesuatu yang berat dan besar baru saja dibanting ke tanah, tepat di teras belakangku. Aku melompat dari tempat tidur, jantungku berdegup kencang hingga terasa sakit.
Aku berlari ke jendela, mengintip dari balik tirai. Kegelapan pekat menyelimuti halaman. Tidak ada apa-apa. Tidak ada gerakan, tidak ada bayangan, hanya keheningan yang memekakkan telinga setelah ledakan suara itu. Aku berdiri di sana untuk waktu yang lama, gemetar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Kemudian, aku mendengar suara lain, sebuah suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya, sebuah suara yang membuatku kaku di tempat.
Itu adalah suara napas. Berat, serak, dan sangat, sangat dekat. Suara itu berasal dari dalam rumah. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tidak berani bergerak, tidak berani bernapas.
Napas itu terdengar seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan berat, atau mungkin baru saja selesai menyeret sesuatu yang sangat berat. Dan kemudian, sebuah suara kecil, seperti gesekan kain di lantai, bergerak perlahan dari lorong menuju kamarku. Aku mendengar snap kecil yang lain, bukan di luar, tapi kali ini, dari dalam lemariku. Dan kemudian, scrape yang sangat pelan, seolah sesuatu sedang diseret di dalam sana, menuju sudut tergelap. Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa berteriak. Aku hanya bisa mendengar. Dan menunggu thud yang tak terelakkan.
Namun, thud itu tidak pernah datang. Sebagai gantinya, keheningan total kembali menyelimuti. Aku menunggu, menit demi menit, yang terasa seperti keabadian. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku tahu aku harus memeriksa, aku harus tahu.
Dengan keberanian yang entah datang dari mana, aku mengulurkan tangan, meraih gagang pintu lemari, dan menariknya terbuka. Di dalamnya, tidak ada apa-apa. Hanya tumpukan pakaianku yang rapi. Tetapi di atas tumpukan kemeja putihku, tergeletak sebuah benda. Sebuah benda yang tidak pernah ada di sana sebelumnya. Sebuah benda yang seharusnya tidak pernah ada di dalam rumahku. Sebuah gigi. Gigi manusia, dengan akarnya yang kotor, tampak baru saja tercabut. Dan di sampingnya, sebuah pesan, ditulis dengan sesuatu yang gelap dan kental, di atas selembar kertas yang anehnya, adalah salah satu fotoku yang lama: "Giliranmu."
Apa Reaksi Anda?






