Di Balik Dinding Katakombe Paris Ada Sesuatu yang Mengawasiku

Oleh VOXBLICK

Rabu, 22 Oktober 2025 - 04.40 WIB
Di Balik Dinding Katakombe Paris Ada Sesuatu yang Mengawasiku
Misteri gelap Katakombe Paris (Foto oleh Fernanda W. Corso)

VOXBLICK.COM - Aroma lembap tanah dan debu berusia berabad-abad langsung menyergap saat kami melangkah melewati gerbang besi tempa yang berat. Di atas, langit Paris yang cerah seakan tak pernah terjangkau, digantikan oleh kegelapan pekat yang menelan kami. Ini bukan kunjungan wisata biasa. Ini adalah perjalanan ke kedalaman Katakombe Paris, sebuah labirin bawah tanah yang menyimpan jutaan jiwa, dan bagi sebagian orang, rahasia yang seharusnya tetap terkubur.

Aku dan dua temanku, Leo dan Maya, selalu punya ketertarikan pada hal-hal yang mengerikan. Katakombe ini, dengan dinding tulang belulang yang menjulang, adalah puncak dari semua petualangan kami. Kami telah mendengar bisik-bisik, cerita-cerita yang beredar di kalangan "urban explorer" tentang lorong-lorong terlarang, tentang sesuatu yang mengawasi dari balik setiap celah. Tentu saja, kami menganggapnya hanya sebagai bumbu penyedap.

Di Balik Dinding Katakombe Paris Ada Sesuatu yang Mengawasiku
Di Balik Dinding Katakombe Paris Ada Sesuatu yang Mengawasiku (Foto oleh Nikolai Ulltang)

Lampu senter kami menari-nari di atas tumpukan tengkorak dan tulang paha yang tersusun rapi, membentuk pola-pola aneh yang seolah tersenyum dalam keabadian.

Udara dingin merayapi kulit, bukan sekadar dinginnya suhu, melainkan dingin yang menusuk, seolah melewati tabir antara yang hidup dan yang mati. Kami berjalan mengikuti rute yang ditetapkan, melewati plakat-plakat Latin yang mengisyaratkan “Berhentilah! Ini adalah kerajaan kematian.” Awalnya, itu hanya sensasi. Namun, semakin dalam kami melangkah, semakin kuat perasaan itu tumbuh.

Jutaan Mata yang Tak Terlihat

Lorong-lorong sempit dan berliku membuat kami merasa tercekik. Suara napas kami sendiri bergaung, memantul dari dinding tulang belulang yang padat. Aku mulai merasa ada yang aneh. Bukan hanya imajinasiku yang berlebihan, tapi sebuah sensasi nyata, seperti bulu kuduk yang merinding tanpa sebab. Setiap kali aku menoleh ke belakang, sekelebat bayangan seolah menghilang dari ujung pandanganku, atau suara langkah kaki yang bukan milik kami bertiga terdengar samar.

“Kalian dengar itu?” tanya Maya, suaranya sedikit bergetar. Dia berhenti, senternya menyapu kegelapan di belakang kami. “Seperti ada yang menggerutu.”

Leo, yang biasanya paling berani, ikut tegang. “Mungkin cuma gema,” katanya, tapi nada suaranya tidak meyakinkan. Aku sendiri tidak yakin itu gema. Itu terdengar terlalu dekat, terlalu personal.

Seperti bisikan yang tak ingin kami dengar, namun terus-menerus mengusik.

Kami terus berjalan, mencoba mengabaikan perasaan itu. Namun, sesuatu yang mengawasi itu semakin intens. Aku mulai merasakan tekanan di punggungku, seolah sepasang mata tak terlihat menatapku tanpa henti. Di antara tumpukan tengkorak, aku bersumpah melihat beberapa di antaranya seperti memutar rongga matanya, mengikuti gerak-gerik kami. Aku tahu itu tidak masuk akal, tapi di dalam kedalaman Katakombe Paris ini, akal sehat sepertinya tidak berlaku.

Jalan yang Tak Seharusnya

Kami telah mencapai bagian yang lebih dalam, jauh dari keramaian wisatawan. Di sini, udara terasa lebih dingin, dan kelembapan menempel di kulit seperti selimut tipis.

Kami menemukan sebuah celah, tersembunyi di balik tumpukan tulang yang lebih tinggi dari biasanya, yang tidak ada di peta wisata. Sebuah lorong sempit, gelap gulita, dengan tanda samar yang dilukis di dinding: sebuah simbol yang tidak kami kenali.

“Kita tidak seharusnya ke sana,” bisik Maya, tangannya mencengkeram lengan Leo.

“Tapi bagaimana kalau ada sesuatu yang menarik?” kata Leo, matanya berbinar karena rasa ingin tahu yang tak terkendali. Aku merasakan tarikan yang aneh, sebuah dorongan tak terlihat yang memaksaku melangkah maju. Seolah-olah jutaan jiwa di sekitar kami ingin menunjukkan sesuatu.

Dengan sedikit perdebatan, kami menyalakan senter kami dan memasuki lorong itu. Udara di sini berbeda. Lebih pengap, lebih berat, dan berbau sesuatu yang busuk, bukan hanya bau tanah dan tulang. Dinding-dindingnya tidak lagi tersusun rapi.

Tulang-tulang berserakan, beberapa di antaranya terlihat seperti baru saja dipindahkan. Dan di sana, di tengah lorong, kami menemukan sesuatu yang membuat jantung kami mencelos.

Sebuah lingkaran aneh, terbuat dari pecahan tulang belulang yang lebih kecil, terukir di lantai. Di tengah lingkaran itu, ada sebuah tengkorak yang diletakkan terbalik, dengan rongga mata yang kosong menatap ke atas.

Dan di sekelilingnya, ada beberapa benda aneh: sehelai kain usang, sebuah gigi yang terlihat terlalu besar untuk manusia, dan yang paling mengerikan, sebuah kalung perak yang berkarat, dengan liontin berbentuk kunci.

Bisikan dari Kegelapan

Tiba-tiba, senter Leo berkedip-kedip lalu mati total. Kami terdiam, dikelilingi kegelapan yang absolut. Hanya senterku dan Maya yang tersisa, menyoroti lingkaran aneh itu. Aku merasakan napas dingin di leherku, dan kali ini, itu bukan imajinasi.

Aku bisa merasakannya, hembusan lembut yang membuat rambutku berdiri.

“Aku rasa kita harus pergi,” kataku, suaraku nyaris tidak terdengar. Tenggorokanku tercekat. Sesuatu yang mengawasi kami sekarang bukan lagi perasaan, melainkan kehadiran yang nyata, berdiri tepat di belakang kami.

Tiba-tiba, dari kegelapan di luar lingkaran cahaya senter kami, terdengar bisikan. Bukan bisikan manusia.

Itu adalah suara berderak, seperti tulang-tulang yang bergesekan, diselingi dengan desisan panjang yang membuat bulu kudukku merinding sampai ke inti. Tengkorak di tengah lingkaran itu, aku bersumpah, seolah menggeser posisi, sedikit miring, seperti sedang mendengarkan.

“Lari!” teriak Leo, dan kami berbalik, berlari tanpa tujuan di lorong yang gelap itu. Kami tidak tahu ke mana kami pergi, hanya ingin keluar dari sana, jauh dari bisikan tulang dan dinginnya kehadiran yang mengerikan. Kami menabrak dinding, tersandung bebatuan, senter kami berayun liar, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan yang menari-nari di dinding Katakombe Paris.

Kami terus berlari, napas kami tersengal-sengal, sampai akhirnya kami melihat secercah cahaya redup di kejauhan. Itu adalah jalan keluar, entah bagaimana kami berhasil menemukannya.

Kami melesat keluar, terengah-engah, merasakan udara segar Paris membasuh wajah kami yang pucat. Kami tidak berhenti sampai kami berada jauh dari gerbang Katakombe, di tengah keramaian kota.

Kami tidak pernah membicarakan apa yang kami alami di lorong terlarang itu. Leo membuang senternya. Maya tidak mau lagi melihat foto-foto yang sempat kami ambil.

Tapi malam itu, saat aku mencoba tidur, aku merasakan sensasi dingin yang sama di leherku. Aku meraih ponselku dan menyalakannya, menyorotkan cahayanya ke sekitar kamarku. Tidak ada apa-apa.

Namun, saat aku mematikan lampu, aku mendengar bisikan. Bukan bisikan tulang, melainkan bisikan yang lebih halus, lebih dekat. Sebuah suara yang berderak, seolah ada yang mencoba mengatakan sesuatu, tepat di samping telingaku. Aku tidak pernah merasa sendirian lagi sejak saat itu. Aku tahu, sesuatu yang mengawasi kami di kedalaman Katakombe Paris, kini telah mengikutiku pulang. Dan aku tidak tahu apa yang diinginkannya, atau kapan ia akan berhenti hanya dengan berbisik.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0