Benarkah Aku di Kereta Malam Menuju Gerbang Neraka?

Oleh VOXBLICK

Minggu, 19 Oktober 2025 - 02.10 WIB
Benarkah Aku di Kereta Malam Menuju Gerbang Neraka?
Kereta malam menuju neraka. (Foto oleh Boys in Bristol Photography abroad - Lebele Mass)

VOXBLICK.COM - Denting logam beradu rel adalah satu-satunya irama yang mengiringi keheningan di gerbong ini. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir di sini, di kereta malam ini. Ingatanku seperti kepingan kaca yang pecah, hanya menyisakan rasa dingin yang menusuk tulang dan firasat buruk yang merayap di tengkuk. Jendela di sampingku menampilkan pemandangan yang sama: kegelapan pekat yang sesekali diinterupsi oleh siluet pohon-pohon raksasa yang tampak seperti jari-jari kurus meraih ke langit.

Awalnya, aku mengira ini hanyalah mimpi buruk. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Namun, jam di pergelangan tanganku berhenti berdetak, dan waktu seolah kehilangan maknanya.

Setiap stasiun yang kami lewati semakin asing, dengan nama-nama yang tidak pernah kudengar, tertulis dalam aksara yang aneh. Papan nama stasiun itu berkedip-kedip, seolah enggan menampakkan identitas aslinya. Udara di dalam gerbong semakin berat, dipenuhi bau apak yang samar-samar bercampur dengan aroma belerang.

Benarkah Aku di Kereta Malam Menuju Gerbang Neraka?
Benarkah Aku di Kereta Malam Menuju Gerbang Neraka? (Foto oleh Adrien Olichon)

Penghuni Gerbong dan Tatapan Kosong

Aku mencoba mencari jawaban dari penumpang lain. Mereka duduk diam, terpaku pada bangku masing-masing, seolah-olah patung lilin yang menunggu untuk meleleh. Pria tua di seberangku, dengan topi fedora usang yang menutupi sebagian wajahnya, tidak bergerak sedikit pun. Wanita di dekat pintu gerbong menatap kosong ke luar jendela, matanya memantulkan kegelapan yang sama pekatnya dengan malam di luar. Ketika aku memberanikan diri untuk bertanya, "Maaf, apakah Anda tahu tujuan akhir perjalanan kereta misterius ini?", mereka hanya menoleh perlahan. Tatapan mereka, kosong namun entah mengapa terasa begitu berat, seperti menarik jiwaku keluar dari raga.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang lebih dalam, dipecah oleh deru kereta yang tak henti. Aku mulai merasa seperti satu-satunya makhluk hidup di antara para arwah. Keberadaanku di sini terasa anomali, sebuah kesalahan dalam tatanan yang mengerikan. Hawa dingin menusuk semakin dalam, bukan hanya dari suhu, tetapi dari kesadaran bahwa aku sendirian, namun dikelilingi oleh kehadiran yang menakutkan.

Stasiun-Stasiun yang Tak Seharusnya Ada

Setiap kali kereta berhenti, sebuah stasiun baru muncul dari balik kabut. Bukan stasiun dengan hiruk pikuk manusia atau lampu-lampu terang. Ini adalah stasiun-stasiun yang sunyi, diselimuti bayangan, dengan arsitektur yang ganjil dan mengerikan.

Salah satu stasiun memiliki menara jam yang mati, jarumnya membeku pada pukul tiga pagi. Stasiun lain memiliki patung-patung gargoyle yang menganga di setiap sudut, seolah siap menelan siapa pun yang berani melangkah keluar.

  • Stasiun pertama yang aneh: Hanya ada satu bangku panjang yang kosong, berlumuran lumut.
  • Stasiun kedua: Sebuah loket tiket tua yang jendelanya pecah, di dalamnya hanya ada kegelapan.
  • Stasiun ketiga: Deretan lampu gas yang berkedip-kedip, menerangi kabut tebal yang menyelimuti peron.

Tidak ada yang turun, tidak ada yang naik. Kereta selalu melanjutkan perjalanannya, seolah-olah kami terikat pada lintasan yang telah ditentukan, tanpa harapan untuk berhenti. Aku mencoba membuka pintu gerbong, namun terkunci rapat.

Jendela-jendela pun tak bisa dibuka, seolah-olah kami terperangkap dalam sebuah peti mati bergerak.

Sebuah Bisikan dari Kegelapan

Keputusasaan mulai menggerogoti. Aku mencoba memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, di antara deru kereta, aku mulai mendengar bisikan.

Awalnya samar, seperti desiran angin, namun perlahan semakin jelas. Bisikan itu menyebut namaku, memanggilku dengan nada yang dingin dan asing. Bisikan itu datang dari setiap sudut gerbong, dari celah-celah bangku, dari balik tirai jendela yang usang.

"Kau sudah sampai..."

Kata-kata itu berulang, bergema di kepalaku. Aku menoleh ke arah penumpang lain, mencari tahu apakah mereka juga mendengarnya. Tapi mereka tetap diam, patung-patung yang beku dalam keabadian.

Apakah hanya aku yang mendengarnya? Apakah ini adalah tanda kegilaan yang mulai merasukiku?

Tujuan Akhir yang Sebenarnya

Kereta melambat, kali ini bukan di sebuah stasiun. Kami berhenti di sebuah terowongan yang gelap gulita, lebih gelap dari malam mana pun yang pernah kulihat. Udara di sini terasa sangat berat, berbau busuk yang menyengat, mirip dengan bau tanah basah bercampur karat dan sesuatu yang membusuk. Di ujung terowongan, aku melihat cahaya merah samar, berdenyut seperti jantung yang sekarat. Itu bukan cahaya harapan, melainkan cahaya yang mengancam, memanggilku menuju gerbang neraka yang sesungguhnya.

Para penumpang di gerbong mulai bergerak. Perlahan, satu per satu, mereka berdiri. Tatapan kosong mereka kini beralih kepadaku, serempak. Mereka tidak lagi menatap ke luar jendela atau ke kehampaan. Mereka menatapku, seolah-olah aku adalah tujuan akhir dari tiket sekali jalan ini. Wajah mereka, yang tadinya hanya terlihat pucat, kini mulai menunjukkan retakan, seperti porselen tua yang pecah. Dari celah-celah itu, muncul cahaya merah yang sama dengan yang kulihat di ujung terowongan.

Salah satu dari mereka, pria tua dengan topi fedora, mengangkat tangannya yang kurus. Jari-jarinya panjang, kuku-kukunya hitam dan runcing.

Ia menunjuk ke arahku, dan dari mulutnya yang kering, sebuah suara parau keluar, bukan bisikan, melainkan raungan yang mengisi seluruh gerbong.

"Kau adalah penumpang terakhir."

Kereta mulai bergerak lagi, maju perlahan menuju cahaya merah di ujung terowongan. Aku tahu sekarang. Ini bukan mimpi, bukan halusinasi. Aku memang di kereta malam menuju kegelapan abadi, dan aku bukan hanya penumpang, melainkan persembahan. Aku mencoba berteriak, namun suaraku tercekat. Pintu gerbong di depanku terbuka perlahan, menampakkan jurang yang menganga, dipenuhi cahaya merah menyala dan suara jeritan tak berujung. Para penumpang lain mendekat, wajah mereka kini benar-benar hancur, menampakkan api di dalamnya. Mereka adalah penjaga, dan aku, aku adalah tujuan mereka. Kereta terus melaju, dan aku tahu, aku tidak akan pernah sampai di stasiun selanjutnya, karena aku sudah tiba di stasiun terakhir.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0