Misteri Horor Rumah Sakit Terbengkalai Abad 17 Apa yang Sebenarnya Terjadi

VOXBLICK.COM - Angin dingin bulan Oktober menusuk tulang saat kami berdiri di depan gerbang besi berkarat, gerbang menuju keheningan yang menelan cerita. Di baliknya, siluet mengerikan Rumah Sakit Saint Jude menjulang, sebuah monumen bisu dari abad ke-17 yang telah lama ditinggalkan, menyimpan misteri horor rumah sakit terbengkalai abad 17 yang tak pernah terpecahkan. Desas-desus tentang tempat ini telah beredar selama bertahun-tahun, bisikan tentang pasien yang tak pernah sembuh, dokter yang gila, dan bayangan gelap yang masih berkeliaran di antara koridor-koridornya yang gelap. Aku, bersama Rio dan Maya, datang bukan untuk mencari bukti, melainkan untuk merasakan langsung pengalaman mencekam yang konon ditawarkannya. Sebuah keberanian bodoh, mungkin, tetapi rasa penasaran kami lebih kuat dari rasa takut.
Dinding-dindingnya yang kokoh, kini retak dan ditumbuhi lumut, seolah-olah bernapas dengan napas masa lalu yang kelam. Jendela-jendela pecah seperti mata kosong yang menatap langit kelabu, mencerminkan kehampaan di dalamnya. Kami melangkah melampaui gerbang yang menganga, merasakan beratnya sejarah menekan setiap langkah. Udara di sini terasa berbeda, lebih dingin, lebih padat, seolah dipenuhi oleh rintihan dan keputusasaan yang tak terucapkan. Setiap hembusan angin membawa pertanyaan tak terjawab yang menggantung di udara, pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding kuno ini.

Gerbang yang Menganga ke Masa Lalu
Pintu utama, yang dulunya megah, kini hanya tinggal kerangka kayu yang lapuk, mengundang kami masuk ke dalam kegelapan. Aroma apek, debu, dan sesuatu yang lebih busuk – bau karat dan kematian – menyambut indra kami.
Senter kami menari di atas lantai marmer yang pecah, menyoroti puing-puing dan peralatan medis kuno yang berserakan. Sebuah troli roda tiga terbalik di sudut, jarum suntik tua yang berkarat masih menempel di sampingnya. Rasanya seperti melangkah ke dalam mimpi buruk yang terwujud, sebuah kapsul waktu yang membeku di saat-saat terakhirnya. Rio, yang biasanya paling berani, terlihat pucat. Maya mencengkeram lenganku erat, napasnya tertahan.
Kami melangkah perlahan, suara langkah kami bergaung memecah kesunyian yang mencekam. Di dinding-dinding, coretan-coretan usang dan noda-noda gelap menceritakan kisah-kisah bisu. Beberapa di antaranya tampak seperti sidik jari yang membekas, atau bahkan lebih menyeramkan, jejak tangan yang berusaha menggapai sesuatu sebelum akhirnya... menyerah. Udara menjadi semakin berat, seolah setiap sudut menyimpan energi sisa dari penderitaan yang tak terhitung. Kengerian rumah sakit terbengkalai ini bukan hanya dari bayangan atau suara, tapi dari atmosfernya sendiri yang meresap ke dalam jiwa.
Koridor Bisikan dan Bayangan
Kami memutuskan untuk menjelajahi koridor utama terlebih dahulu, yang membentang panjang dan gelap, diapit oleh deretan pintu kamar pasien yang tertutup rapat.
Setiap pintu memiliki nomor yang sudah pudar, dan beberapa di antaranya terbuka sedikit, memperlihatkan kegelapan yang lebih pekat di dalamnya. Tiba-tiba, dari salah satu kamar yang terbuka, terdengar suara seperti bisikan samar. Bukan kata-kata yang jelas, melainkan desahan panjang yang dingin, seolah seseorang baru saja menghembuskan napas terakhir. Kami semua berhenti, jantung berdebar kencang.
- Suara bisikan yang tak jelas dari kamar nomor 12.
- Sensasi dingin yang tiba-tiba melingkupi kami.
- Bayangan sekilas melintas di ujung koridor, terlalu cepat untuk dipastikan.
“Kalian dengar itu?” Maya berbisik, suaranya bergetar. Rio mengangguk kaku, senternya bergetar di tangannya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya angin yang masuk melalui jendela pecah, atau mungkin imajinasi kami yang terlalu liar.
Tapi bisikan itu terasa terlalu nyata, terlalu dekat. Kami melanjutkan perjalanan, kini dengan langkah yang lebih cepat, didorong oleh keinginan aneh untuk menemukan sumber suara itu, atau setidaknya, untuk tidak ditinggalkan sendirian dalam kegelapan yang pekat.
Ruang Operasi Terkutuk
Kami sampai di sebuah ruangan besar di ujung koridor, yang kami duga adalah ruang operasi. Sebuah meja operasi logam berkarat berdiri tegak di tengah, dikelilingi oleh instrumen-instrumen bedah yang menempel pada nampan yang juga berkarat.
Di atas meja, ada noda gelap yang sudah mengering, terlalu besar untuk menjadi noda karat biasa. Senter kami menyoroti dinding, di mana ada tulisan-tulisan aneh yang dicoret dengan sesuatu yang tampak seperti darah kering.
Saat kami mendekat, sebuah sensasi dingin yang luar biasa merambat naik dari kakiku. Udara di ruangan itu terasa tebal, dipenuhi dengan ketegangan yang nyaris bisa dipegang.
Lalu, tanpa peringatan, salah satu instrumen di nampan terjatuh dengan bunyi dentingan keras, memecah keheningan yang mematikan. Kami melompat kaget. Jantungku berpacu seperti genderang perang. Rio mengarahkan senternya ke arah suara, tapi tidak ada apa-apa. Tak ada angin. Tak ada celah. Hanya keheningan yang kembali menelan kami, lebih pekat dari sebelumnya.
“Kita harus pergi,” Rio akhirnya berkata, suaranya serak. Maya sudah menangis pelan. Aku setuju, tapi kakiku terasa terpaku. Pandanganku jatuh pada sebuah loker kecil yang terbuka sebagian di sudut ruangan. Dorongan aneh membuatku mendekat.
Di dalamnya, tergeletak sebuah buku harian tua, sampul kulitnya sudah mengelupas. Aku meraihnya, merasakan getaran dingin saat menyentuhnya. Halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang terburu-buru, sebagian besar tidak bisa dibaca, kecuali satu kalimat di halaman terakhir:
“Mereka tidak pernah pergi. Mereka hanya menunggu.”
Misteri yang Tak Terpecahkan
Kalimat itu membuat darahku mengering. Saat aku mengangkat pandanganku dari buku itu, senterku menangkap pantulan di cermin yang retak di dinding seberang. Bukan bayanganku sendiri, bukan bayangan Rio atau Maya.
Itu adalah siluet seorang wanita, berdiri tepat di belakang Rio, tangan kurusnya terulur seolah ingin menyentuh bahunya. Wajahnya kabur, namun matanyaaku bersumpah aku melihat matanyakosong dan penuh kesedihan. Aku membuka mulut untuk berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Rio berbalik, merasakan sesuatu, tapi wanita itu sudah lenyap.
“Ada apa?” tanyanya, melihat ekspresi horor di wajahku. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menunjuk ke cermin, tapi tidak ada apa-apa di sana selain pantulan kami yang ketakutan. Saat itulah, dari koridor di luar, kami mendengar langkah kaki.
Bukan langkah kami. Lebih berat, lebih lambat, menyeret. Langkah-langkah itu semakin mendekat, berhenti tepat di luar pintu ruang operasi. Kami saling pandang, napas tercekat di tenggorokan. Kemudian, suara itu berbicara, sebuah bisikan serak yang terasa datang dari dalam tanah itu sendiri:
“Selamat datang di rumah kami. Kalian tidak akan pernah bisa pergi.”
Kami tidak menunggu lagi. Dengan panik, kami berlari keluar dari rumah sakit terbengkalai abad ke-17 itu, tidak peduli ke mana arahnya, hanya ingin menjauh dari suara itu, dari bayangan itu, dari misteri tak terpecahkan yang kini terasa menempel di kulit kami. Kami tidak pernah melihat ke belakang, tidak pernah berani. Tapi bahkan setelah kami kembali ke dunia luar, ke cahaya lampu jalan dan suara kota, bisikan itu, wajah di cermin itu, dan janji mengerikan bahwa kami tidak akan pernah bisa pergi, terus menghantuiku. Apakah kami benar-benar berhasil keluar? Atau apakah sebagian dari kami, atau bahkan sesuatu dari sana, ikut pulang bersama kami?
Apa Reaksi Anda?






