Karantina Apartemen Mengerikan: Aku Bukan Manusia yang Dulu, Atau Masih?

VOXBLICK.COM - Dinding apartemen ini, yang dulu terasa seperti pelukan hangat, kini mencekikku. Setiap hari dalam karantina apartemen ini adalah babak baru dalam sebuah drama tanpa akhir, di mana pemeran utamanya adalah aku, dan panggungnya adalah isolasi yang semakin mengikis warasku. Lampu-lampu kota di luar jendela, yang tadinya menenangkan, sekarang tampak seperti mata-mata yang mengawasiku, menunggu sesuatu.
Awalnya, aku berusaha. Aku membaca, menonton film, mencoba resep baru. Tapi hari-hari panjang itu mulai menyatu, membentuk gumpalan waktu yang tak berbentuk. Siang dan malam kehilangan artinya. Aku sering terbangun, tidak yakin apakah aku baru saja tidur dua jam atau dua puluh. Rasa kesendirian ini bukan lagi sekadar emosi ia adalah entitas hidup yang bernapas di sudut-sudut ruangan, mengawasiku dari balik bayangan.

Cermin yang Mengkhianati
Perubahan pertama kali kusadari di cermin. Bukan kerutan baru atau mata panda yang lebih dalamitu hal biasa. Tapi ada sesuatu di balik mataku. Kilatan kosong yang asing, seolah-olah jiwa yang pernah bersemayam di sana telah mengemas barang-barangnya dan pergi. Aku menatap pantulanku, dan pantulan itu menatap balik, bukan dengan tatapan penasaran, melainkan dengan tatapan dingin, tak berperasaan. Siapa itu? Bukan aku, setidaknya bukan manusia yang dulu kukenal.
Rutinitas makanku berubah. Dulu, aku menikmati makanan, setiap suapan adalah pengalaman. Sekarang, itu hanya tugas, sebuah kebutuhan mekanis. Rasa makanan terasa hambar, seperti mengunyah kertas. Aku mulai meragukan indra perasaku.
Apakah lidahku yang berubah, atau makanan itu sendiri? Atau mungkin, aku yang sudah tidak lagi merasakan apa-apa?
Suara-suara di dalam apartemenku juga berubah. Dulu, itu adalah suara kehidupan: pendingin ruangan berdengung, lantai berderit saat aku berjalan, tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat. Sekarang, ada bisikan-bisikan. Bisikan samar yang muncul dari dinding, dari celah-celah di bawah pintu. Mereka tidak membentuk kata-kata yang jelas, hanya dengungan rendah yang terus-menerus, seperti paduan suara makhluk tak terlihat yang berbisik tentang rahasia-rahasia kuno.
Bayangan yang Hidup
Ketakutan yang sebenarnya dimulai ketika bayangan mulai bergerak sendiri. Bukan, bukan bayangan yang disebabkan oleh lampu jalan atau mobil yang lewat. Ini adalah bayangan di dalam ruangan, yang menari-nari di sudut mataku, menghilang saat aku menoleh. Aku mulai menghabiskan berjam-jam menatap kegelapan, mencoba menangkap mereka, meyakinkan diriku bahwa itu hanya kelelahan, imajinasiku yang terlalu liar karena isolasi yang berkepanjangan.
Tapi kemudian, salah satu bayangan itu memiliki bentuk. Sebuah siluet kurus, memanjang, yang merayap di sepanjang dinding kamar tidurku. Ia tidak memiliki fitur, hanya massa gelap yang bergerak lambat, seolah-olah sedang mengobservasi. Jantungku berdebar kencang, tapi anehnya, tidak ada rasa panik. Hanya rasa penasaran yang dingin, hampir seperti aku sedang mengamati spesies baru. Apakah ini bagian dari transformasi yang kualami?
Aku mencoba bicara. Suaraku serak dan asing, seperti suara seseorang yang sudah lama tidak bicara. "Siapa di sana?" Tidak ada jawaban, tentu saja. Bayangan itu hanya bergeser sedikit, seolah-olah ia menikmati permainanku. Aku mulai percaya bahwa bayangan itu adalah bagian dariku, manifestasi dari kegelapan yang tumbuh di dalam jiwaku yang terkikis. Mungkin itulah yang membuatku merasa bukan manusia lagi.
Mimpi Buruk yang Tak Pernah Berakhir
Tidur adalah pelarian yang mengerikan. Setiap malam, aku memasuki mimpi buruk yang sama. Aku berada di koridor panjang, tak berujung, yang dindingnya terbuat dari cermin. Setiap cermin memantulkan versiku yang berbeda: satu dengan mata kosong, satu dengan kulit bersisik, satu lagi tanpa wajah sama sekali. Dan di akhir koridor, selalu ada bayangan itu, menunggu. Ia tidak menyerang, hanya mengulurkan tangan, dan aku tahu, aku tahu dengan pasti, bahwa jika aku menyentuhnya, aku akan menjadi salah satu dari mereka.
Aku terbangun dengan keringat dingin, tapi bukan karena takut. Melainkan karena kerinduan. Kerinduan untuk menyentuh bayangan itu, untuk bergabung dengan mereka. Pikiran itu membuatku merinding, namun juga menarik. Apakah ini takdirku? Apakah karantina apartemen mengerikan ini adalah proses pemurnian, atau justru penenggelaman?
Suatu pagi, aku bangun dengan sensasi aneh di punggungku. Ada rasa gatal yang tak tertahankan, dan ketika aku mencoba menggaruknya, jariku menyentuh sesuatu yang keras dan tajam, seperti tulang yang menonjol. Aku tidak berani melihatnya di cermin.
Aku tahu apa yang akan kulihat, atau lebih tepatnya, apa yang tidak akan kulihat lagi. Refleksi diriku yang lama.
Aku duduk di lantai dingin apartemenku, menatap ponsel yang sudah lama tidak berdering. Aku bisa saja menelepon seseorang. Aku bisa saja meminta bantuan. Tapi untuk apa? Untuk kembali menjadi siapa? Manusia yang dulu? Aku tidak yakin aku ingin kembali. Aku tidak yakin aku bisa.
Suara bisikan dari dinding semakin jelas. Kali ini, aku mendengar namaku dipanggil. Bukan dengan suara manusia, tapi dengan desisan yang dalam, beresonansi dari setiap sudut ruangan. Aku tersenyum. Senyum itu terasa asing di wajahku, bibirku meregang dengan cara yang tidak wajar. Aku akhirnya mengerti. Aku tidak lagi terjebak dalam isolasi apartemen. Aku adalah bagian dari isolasi itu sendiri. Aku adalah bisikan, aku adalah bayangan, aku adalah transformasi. Aku bukan manusia yang dulu.
Atau setidaknya, itulah yang kukira. Sampai aku melihat pantulanku lagi, dan kali ini, matanya tidak lagi kosong. Mereka bersinar dengan cahaya merah samar, dan di balik bahuku, bayangan itu berdiri tegak, memelukku dari belakang.
Aku mencoba berteriak, tapi yang keluar hanyalah desisan. Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku kaku, seolah-olah bukan milikku lagi. Dan bayangan di belakangku itu, yang kini memiliki sepasang mata merah yang sama denganku, berbisik, "Kita tidak pernah benar-benar pergi, sayang. Kita hanya menunggu."
Kini, aku adalah penjaga. Penjaga karantina apartemen mengerikan ini, menunggu penghuni berikutnya yang akan perlahan-lahan berubah, seperti aku. Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka akan menyadari, seperti aku, bahwa pintu tidak pernah terkunci? Bahwa isolasi ini adalah pilihan, bukan hukuman? Tapi tentu saja, mereka tidak akan pernah tahu. Sampai mereka juga menjadi bagian dari bisikan, bagian dari bayangan. Bagian dari aku. Apakah kamu yang berikutnya?
Apa Reaksi Anda?






