Jeritan di Bawah Tanah Lawang Sewu Menguak Kekejaman Penjara Era Jepang


Kamis, 28 Agustus 2025 - 09.45 WIB
Jeritan di Bawah Tanah Lawang Sewu Menguak Kekejaman Penjara Era Jepang
Kekejaman Penjara Lawang Sewu (Foto oleh Mile Modic di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Di jantung kota Semarang, sebuah bangunan megah berdiri kokoh dengan seribu pintunya yang ikonik. Lawang Sewu, yang namanya berarti 'Seribu Pintu', adalah mahakarya arsitektur kolonial yang pernah menjadi simbol kemajuan dan kemakmuran.

Namun, di balik fasadnya yang anggun dan jendela-jendela kacanya yang indah, tersembunyi sebuah lorong waktu yang membawa kita pada salah satu babak paling mengerikan dalam sejarah Indonesia: pendudukan Jepang.

Di bawah lantai marmernya yang dingin, terdapat sebuah penjara bawah tanah yang menyimpan gema penderitaan tak terperi, sebuah bukti nyata dari sejarah kelam yang mengubah bangunan ini dari pusat administrasi kereta api menjadi pusat penyiksaan.

Dari Kemegahan Kolonial Menuju Ruang Penyiksaan

Lawang Sewu dirancang oleh arsitek Belanda, Cosman Citroen, dan dibangun antara tahun 1904 hingga 1907 sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api swasta pertama di Hindia Belanda.

Kemegahannya adalah cerminan kekuatan ekonomi dan teknologi pada masanya. Dengan sistem ventilasi alami yang canggih dan penggunaan kaca patri yang menawan, bangunan ini adalah monumen kejayaan kolonial. Namun, kemewahan itu sirna ketika matahari terbit dari timur membawa serta bendera Hinomaru. Pada tahun 1942, selama pendudukan Jepang, fungsi bangunan ini dirombak total.

Tentara Dai Nippon mengubahnya menjadi markas Rikuyu Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang) dan yang paling mengerikan, markas besar Kenpeitai, polisi militer Jepang yang terkenal brutal. Sejarah kelam Lawang Sewu pun dimulai, terutama di ruang-ruang bawah tanahnya. Bangunan B, yang terletak di bagian belakang kompleks, menjadi pusat dari kekejaman ini.

Ruang bawah tanahnya yang semula berfungsi sebagai saluran drainase dan pendingin udara alami, dialihfungsikan menjadi penjara bawah tanah yang paling ditakuti. Di sinilah takdir para tawanan perang Belanda, pejuang kemerdekaan Indonesia, dan siapa saja yang dianggap musuh oleh Jepang, ditentukan dalam sunyi yang memekakkan.

Misteri Lawang Sewu yang kita kenal hari ini tidak lahir dari isapan jempol, melainkan dari penderitaan nyata yang meresap ke dalam dinding-dindingnya selama masa pendudukan Jepang.

Ruang Bawah Tanah: Saksi Bisu Kekejaman Kenpeitai

Memasuki area penjara bawah tanah Lawang Sewu adalah seperti melangkah ke dalam dimensi lain di mana udara terasa berat dan suhu menurun drastis.

Lorong-lorong sempit dan gelap ini menjadi saksi bisu dari metode interogasi dan penyiksaan yang dilakukan oleh Kenpeitai. Ada dua area utama yang paling terkenal karena kengeriannya. Pertama adalah penjara jongkok, berupa bilik-bilik sempit berukuran sekitar 1,5 x 1,5 meter dengan tinggi hanya satu meter.

Di dalam kotak-kotak pengap ini, para tahanan dipaksa berjongkok berdesakan, kadang hingga sembilan orang sekaligus, selama berhari-hari tanpa bisa berdiri atau berbaring. Tanpa ventilasi dan cahaya, penderitaan mereka diperparah oleh kelaparan dan dehidrasi, yang seringkali berujung pada kematian yang lambat dan menyakitkan. Kekejaman Kenpeitai di sini adalah sebuah noda dalam sejarah. Area kedua, yang mungkin lebih mengerikan, adalah penjara berdiri.

Ruangan ini diisi dengan air setinggi leher orang dewasa. Para tahanan dimasukkan ke dalamnya dan dipaksa berdiri selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Terendam dalam air dingin yang kotor, tubuh mereka perlahan-lahan kehilangan kekuatan, kulit mereka melepuh, dan pikiran mereka tergerus oleh kelelahan ekstrem. Selain penyiksaan fisik, metode ini juga merupakan perang psikologis yang dirancang untuk mematahkan semangat para tawanan.

Menurut catatan sejarah yang dihimpun oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, banyak dari para tawanan ini dieksekusi di tempat atau meninggal karena penyakit dan siksaan. Kisah-kisah inilah yang menjadi fondasi dari urban legend Semarang yang paling terkenal, yang menceritakan tentang arwah-arwah penasaran yang masih menghuni penjara bawah tanah Lawang Sewu.

Gema sejarah kelam itu seolah tak pernah benar-benar lenyap dari lorong-lorong ini.

Gema Jeritan yang Melahirkan Urban Legend Semarang

Tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pendudukan Jepang di Lawang Sewu meninggalkan luka psikologis yang mendalam bagi masyarakat Semarang.

Setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, gedung ini menjadi lokasi Pertempuran Lima Hari di Semarang, di mana para pejuang Indonesia bertempur heroik melawan tentara Jepang. Darah yang tumpah di kompleks ini semakin mengukuhkan reputasinya sebagai tempat yang angker. Dari sinilah, misteri Lawang Sewu bertransformasi menjadi cerita hantu dan urban legend Semarang yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Setiap sudut gelap, setiap lorong panjang, seakan memiliki ceritanya sendiri. Kisah tentang suara tangisan di malam hari, penampakan noni Belanda yang mondar-mandir, atau sosok serdadu tanpa kepala menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi Lawang Sewu. Sosok kuntilanak yang disebut-sebut menghuni salah satu sumur tua di area penjara bawah tanah juga menjadi salah satu legenda paling populer.

Cerita-cerita ini, meskipun sulit dibuktikan secara empiris, adalah manifestasi dari ingatan kolektif tentang penderitaan yang pernah terjadi. Mereka adalah cara masyarakat memproses dan mengabadikan sejarah kelam tersebut. Kekejaman Kenpeitai mungkin telah berakhir puluhan tahun lalu, tetapi gaungnya tetap hidup melalui urban legend Semarang, berfungsi sebagai pengingat akan masa lalu yang pahit.

Keterkaitan antara trauma historis dan cerita supranatural ini bukanlah hal aneh; banyak situs bersejarah di seluruh dunia dengan masa lalu yang tragis juga memiliki reputasi serupa.

PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai pengelola pun kini lebih memfokuskan narasi pada nilai historis dan arsitektural bangunan, namun kisah-kisah misteri itu tetap melekat kuat.

Membaca Ulang Misteri Lawang Sewu

Di tengah popularitasnya sebagai destinasi wisata misteri, penting untuk melihat Lawang Sewu lebih dari sekadar lokasi uji nyali.

Upaya restorasi dan konservasi yang dilakukan telah berhasil mengembalikan sebagian besar kemegahan arsitekturalnya. Informasi yang disajikan kepada pengunjung kini lebih berimbang, menyoroti perannya dalam sejarah perkeretaapian nasional sekaligus mengakui babak kelamnya selama pendudukan Jepang.

Meskipun catatan akurat mengenai jumlah pasti korban di penjara bawah tanah sulit ditemukan karena kekacauan perang, kesaksian dari para penyintas dan bukti fisik yang ada sudah cukup untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kengerian yang terjadi.

Pemerintah melalui lembaga cagar budaya telah menetapkannya sebagai warisan yang harus dilindungi, tidak hanya karena keindahan fisiknya, tetapi juga karena nilai sejarahnya yang tak ternilai. Melihat Lawang Sewu dari perspektif sejarah memungkinkan kita untuk menghormati para korban dengan cara yang benar.

Misteri Lawang Sewu yang sesungguhnya bukanlah tentang penampakan hantu, melainkan tentang bagaimana manusia bisa melakukan kekejaman yang tak terbayangkan kepada sesamanya. Penjara bawah tanah itu adalah monumen pengingat, bukan hanya tentang kematian, tetapi juga tentang perlawanan dan keberanian para pejuang yang rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan. Sejarah kelam ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kemanusiaan di tengah konflik.

Urban legend Semarang yang mengitarinya mungkin menarik, tetapi fakta sejarah di baliknya jauh lebih kuat dan penting untuk diingat. Pada akhirnya, Lawang Sewu adalah sebuah paradoks. Ia adalah simbol keindahan arsitektur sekaligus monumen penderitaan. Mengunjungi penjara bawah tanahnya bukan hanya soal mencari sensasi supranatural, tetapi sebuah ziarah sejarah untuk merenungkan kerapuhan hidup dan kekuatan semangat manusia.

Kisah-kisah yang beredar, baik yang berakar pada fakta maupun yang telah menjadi legenda, mengajak kita untuk tidak melupakan masa lalu. Mungkin saja, 'arwah' yang konon bersemayam di sana bukanlah entitas gaib, melainkan gema dari sejarah kelam itu sendiri; sebuah pengingat abadi agar kekejaman serupa tidak pernah terulang kembali.

Dengan memahami konteks historisnya, kita dapat melihat melampaui takhayul dan menghargai Lawang Sewu sebagai saksi bisu perjalanan sebuah bangsa yang penuh liku, darah, dan air mata. Informasi yang disajikan dalam berbagai tur dan publikasi seringkali berfokus pada sisi misteri, namun pengunjung dihimbau untuk selalu mendalami akar sejarah yang melatarbelakangi setiap cerita yang mereka dengar.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0