Malam Teror Pemakan Tulang, Legenda Kuno yang Kini Nyata

Oleh VOXBLICK

Kamis, 23 Oktober 2025 - 00.05 WIB
Malam Teror Pemakan Tulang, Legenda Kuno yang Kini Nyata
Teror Pemakan Tulang yang Menghantui (Foto oleh cottonbro studio)

VOXBLICK.COM - Udara malam di Desa Sukamaju selalu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, beberapa pekan terakhir, hawa dingin itu terasa berbeda. Bukan dinginnya angin pegunungan yang biasa membelai pepohonan pinus, melainkan dingin yang merayap dari dalam, membekukan setiap denyut nadi. Penduduk desa mulai berbisik-bisik, mata mereka nanar menatap kegelapan yang seolah semakin pekat setiap senja tiba. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang kuno, yang seharusnya hanya ada dalam cerita pengantar tidur paling menyeramkan, kini nyata menghantui mereka.

Kisah tentang Pemakan Tulang, makhluk purba dari rimba yang tak terjamah, biasanya hanya menjadi gertakan para tetua untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak berkeliaran di malam hari.

Sebuah legenda kuno yang terkubur dalam memori kolektif, tentang entitas yang tidak hanya memburu daging, tapi juga melahap tulang belulang hingga tak bersisa. Namun, ketika ternak-ternak mulai lenyap tanpa jejak, hanya menyisakan genangan darah dan bau anyir yang menusuk hidung, bisikan itu berubah menjadi gumaman ketakutan. Ketakutan akan Malam Teror Pemakan Tulang yang kini bukan lagi dongeng.

Malam Teror Pemakan Tulang, Legenda Kuno yang Kini Nyata
Malam Teror Pemakan Tulang, Legenda Kuno yang Kini Nyata (Foto oleh Fernanda W. Corso)

Pak Tua Karta, dengan rambutnya yang memutih dan punggung membungkuk, adalah yang pertama kali bersaksi. Suatu malam, ia terbangun oleh suara gemertak aneh dari kandang kambingnya. Dengan jantung berdebar, ia mengintip dari celah dinding bambu.

Dalam remang bulan, siluet hitam menjulang, lebih besar dari manusia, sedang menarik seekor kambing dengan kekuatan mengerikan. Suara tulang yang diremukkan terdengar jelas, membuat Karta nyaris pingsan di tempat. Ia tidak bisa melihat wujudnya dengan jelas, hanya kegelapan yang lebih gelap dari malam itu sendiri, dengan sepasang mata merah menyala yang memancarkan kelaparan purba. Legenda Kuno yang Kini Nyata, bisiknya dalam hati, gemetar.

Desas-Desus yang Berubah Jadi Kenyataan

Setelah insiden kambing Pak Karta, desa terpencil itu diliputi kepanikan. Bukan hanya ternak, beberapa anjing penjaga yang galak pun hilang tanpa jejak.

Hanya kalung leher mereka yang ditemukan, tergeletak di tanah dengan bekas gigitan yang dalam, seolah ditarik paksa dari leher hewan yang meronta. Anak-anak dilarang bermain di luar rumah setelah magrib, pintu dan jendela dikunci rapat, dan api unggun dinyalakan di setiap persimpangan, seolah mampu mengusir bayangan yang tak kasat mata. Namun, ketakutan itu terus tumbuh, merayapi setiap sudut desa seperti jamur di musim hujan. Beberapa pemuda yang mencoba berpatroli, kembali dengan wajah pucat pasi, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang mereka lihat atau dengar, hanya tatapan kosong yang penuh kengerian.

Suatu malam, giliran keluarga Pak Darmo yang menjadi korban. Pagi harinya, pintu kandang ayam mereka terbuka lebar, dan tidak ada satu pun ayam yang tersisa. Di tanah, terukir jejak kaki yang aneh, besar dan runcing, seolah memiliki cakar yang tajam.

Jejak itu tidak seperti jejak binatang hutan yang dikenal, melainkan sesuatu yang lebih primitif, lebih mengerikan. Bau busuk yang samar, seperti bau tanah basah bercampur darah kering, menguar di udara. Penduduk desa tahu, ini bukan pencuri biasa. Ini adalah Pemakan Tulang, yang kelaparan purbanya kini bangkit kembali, menuntut korban.

Jejak Kengerian di Balik Pekatnya Malam

Ketegangan mencapai puncaknya saat seorang warga, Kang Ujang, melaporkan kehilangan adiknya, Siti. Siti pamit ke ladang sore hari untuk mengambil sayuran, namun tak pernah kembali.

Pencarian dilakukan hingga larut malam, dengan obor dan teriakan memanggil namanya, namun yang mereka temukan hanyalah kerudung Siti yang terkoyak di pinggir hutan, dan sebuah ceceran darah yang mengering di tanah. Tidak ada tulang. Tidak ada sisa. Hanya kehampaan yang mencekam, seolah Siti lenyap ditelan bumi. Atau ditelan oleh sesuatu yang lebih buas. Rasa teror yang tak terlukiskan mulai menyelimuti setiap jiwa, mengubah setiap bayangan menjadi ancaman, setiap suara angin menjadi bisikan kematian.

Setiap malam adalah siksaan. Suara-suara aneh mulai terdengar dari hutan, geraman rendah yang dalam, diikuti suara retakan tulang yang membuat bulu kuduk merinding.

Beberapa warga mengaku melihat bayangan melintas cepat di antara pepohonan saat bulan purnama, siluet raksasa dengan mata membara. Mereka mencoba membangun pagar lebih tinggi, memperkuat pintu, tapi rasa aman itu semu. Bagaimana bisa melawan sesuatu yang tak bisa dilihat dengan jelas, namun kehadirannya begitu terasa, begitu mematikan? Beberapa keluarga mulai mengungsi, meninggalkan harta benda mereka demi keselamatan jiwa.

Saat Legenda Itu Bangkit dari Kegelapan

Puncaknya terjadi pada malam Jumat Kliwon. Hujan turun deras, memadamkan api unggun dan menerjang rumah-rumah. Listrik padam total, meninggalkan desa dalam kegelapan yang pekat, hanya diterangi kilat sesekali.

Di tengah badai, terdengar jeritan dari rumah Pak Lurah. Jeritan yang bukan karena takut petir, melainkan jeritan kesakitan dan kengerian yang membuat darah mendidih. Warga yang berani mengintip dari balik jendela, melihat bayangan raksasa di halaman rumah Pak Lurah, bergerak cepat di antara kilat. Bentuknya tak jelas, namun kekuatan yang dipancarkannya begitu nyata, begitu mematikan.

Suara pintu didobrak, perabotan dihancurkan, dan jeritan lain menyusul. Mereka mendengar suara Pak Lurah berteriak, disusul suara istrinya, lalu anak-anaknya.

Semua suara itu terputus tiba-tiba, digantikan oleh suara gemertak yang mengerikan, seolah-olah tulang-belulang sedang diremukkan dengan brutal. Kilat menyambar lagi, menerangi sesaat siluet makhluk itu di ambang pintu rumah Pak Lurah, dengan sesuatu yang gelap dan panjang menjuntai dari mulutnya, dan mata merah yang memancarkan kepuasan purba. Kemudian, kegelapan kembali menelan semuanya, hanya menyisakan gemuruh petir dan suara hujan yang deras. Keesokan paginya, ketika badai reda dan matahari terbit, rumah Pak Lurah terbuka lebar, kosong. Tidak ada jejak tubuh, tidak ada sisa, hanya genangan darah yang sudah mengering di lantai kayu, dan bau anyir yang tak pernah hilang. Desa itu kini hanya menyisakan beberapa orang yang terlalu takut untuk bergerak, terlalu lumpuh oleh kengerian yang tak terbayangkan. Mereka tahu, Malam Teror Pemakan Tulang belum berakhir. Ini baru permulaan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0