Teror Pengantar Makanan Malam Hari Pesanan Misterius Gedung Berhantu

VOXBLICK.COM - Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, hawa dingin menusuk kulit saat aku memacu motor melintasi jalanan Jakarta yang mulai lengang. Sebagai seorang pengantar makanan paruh waktu untuk Grubhub, jam-jam larut adalah ladang rezeki. Kesunyian kadang menenangkan, kadang pula menyesakkan, terutama ketika pikiran mulai berkelana. Aku sudah terbiasa dengan pesanan aneh, alamat membingungkan, dan kadang pelanggan yang rewel. Tapi tidak ada yang bisa menyiapkan aku untuk teror yang akan datang, sebuah pesanan misterius yang akan mengubah segalanya.
Sekitar pukul dua dini hari, ponselku bergetar. Sebuah pesanan masuk. Aku melirik alamatnya, dan jantungku berdesir aneh.
Jalan Melati Nomor 13. Itu adalah alamat sebuah gedung terbengkalai yang sudah lama kosong, gedung tua yang konon punya sejarah kelam. Semua orang di lingkungan sana tahu Gedung Melati itu. Gedung berhantu, begitu mereka menyebutnya. Aku mengabaikan perasaan itu, mungkin saja alamatnya salah ketik atau ada bagian yang sudah direnovasi.

Aku tiba di depan gerbang berkarat Gedung Melati. Lampu jalan di seberang sana berkedip-kedip, menerangi fasad yang retak dan jendela-jendela gelap seperti mata kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada lampu menyala.
Hanya keheningan yang memekakkan telinga. Aku mencoba menelepon pelanggan, tapi panggilanku langsung masuk ke voicemail. Aplikasi menunjukkan Serahkan di Pintu Depan. Pintu depan? Pintu itu sudah lama terkunci rapat dengan rantai tebal dan gembok raksasa. Aku merasakan hawa dingin yang bukan berasal dari angin malam, tapi dari kengerian yang perlahan merayap.
Pesanan yang Tak Pernah Berakhir
Malam itu, aku meninggalkan pesanan di depan gerbang, mengambil foto, dan buru-buru pergi. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya lelucon iseng, atau mungkin seseorang mabuk dan salah alamat. Tapi keesokan malamnya, tepat di jam yang sama, pesanan itu muncul lagi. Alamat yang sama. Menu yang sama: Nasi Goreng Seafood dengan ekstra pedas. Dan lagi-lagi, tidak ada jawaban saat aku menelepon. Aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ini bukan lelucon. Ini adalah awal dari lingkaran teror yang tak berujung, sebuah teror pengantar makanan yang tak pernah kuduga.
Setiap malam, seolah ada jadwal yang tak tertulis, notifikasi pesanan dari Gedung Melati Nomor 13 itu muncul. Aku mencoba menolaknya, tapi entah kenapa tanganku selalu tergerak untuk menerimanya. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang memaksa.
Setiap kali aku mengantar, tidak pernah ada orang yang muncul. Hanya keheningan dan aura mencekam dari gedung terbengkalai itu yang menyambutku. Aku mulai merasakan paranoid, seolah-olah ada mata tak terlihat yang terus mengawasiku, menunggu pesanan berikutnya.
Menyelami Kegelapan Gedung Melati
Rasa penasaran bercampur ketakutan mendorongku untuk mencari tahu lebih banyak. Aku bertanya pada beberapa teman pengantar makanan lainnya, apakah mereka pernah menerima pesanan dari Gedung Melati. Tidak ada. Mereka semua tahu reputasi gedung berhantu itu dan akan menolak pesanan apa pun yang mengarah ke sana. Aku mencoba mencari informasi di internet, dan yang kutemukan hanyalah artikel lama tentang kebakaran tragis puluhan tahun lalu yang menewaskan seluruh penghuni gedung itu. Sejak saat itu, gedung itu ditinggalkan, menjadi saksi bisu tragedi dan sumber cerita urban legend yang menyeramkan.
Aku mulai merasa seperti terjebak. Setiap kali pesanan itu muncul, ada desakan aneh untuk menerimanya. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang menarikku, sebuah magnet yang mengerikan. Penghasilan tambahan memang menggiurkan, tapi mempertaruhkan nyawa untuk pesanan hantu? Itu gila. Namun, penolakan pesanan berulang kali bisa mempengaruhi ratingku sebagai driver Grubhub. Aku berada di antara dua pilihan mengerikan: kehilangan pekerjaan atau menghadapi sesuatu yang tak seharusnya ada.
Malam-malamku dipenuhi mimpi buruk tentang lorong gelap dan suara-suara aneh. Aku tidak bisa tidur nyenyak, selalu merasa diawasi.
Setiap kali aku mengantar pesanan ke sana, aku bisa merasakan dingin yang menusuk tulang, bukan karena suhu, tapi karena kehadiran yang tak terlihat. Gedung itu, dengan segala kekosongan dan keheningannya, terasa lebih hidup daripada sebelumnya, seolah menungguku.
Panggilan Terakhir
Pada malam ketujuh, setelah berminggu-minggu dihantui pesanan yang sama, aku memutuskan untuk mengakhirinya. Aku akan mengantar pesanan ini, sekali untuk selamanya, dan setelah itu aku akan berhenti mengambil shift malam. Mungkin berhenti dari Grubhub sekalian. Dengan perasaan campur aduk antara tekad dan ketakutan yang mencekik, aku mengambil Nasi Goreng Seafood itu dan memacu motorku menuju Jalan Melati Nomor 13. Malam itu, udara terasa lebih dingin, langit lebih gelap, dan bintang-bintang seolah enggan menampakkan diri. Ini adalah teror malam hari yang paling nyata.
Ketika aku tiba, gerbang berkarat itu entah bagaimana sedikit terbuka. Jantungku berdebar tak karuan. Aku mematikan mesin motor, dan keheningan langsung menyergap. Ada sesuatu yang berbeda malam ini.
Aroma aneh, seperti bau tanah basah bercampur karat dan sesuatu yang busuk, menyeruak dari dalam. Aku melangkah masuk, melewati gerbang yang berdecit pelan. Langkah kakiku terdengar begitu keras di antara reruntuhan daun kering.
Aku melihat ke atas, ke jendela-jendela kosong yang dulu seperti mata, kini terasa seperti lubang hitam yang menatapku. Ada bayangan samar yang bergerak di salah satu jendela di lantai paling atas.
Aku mencoba mengabaikannya, mempercepat langkahku menuju pintu utama yang kini, anehnya, sedikit terbuka. Cahaya ponselku menembus kegelapan di dalam. Aku memanggil, "Grubhub! Pesanan Nasi Goreng Seafood!" Tidak ada jawaban. Hanya gema suaraku yang kembali padaku, seolah diejek oleh kegelapan.
Aku memberanikan diri melongok ke dalam. Lorong gelap membentang, diselimuti debu dan sarang laba-laba. Udara di dalam terasa berat, dingin, dan berbau apek. Tiba-tiba, dari kegelapan di ujung lorong, terdengar suara.
Suara langkah kaki yang menyeret, sangat pelan, namun jelas. Mendekat. Aku merasakan bulu kudukku berdiri, setiap serat tubuhku berteriak untuk lari.
Panik, aku mundur selangkah, tapi kakiku tersandung sesuatu. Aku jatuh, ponselku terlempar, cahayanya padam, meninggalkan aku dalam kegelapan total.
Suara langkah kaki itu semakin dekat, kini disertai suara napas yang berat, seolah seseorang kesulitan bernapas. Sebuah bayangan tinggi, kurus, dan tak berbentuk mulai terlihat di ambang batas cahaya bulan yang samar dari pintu masuk. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tercekat. Aku tahu, aku tahu siapa yang memesan nasi goreng itu. Dan dia, atau apa pun itu, akhirnya datang untuk mengambilnya. Bukan hanya makanannya, tapi juga nyawaku. Aku merasakan hawa dingin yang luar biasa menyentuh tengkukku, dan sebuah bisikan serak terdengar tepat di telingaku, "Terima kasih, pengantar makanan..."
Apa Reaksi Anda?






