Malam Itu Adikku Menghilang, Aku Dihantui Kenangan Mengerikan
VOXBLICK.COM - Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi jendela kamarku yang menghadap langsung ke taman belakang. Aku ingat persis bagaimana suara rintiknya meninabobokan, menciptakan simfoni aneh yang kini selalu kubenci. Di ranjang sebelah, adikku, Rara, terlelap damai. Rambutnya yang sebahu menutupi sebagian wajahnya, dan tangan mungilnya memeluk erat boneka beruang lusuh. Itu adalah malam terakhir aku melihatnya begitu.
Paginya, ketika matahari mencoba menembus awan kelabu, ranjang Rara kosong. Selimutnya terlipat rapi, seolah tidak pernah ada yang tidur di sana. Boneka beruangnya tergeletak sendirian di bantal. Panik merayap dingin di ulu hatiku.
Ibu dan Ayah mencarinya ke setiap sudut rumah, ke rumah tetangga, ke taman. Namun, Rara telah menghilang tanpa jejak, seolah ditelan bumi, meninggalkan kami dalam kehampaan yang tak terlukiskan.
Kamar Kosong dan Bisikan Aneh
Sejak malam itu, setiap sudut rumah terasa asing. Udara dingin yang tak beralasan sering menyelimuti kamar Rara, meski jendela tertutup rapat. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah duka yang berbicara.
Tapi, bisikan aneh mulai menghantuiku. Awalnya samar, seperti desiran angin. Lalu, berubah menjadi lirihan, memanggil namaku, atau nama Rara, dari balik dinding, dari bawah tangga, dari sudut gelap lorong.
Aku sering terbangun tengah malam, jantung berdebar kencang, yakin aku mendengar suara langkah kaki kecil berlarian di lantai atas, padahal hanya aku dan orang tuaku yang ada di rumah.
Pintu kamar Rara yang selalu kututup rapat, terkadang kudapati sedikit terbuka di pagi hari, seolah ada yang baru saja keluar atau masuk. Aroma sampo Rara, yang manis dan khas, kadang tercium kuat di udara, hanya untuk lenyap begitu saja seperti kabut.
Kenangan yang Menjadi Jerat
Kenangan mengerikan tentang malam itu terus menjeratku. Aku mulai meragukan ingatanku sendiri. Apakah aku benar-benar melihat Rara tidur? Atau itu hanya ilusi? Aku ingat samar-samar mendengar suara Rara memanggilku, "Kakak... Kakak...
" tepat sebelum aku terlelap. Apakah aku hanya bermimpi? Atau itu nyata dan aku gagal meresponsnya? Rasa bersalah itu menggerogoti jiwaku, membuatku terjaga setiap malam, mendengarkan, menunggu, berharap.
Orang tuaku tenggelam dalam kesedihan mereka sendiri, terlalu lelah untuk menyadari perubahan pada diriku, atau mungkin terlalu takut untuk mengakuinya.
Aku mulai melihat bayangan sekilas di ujung mataku, sosok kecil yang melesat cepat, selalu menghilang saat aku menoleh. Terkadang, aku bersumpah mendengar tawa Rara, tawa riang yang dulu sering mengisi rumah ini, kini terdengar melengking dan kosong, seolah datang dari dimensi lain.
Pencarian yang Tak Berujung dan Ketakutan Baru
Pencarian Rara tidak pernah membuahkan hasil. Polisi menyerah, menganggapnya sebagai kasus anak hilang biasa yang tak terpecahkan. Tapi aku tahu, ini bukan biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya.
Sesuatu yang mengambil Rara, atau mungkin, sesuatu yang membuat Rara tetap ada, namun tak bisa kuraih.
Suatu malam, aku memutuskan untuk tidur di kamar Rara. Aku ingin merasa dekat dengannya, berharap keberadaanku bisa menariknya kembali, atau setidaknya memberiku petunjuk. Aku berbaring di ranjangnya yang dingin, memeluk boneka beruang lusuhnya.
Udara di kamar itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ada hembusan napas es di dekatku. Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu menarik ujung selimutku. Aku membuka mata. Tidak ada siapa-siapa. Aku menelan ludah. Lalu, sebuah bisikan jelas terdengar di telingaku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napas dinginnya.
Suara itu, suara Rara, berkata, "Kakak... jangan dicari... aku di sini... tidak sendirian..."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku melompat dari ranjang, menyalakan lampu. Kamar itu kosong. Tapi di cermin rias Rara, di pantulan yang buram, aku melihatnya.
Sosok Rara, berdiri di belakangku, rambutnya menutupi sebagian wajahnya seperti malam itu. Tapi kali ini, matanya terbuka lebar, hitam pekat, dan di sampingnya, ada sosok lain, lebih tinggi, lebih gelap, dengan senyum yang terlalu lebar.
Aku berbalik dengan cepat, namun tidak ada siapa-siapa di belakangku. Hanya pantulan diriku yang gemetar di cermin. Aku menoleh kembali ke cermin.
Sosok Rara dan bayangan gelap itu masih ada, dan kali ini, Rara mengangkat tangan mungilnya, menunjuk ke arahku. Senyum di wajah sosok gelap itu melebar, dan aku bersumpah, aku mendengar tawa yang bukan milik Rara, bukan milik siapa pun yang kukenal, tawa yang menusuk tulang dan membekukan darahku. Aku tahu, Rara tidak menghilang. Dia ada di sini, bersamaku, dan dia tidak sendirian.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0